http://kompas.com/kompas-cetak/0603/09/opini/2495498.htm

 
Prospek HAM Kaum Perempuan Aceh 


Usman Hamid

Kasihan Perempuan. Itulah judul tajuk harian Kompas menyoroti penangkapan 
sejumlah perempuan yang dituduh pelacur di Tangerang (4/3). Di Aceh, 
penangkapan seperti ini juga terjadi. Malah kini ada kekhawatiran, RUU 
Pemerintahan Aceh yang dibahas DPR dapat mengancam hak-hak kaum perempuan di 
Aceh.

Kita mengapresiasi komitmen pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang 
telah setapak demi setapak sukses melaksanakan nota damai. Pelucutan senjata, 
demiliterisasi, amnesti, dan reintegrasi adalah awal kesuksesan itu. Tantangan 
terberat saat ini ada pada pembahasan RUU Pemerintahan Aceh (PA). Jangan sampai 
awal kesuksesan itu hancur justru di saat rakyat dan kaum perempuan Aceh penuh 
optimisme akan perbaikan hidup.

Integrasikan demokrasi-HAM

Untuk itu, penggodokan RUU PA di DPR harus mampu mengintegrasikan kerangka 
demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang berperspektif jender, setidaknya 
pada tiga hal.

Pertama, memperkuat demokrasi berbasis representasi perempuan di semua tingkat 
pengambilan keputusan. Untuk ini, baik RUU PA usulan DPRD (Pasal 65, 128, 168, 
180, dan 184) maupun usulan Depdagri (Pasal 121, 152, 163, 175, dan 179) memuat 
jaminan representasi perempuan dalam pembentukan partai politik lokal, 
kepengurusan partai politik, akses pendanaan bagi usaha ekonomi perempuan, 
pengelolaan pendapatan, pemberdayaan perempuan pada sektor pendidikan, 
kesehatan, hingga ditegaskannya kewajiban negara memajukan dan melindungi hak 
perempuan dan anak.

Kedua, membangun jaminan hak-hak universal perempuan. Ketentuan tentang HAM 
termuat dalam dua RUU PA yang dipersiapkan DPRD Aceh (Pasal 181, 183, dan 184) 
maupun Depdagri (Pasal 176). Secara umum terdapat kesamaan pada jaminan hak dan 
kebebasan berbicara, kebebasan pers, berserikat, berkumpul, bergerak dari satu 
tempat ke tempat lain, berdemonstrasi secara damai, dan mendirikan serikat 
pekerja dan hak mogok. Termasuk jaminan untuk tidak ditangkap, ditahan, diadili 
secara melawan hukum, disiksa, dirampas kemerdekaan dan hidupnya, serta jaminan 
hak untuk mendapat pelayanan dan bantuan hukum, serta akses kepada peradilan.

Sayang RUU PA usulan DPRD Aceh dan Depdagri sama-sama kurang memuat jaminan 
hak-hak perempuan. Kurang di mana? Dari semua rumusan pasal khusus tentang HAM, 
hak perempuan tak disebutkan secara eksplisit. Bisa jadi ini disebabkan 
minimnya representasi perempuan saat perumusan RUU itu. Ini mengulangi proses 
perdamaian era Jeda Kemanusiaan 2000-2001 dan Kesepakatan Penghentian 
Permusuhan RI-GAM 2002-2003 yang kurang melibatkan perempuan sebagai penentu. 
Atau hitung saja berapa persen representasi perempuan di setiap tingkatan 
eksekutif, legislatif, dan yudikatif Aceh, termasuk Badan Rekonstruksi dan 
Rehabilitasi Aceh (BRR), GAM, dan Aceh Monitoring Mission (AMM).

Memang, kita telah memiliki hukum nasional yang secara normatif melindungi 
hak-hak perempuan. Antara lain UU No 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi 
Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (CEDAW) dan UU No 
23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Memang, undang-undang 
yang berlaku nasional juga berlaku bagi setiap orang di Aceh. Namun, jaminan 
itu akan lebih kokoh jika dituangkan juga secara khusus pada bakal 
undang-undang tersebut.

Ketiga, selain ketentuan normatif tentang hak-hak dan kebebasan perempuan, 
integrasi jender dalam kelembagaan hukum dan HAM juga penting. Seberapa jauh, 
misalnya, kaum perempuan Aceh dapat menjadi polisi, jaksa, atau hakim, baik di 
pengadilan umum atau khusus pengadilan HAM? Sejauh mana keterwakilan perempuan 
dalam kelembagaan komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang akan dibentuk di Aceh. 
Sebelum jauh, perlu kita tanyakan juga, adakah jaminan bagi penyelesaian 
seluruh kasus kejahatan berat terhadap perempuan? Sepertinya pemerintah pusat 
belum memberi jaminan penuh akan hal itu.

Kekhawatiran ini setidaknya berangkat dari teks pasal yang berbeda antara versi 
DPRD Aceh dan Depdagri. Pasal 178 Ayat 3 versi Depdagri menyebutkan, Pemerintah 
membentuk Pengadilan HAM untuk Aceh.

Berbeda dengan Pasal 183 Ayat 3 versi DPRD, Pemerintah membentuk Pengadilan HAM 
di Aceh paling lambat 1 (satu) tahun setelah pengesahan undang-undang ini 
Selain jelas di mana kedudukan pengadilan HAM, dimuatnya batas waktu bisa 
mencegah ketidakpastian di masa depan.

Begitu pula KKR. Dalam MOU Helsinki juga dalam Pasal 183 Ayat 6 versi DPRD Aceh 
disebutkan, Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh dibentuk oleh 
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional dengan memperhatikan pertimbangan 
DPRA Teks pasal ini tidak termuat dalam versi Depdagri. Jika pun ada, bukan 
berarti kekhawatiran di atas hilang.

Belum merepresentasikan

Kita tahu, hasil seleksi anggota komisioner di Jakarta belum merepresentasikan 
perempuan. Dari 42 orang yang lolos seleksi, hanya enam perempuan yang lolos 
seleksi. Dari enam calon perempuan ini pun tidak banyak yang memiliki rekam 
jejak advokasi perempuan. Padahal, dalam konteks pelanggaran berat HAM di Aceh, 
perempuan menjadi korban paling menderita. Serangan seksual terhadap kaum 
perempuan menjadi senjata efektif paling lazim dalam konflik bersenjata di 
banyak negara.

Meski pertimbangan jender tidak diatur dalam UU Pengadilan HAM, UU KKR, ataupun 
RUU PA usulan DPRD dan Depdagri, kebijakan affirmative action dan 
pengarusutamaan jender penting diintegrasikan. Mengapa? Untuk menjamin rasa 
hormat kepada hak-hak dan kepentingan kaum perempuan. Ketimpangan representasi 
perempuan dalam tingkatan strategis telah berakibat perumusan kebijakan publik 
untuk Aceh tidak peka jender. Hasilnya selalu melahirkan perang yang kerap 
merampas harkat dan martabat perempuan yang menanggung beban konflik bersama 
anak-anak.

Jika kita ingin membangun perdamaian pascakonflik, jangan sampai perempuan 
justru terpinggirkan. Perempuan mutlak harus terlibat menentukan segala 
kebijakan menuju perdamaian itu. Bukan semata karena perempuan menjadi korban 
dari konflik, apalagi disusul bencana alam tsunami. Namun, lebih karena 
perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki dan memberi kontribusi 
positif dalam penyelesaian masalah-masalah yang timbul di masa konflik.

Usman Hamid Koordinator KontraS


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke