(*) Aurat: sering kali kita disuguhi oleh satu wacana tentang menutup aurat yang dikaitkan dengan baju kesopanan.Benarkah keduanya saling berkaitan??? Sebenarnya apa definisi aurat? bagian mana dari tubuh manusia khususnya perempuan yang bisa dikatakan sebagai aurat?
Tentu saja jawaban bisa beraneka ragam dari yang mengatakan seluruh badan perempuan kecuali muka dan tangan, ada juga yang hanya membatasi alat vital,payudara dan pantat (ma'af) bahkan ada yang menyatakan langkah perempuan dan suara perempuan pun termasuk aurat. Lalu apa defenisi Aurat menurut Qur'an sendiri? pada Qs.7:22 dikatakan.."Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah baginya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupi dengan daun-daun surga..." Hanya menjadi pemikiran selintas saja seandainya aurat perempuan itu memang seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan kira-kira daun sebesar apa yang dipakai Siti Hawa ketika menutupi auratnya??? bahkan jika langkah dan suara perempuan adalah aurat, apakah sebelum memakan buah terlarang itu Siti Hawa adalah seorang yang tunawicara alias bisu plus lumpuh?? silahkan dijawab masing-masing saja:) Lalu kita bisa melihat juga dalam Qs.24:31.."atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita..." Jika diasumsikan bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan maka rambut pun termasuk aurat perempuan tapi apakah rambut adalah sesuatu yang tidak di mengerti oleh anak-anak??? Padahal rambut anak-anak sering kali menjadi pusat perhatian anak-anak untuk di hias, begitu juga dengan telinga diberi perhiasan, leher di beri kalung dan lengan diberi gelang atau jam tangan, apakah anak-anak benar-benar belum mengerti masalah rambut,telinga,leher, lengan?? silahkan jawab masing-masing juga.. Dari sini mungkin kita bisa lebih bijaksana dalam mendefinisikan aurat perempuan. Dan kemudian kaitan aurat dengan baju kesopanan. (*) Baju kesopanan Jika kita mulai memahami definisi aurat perempuan tentu kita menyadari seseorang yang telah menutup aurat bisa saja dikatakan tidak memakai baju kesopanan sebaliknya seseorang dengan memakai baju kesopanan otomatis dia telah menutup aurat. Hanya saja apa batasan dari baju kesopanan??? Dalam Qs.24:31.."Katakanlah kepada wanita yang beriman:"Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Tentu saja apa yang biasa nampak apda satu masyrakat berbeda dengan satu masyrakat yang lain hal ini tentu banyak ditentukan oleh kondisi,cuaca, peradaban, budaya dan juga faktor2 eksternal lainya. apa yang biasa nampak dari sosok perempuan indonesia tentu berbeda dengan apa yang biasa nampak pada sosok perempuan arab. Bahkan antar suku di Indonesia pun berbeda-beda apa yang biasa nampak dari sosok perempuan. Apakah bukan kekonyolan jika perbedaan yang ada hendak di seragamkan dengan mengaju kepada budaya diluar budaya kita sendiri yaitu budaya arab?? cicadas-gang asep berlian, 8 Maret 2006 ;) --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Rudyanto Arief" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Oleh Syamsi Ali > > Sesungguhnya, sejak awal penciptaan manusia perasaan risih dan malu jika > aurat ternampakkan. Artinya, permasalahan aurat ini bukan permasalahan baru, > tapi permasalahan yang memang sudah menjadi perhatian manusia sejak awal > kejadiannya, dan ini pula yang menjadi tabiat aslinya. Ini dikuatkan oleh > sejarah di Kitab Injil yang menyebutkan: > > "Perempuan itu melihat bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap > kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. > Lalu ia menhgambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada > suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya. Maka > terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu bahwa mereka telanjang, lalu > mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat..dst.dst." (Kejadian 3-7). > > Sengaja saya meminjam sejarah yang ada di Injil ini untuk menunjukkan > kepada semua, termasuk umat Kristiani, bahwa di saat manusia terekspos > "auratnya" pasti mereka merasa malu dan berusaha mencari penutup, seperti > Adam dan Hawa terpaksa membuat (dalam Injil Inggris disebutkan menjahit) > cawat dari daun pohon ara tersebut. Manusia yang belum dilihat oleh > siapa-siapa itu, kecuali oleh makhluk gaib dan Penciptanya, merasa malu di > saat auratnyat terbuka. > > Cerita Injil ini menunjukkan betapa bahwa di saat aurat seseorang > terekspos akan melahirkan perasaan malu dan bersalah (embarrassment and > guilt). Dan perasaan malu dan bersalah ini sendiri menggambarkan "tabiat" > manusia yang orisinal, karena prilaku Adam dan Hawa di awal penciptaan > menggambarkan keaslian tabiat manusia. Maklumlah, Adam dan Hawa belum > terkontaminasi oleh berbagai penyelewengan sosial, termasuk propaganda kaum > feminist seperti saat ini. > > Berpakaian sopan itu alami > > Sebenarnya, menutup aurat dengan pakaian yang sopan (sesuai syara') > adalah tuntutan alami manusia. Dengan mengikuti tuntutan alami tatacara > berpakaian ini, sebenanarnya seseorang akan lebih merasa tenang dan percaya > diri. Inilah yang digambarkan di dalam Al Qur'an dengan istilah "dan agar > mereka menjaga kesucian dan dikenal". Artinya, dengan pakaian yang > ditetapkan oleh agama, kesucian fitrah akan terjaga, dan juga melahirkan > percaya diri karena memang dikenal dengan pakaiannya sebagai orang-orang > yang baik. > > Sebagai ilustrasi terhadap fakta di atas, saya ceritakan pengalaman > ketika pertama kali balik liburan ke Indonesia setelah tiga tahun di > Islamabad. Setiba di Makasar (Ujung Pandang), saya cukup terasa "shock" > dengan perubahan kultur anak-anak remaja Muslim. Mungkin karena memang > jarang berada di luar kampus sebelum ke Pakistan, atau juga karena memang > selama di Pakistan hanya melihat kaum wanita dengan pakaian yang cukup > modest. Salah satu hal yang mengejutkan adalah cara anak-anak remaja wanita > Muslim yang sangat minim. Hampir saja aku menilai bahwa barangkali keadaan > ekonomi semakin memburuk, sehingga mereka kekurangan uang untuk membeli kain > yang cukup. > > Suatu ketika di sore hari saya ada kesempatan jalan-jalan ke kota dengan > menaiki pete-pete (angkot). Setelah duduk beberapa saat, pete-pete itu > kembali berhenti untuk menjemput penumpang lainnya. Tiba-tiba naiklah > seorang anak remaja, sepertinya anak SMA (SMU), dengan pakaian yang sangat > minim. Hampir-hampir saja roknya itu tidak mampu menutupi bagian-bagian > sensitif dari tubuhnya. Bersamaan dengan naiknya remaja tadi juga seorang > pemuda dan duduk persis di hadapannya. Rupanya pemuda ini tidak mau mubazir. > Ditatapnya habis-habisan paha mungil anak remaja tersebut, sehingga anak > tersebut dengan sendirinya merasa tidak tenang mendapat sorotan mata yang > buas itu. Hampir dalam perjalanan yang memakan waktu lebih sejam itu, remaja > itu tidak bisa duduk dengan tenang. Bolak balik ke samping kiri dan kanan, > berusaha menutupi ke-(tidak)malu-annya itu. > > Dari kejadian ini nampak, betapa berpakaian yang menutupi aurat itu > adalah pakaian yang sesuaiu dengan tuntutan alami. Maka penolakan terhadap > keterbukaan ke-(tidak)malu-an itu adalah penolakan alami. Sebaliknya > mendukung pengiklanan aurat, baik untuk kepentingan ekonomi atau sekedar > untuk dianggap ekspresi kebebasan adalah penentangan yang nyata terhadap > tabiat manusia. > > Pergeseran tabiat > > Akan tetapi seiring dengan perjalanan zaman, tabiat (nature) manusia itu > sendiri semakin bergeser dari posisinya yang asli. Akibatnya, penyingkapan > "aurat" bukan saja menjadi biasa, melainkan dianggap sebagai bagian dari > kemajuan peradaban manusia yang yakini sebagai manusia modern. Konsekwensi > selanjuntya, perasaan malu itu semakin minim, dan bahkan menjaga "malu" (al > hayaa) dianggap sebagai bagain dari keterbelakangan. > > Di dunia barat misalnya (walau kata barat ini relative, karena boleh > jadi Jakarta lebih kebarat-baratan), mempertontonkan Ke (tidak)-malu-an ini > justeru dianggap bagian dari hiburan (entertainment). Di mana mata menatap > di situ juga akan nampak hal-hal yang seharusnya memalukan itu. Dari dalam > rumah, sekolah, pasar, pinggir jalan, hingga ke pertokohan-pertokohan, > semuanya menampakkannya secara bebas. Mata-mata yang menatap pun tidak lagi > merasakannya sebagai sesuatu yang seharusnya membuat malu. > > Oleh karena menampakkan ke-(tidak)malu-an ini sudah dianggap sebagai > hiburan, maka menentangnya dapat dianggap menentang kodrat hidup itu > sendiri, atau minimal dianggap menempuh cara hidup abad pertengahan yang > terbelakang dan kurang beradab. Persepsi ini menampakkan keterbalikan tabiat > manusia dari yang sesungguhnya seperti tabiat Adam dan Hawa menjadi tabiat > "hewani" yang tidak merasa malu menampakkan kemaluan ke mana-mana. Bahkan > lebih jahat, sebaliknya dengan menampakkan kemaluan, baik secara utuh maupun > sebagian dianggap sebagai ekspresi kebebasan (freedom of expression). > > Tapi betulkah itu adalah sebuah hiburan? Betulkah itu adalah ekspresi > kebebasan? Lebih tragis lagi, kaum wanita khususnya, dipertontonkan auratnya > secara tanpa malu-malu dibumbui dengan konsepsi emasipasi? Tapi benarkah itu > adalah emansipasi atau pembebasan kaum hawa? > > Sebagaimana disebutkan di awal, merasa malu dengan tertampakkannya > ke-(tidak)malu-an itu adalah tabiat dasar manusia yang memang sejak awal > penciptaan manusiapun sudah ada. Maka ketika terjadi sebaliknya, berarti > manusia sudah dengan terang-terangan telah melakukan penodaan dan penolakan > kepada tabiat dasarnya sendiri. Dan jika manusia telah melakukan penodaan > dan penolakan kepada tabiat dasarnya ini, maka di kemudian hari akan > terlahirlah darinya prilaku-prilaku yang lebih buruk dari prilaku hewani. > Prilaku homoseksual dan lesbianis barangkali adalah wujud langsung dari > kenyataan ini. > > Seekor kucing atau anjing tidak akan melakukan kontak seksual di hadapan > anjing atau kucing yang lain. Biasanya mereka melakukan kontak lawan jenis > ini di saat ada kesempatan yang sepi. Apalagi, belum kita dengar ada anjing > yang mengawini sesame jenisnya. Sebelaiknya manusia sekarang ini justeru > mengekspresikan kontak seksualnya, dalam berbagai ragam, di hadapan publik, > dan bahkan tidak jarang memang diiklankan. Bahkan ada kecenderungan untuk > melegalkan perkawinan sejenis di berbagai belahan dunia saat ini. Sebuah > pemndangan kontras yang dahsyat antara prilaku dan tabiat dasar manusia. > > Wanita dan budaya malu > > Sebenarnya, malu itu adalah fondasi hidup. Jika dikaji lebih dalam, > ternyata asal kata hidup (hayah) dan malu (haya') berasal dari dasar kata > yang sama. Malu yang dalam bahasa Arab dikenal dengan "istihyaa" (seperti > innallah laa yastahyii) juga terpakai dengan bentuk yang sama untuk > menggambarkan pemberian hidup (istahya), seperti dalam kisah Fir'aun dan > Bani Israel (istahya nisaahum). > > Dengan demikian, hidup manusia yang sesungguhnya adalah hidup manusia > yang masih berpegang teguh pada pada nilai-nilai budaya malu. Semakin minim > budaya malu menandakan semakin minimnya kehidupan hakiki seseorang. Dengan > hilangnya malu (shamefulness) dalam kehidupan manusia, secara tidak langsung > juga menggambarkan bahwa manusia seseungguhnya sudah kehilangan kehidupannya > yang alami (tabi'i). > > Di dalam Al qur'an, ada kisah yang agung tentang bagaimana seorang > wanita menjaga budaya malunya ini. Yang secara langsung disebutkan dengan > pengistilahan menjaga "kemaluan"nya adalah Maryam (allati ahshonat farjaha). > Seorang wanita yang dilahirkan untuk hanya mengabdi di rumah ibadah, dan > kemudian menjadi seorang ibu dari seorang rasul yang agung. Mengandung > dengan cobaan dan menghadapi cobaan yang luar biasa, melahirkan sendirian, > menghadapi kaumnya, dan seterusnya. Tapi beliaulah seorang wanita yang > secara khusus disebutkan sebagai wanita yang menjaga kemaluannya. > > Kisah anak-anak nabi Syu'aib juga adalah contoh kongkrit bagaimana > seharusnya kaum wanita membawa diri. Bahwa profesionalisme dan berbagai > stastus sosial tidak seharusnya menjadikan wanita kehilangan jati diri > dengan hilangnya "budaya malu". Bahkan sebaliknya dengan budaya malu itu, > mereka mengusulkan kepada ayahnya untuk melakukan sesuatu yang baik demi > menjaga benteng budaya malu itu. > > Ceritanya adalah ketika Musa membela salah seorang Bani Israel yang > berkelahi dengan seorang Mesir. Tiba-tiba pukulan nabi Musa itu menjadikan > orang Mesir mati. Maka Fir'aun yang sudah lama mencari alasan untuk > membinasakan Musa, kini menemukan alasan itu. Tentunya dia akan menjatuhkan > hukuman yang berat, kemungkinan akan dihukum mati. Maka tatkala Musa > diberitahu, beliaupun meninggalkan tanah Mesir menuju sebuah kota lain yang > disebut "Madyan". Di kota inilah hidup seorang nabi lain yang bernama nabi > Sya'aib A.S. > > Ketika Musa A.S. memasuki kota tersebut, didapatinya sekelompok orang > yang akan memberikan minum kepada gembalaan mereka. Di antara orang-orang > tersebut ada dua wanita nampak malu berdiri di bagian paling belakang. Musa > mendekati mereka dan bertanya apa gerangan yang terjadi dengan mereka. > Mereka memberitau Musa bahwa mereka wanita dan tidak mungkin mereka dapat > memberikan minuman kepada gembalaannya sebelum semua kaum lelaki itu > selesai. Sementara ayah mereka adalah seorang yang sangat tua. > > Singkat cerita, Musa membantu mereka dan bahkan mendahului lelaki yang > lain. Memang Musa memiliki kemampuan fisik yang lebih. Segera wanita itu > kembali kepada ayahnya dan menceritakan semua kejadian yang dialaminya. > Lebih dari itu, salah satu dari dua gadis itu mengusulkan agar ayahnya > mempekerjakan Musa karena sebaik-sebaik yang dipekerjakan adalah yang kuat > dan terpercaya. Sang ayah lalu menyuruh anak gadis tersebut mendatangi Musa > dan meminta agar dia berkenan datang kepadanya. > > Poin yang ingin saya sebutkan di sini adalah pernyataan Al Qur'an: "Maka > salah satu diantara mereka mendatangi Musa dengan berjalan penuh malu". > Sebuah ungkapan yang menggambarkan kepribdian wanita yang berani tapi tidak > kehilangan "modesty" (budaya malu). Anak Syu'aib ini adalah seorang yang > professional, yang pada zamannya hanya dilakukan oleh kebanyakan kaum pria. > Yaitu mengembalai ternak yang secara sosial saat itu hanya dapat dilakukan > oleh kaum pria yang pemberani dan tekun. Tapi kenyataannya dua di antara > anak-anak nabi Syu'aib melakukan tugas ayah mereka. Ternyata, > profesionalisme tidak menjadikanya kehilangan jati diri sebagai wanita yang > memiliki budaya malu itu. > > Sekarang ini, terkadang atas nama profesionalitas, seorang wanita bangga > menggadaikan budaya malunya. Demi persepsi manusia lain yang menganggapnya > wanita professional dengan cirri-ciri, salah satunya, dengan berpakaian yang > minim, diapun menggadaikan budaya malu ini. Maka akibatnya, ilusi mereka > sendiri menjadi perangkap terjatuhnya mereka kembali ke dalam kungkungan > "perbudakan" yang berhiaskan modernisme. Wanita modern saat ini, disadari > atau tidak, telah terjatuh ke dalam sebuah perbudakan. Mereka telah > dijadikan korban-korban kosumerisme dan hedonisme kehiduoan manusia. > Barangkali contoh terdekat adalah iklan-iklan yang ada, dari iklan gula-gula > hingga iklan barang-barang mewah, wanita-wanita cantiklah menjadi alat > penggoda dan penggairah. > > Perintah hijab > > Oleh karena tabiat dasar manusia memang malu jika "auratnya" terekspos, > Islam memberikan aturan untuk menjaga kemurnian tabiat manusia ini. Selain > memerintahkan manusia untuk menjaga pandangan (ghaddul Bashar), juga > diperintahkan agar menjaga agar pandangan tidak terpancing untuk menjadi > liar. Maka turunlah perintah untuk berjilbab bagi kaum wanita, dan perintah > kepada kaum pria untuk berpakaian sopan. Masing-masing keduanya memiliki > aturan sesuai kodrat alami masing-masing. > > Saat ini, jilbab adalah satu hal yang seringkali dipertanyakan oleh > banyak kalangan, baik di kalangan kaum Muslim sendiri, lebih-lebih lagi oleh > kalangan non Muslim. Pertanyaan non Muslim tentunya logis, karena memang > tidak mengimani ajaran agama ini. Sehingga jika mereka bertanya tentu dengan > senang akan direspon. Tapi yang aneh, di saat umat ini sendiri yang kemudian > mempertanyakan "urgensi" ajaran menutup aurat ini. > > Jilbab sesungguhnya bukan sebuah hal baru dalam ajaran agama. Sejarah > agama mengajarkan bahwa sejak zaman dulupun, wanita-wanita selalu > menampakkan kesalehannya dengan simbol kerudung ini. Wanita-wanita Bani > Israel memakai krudung dengan rok panjang. Hingga hari ini, wanita-wanita > Yahudi di compound Yahudi di Brooklyn New York masih berpakaian seperti itu. > > Dalam ajaran Kristiani, khususnya umat Katolik, kita lihat dengan mata > kepala wanita-wanita terhormat mereka memakai kerudung. Para biarawati > (nuns) memakai kerudung, seorang wanita suci pertama dalam sejarah Katolik > (Saint) yang bernama Mother Theresa juga memakai kerudung. Bahkan yang lebih > penting adalah wanita tersuci, dan bahkan kesuciannya melebihi kesucian > manusia biasa juga memakai kerudung. Wanita ini bernama Maryam (Mary). Di > mana-mana kita lihat (what so called) gambar Mary dengan kerudung yang rapi. > > Tapi sejujurnya, pernahkan orang-orang Yahudi mempertanyakan ini kepada > para ulama (Rabbis) mereka? Atau pernahkan mempertanyakan kalau-kalau > wanita itu berpenyakit "inferiority complex" karena memakai kerudung? > Pernahkah pula orang-orang Kristen mempertanyakan hal yang sama ke para > Pastor atau pendeta mereka? Pernahkan mereka membanyangkan bahwa Mother > Theresa, apalagi Mary itu berpenyakit "inferiority complex" karena memakai > kerudung? > > Jika tidak, lalu kenapa selalu mempertanyakan wanita-wanita Muslimah > yang berkerudung? Bagi saya pribadi, ini menunjukkan bahwa Islam itu memang > selalu menjadi daya tarik untuk dipertanyakan oleh banyak orang. Tapi jangan > heran, jika pada akhirnya mereka yang selalu mempertanyakan atau bertanya > tentang Islam itu, masuk ke dalam agama ini. > > Yang disayangkan memang, jika pemakaian kerudung ini dipermasalahkan > oleh orang-orang Islam sendiri. Mempertanyakan masalah ini hanya menandakan > dua hal. Mungkin memang tidak tahu atau boleh jadi memang ada masalah dengan > keimanan itu sendiri. Maka, jangan heran jika mereka yang mempertanyakan > jilbab ini adalah mereka yang kemudian tidak pernah serius mengambil > agamanya, kecuali untuk dijadikan alat argumentasi sebatas lisan. Banyak > yang pintar bicara atau menulis, tapi kemudian di saat dituntut menjalankan > agama ini, mereka mencari berbagai justifikasi untuk menghindarinya. > > Di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, justeru kaum > wanita dinilai tidak pantas untuk tampil ke public jika berjilbab. Seorang > wanita di Turkey terpilih menjadi anggota parlemen dengan suara mutlak, > gagal menduduki kursinya karena tidak diterima ketika akan diambil > sumpahnya. > > Di negara tercinta, Indonesia, negara Muslim terbesar di dunia, masih > ada orang yang merasa tidak sesuai dengan penampilan wanita berkerudung. > Saya terkejut melihat berita seorang presenter TV Metro yang tidak lagi > diperkenankan untuk tampil di depan kamera karena memilih untuk memakai > kerudung. Sangat menyedihkan, tapi barangkali memang begitulah logikah otak > dan hati pengambil kebijakan TV tersebut. > > Sebaliknya, di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas non Muslims, > justeru wanita diberikan kebebasan untuk memakai kerudung jika memang dirasa > pantas dan merupakan kewajiban agamanya. Polwan NYPD (Kepolisian New York) > yang beragama Muslim, semuanya memakai kerudung. Jika anda jalan-jalan ke > City Hall atau Kantor Walikota, anda akan melihat dengan jelas beberapa > wanita yang lalu lalang. > > Murid saya bernama Sonia, sejak masuk Islam setahun lalu berazam untuk > memakai kerudung ke kantornya. Pada awalnya memang bossnya mengingatkan, > jangan-jangan tugasnya sebagai Public Relations Menager di salah satu > perusahaan telekomunikasi itu akan terganggu. Kenyataannya, hingga saat ini > justeru semakin percaya diri dalam menjalankan tugas-tugas, dan telah > mendapatkan promosi dengan kedudukan yang lebih tinggi. > > Lalu, kira-kira logikanya di mana, jika ada orang-orang Indonesia yang > nota benenya Muslim, risih dengan jilbab tapi justeru mendukung cara > berpakaian yang "you can see?" Apakah tidak seharusnya orang-orang seperti > ini kembali mempertanyakan jati dirinya sebagai orang Indonesia yang > memiliki budaya malu yang tinggi dan beragama (dari Hindu, Budha, Islam dan > Kristen berakar dalam sejarah bangsa ini)? Atau barangkali memang "tabiat > dasar" kemanusiannya sudah terbalik? > > Ah masa' iya! Relahkah mereka jika isterinya dipotret dengan hanya > memakai "cawat" persis seperti yang dipakai Hawa (dalam bahasa Injil) lalu > dipajang di pinggir-pinggir jalan Jakarta? Saya yakin, fitrah mereka masih > ada dan sudah pasti akan menolak. Sayang fitrah itu kini terjangkiti > berbagai kotoran sehingga mengalami gangguan (sakit). Akibatnya, dalam > melihat realita di hadapan matanya terjadi pembolak balikan. Yang baik > menjadi buruk, dan yang buruk justeru dipandang baik. Wa'iyaazu billah! > > New York, 6 Maret 2006 > ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/