http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/23/opini/2534266.htm

  
Wakil Rakyat, Manusia Setengah Dewa? 


Boni Hargens

Dulu protes dan aksi jalanan dikenal sebagai aktivitas mahasiswa sebagai bentuk 
keterlibatan sosial-politik dalam rangka mewujudkan peran mereka sebagai moral 
force dalam pembangunan politik.

Kini, guru, kepala desa, dan ibu rumah tangga pun turun ke jalan atau melakukan 
aksi jahit mulut sebagai protes. Di Papua, gelombang massa berdemo menuntut 
penutupan PT Freeport Indonesia. Di Mataram, massa turun ke jalan mendukung RUU 
Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang ramai diperdebatkan. Di Bali, 
masyarakat menggelar aksi protes atas RUU APP karena dinilai berpotensi 
mematikan industri pariwisata, sumber utama kehidupan masyarakat Bali.

Artinya, kini ada kecenderungan kuat di masyarakat, penyaluran aspirasi 
dilakukan langsung tanpa melalui sistem politik formal. Apakah ini masalah?

Ada apa dengan wakil kita?

Dari perspektif perwakilan politik, aksi jalanan yang mengeskalasi memunculkan 
pertanyaan, ada apa dengan sistem perwakilan politik kita sehingga masyarakat 
tidak lagi menyalurkan aspirasinya melalui sistem dan lebih memilih aksi 
jalanan? Ada apa dengan wakil rakyat kita?

Minimal ada empat masalah. Pertama, ada tendensi, wakil rakyat memandang 
jabatannya sebagai sesuatu yang istimewa sehingga ia harus menjadi manusia 
istimewa, "manusia setengah dewa" (istilah Iwan Fals). Konsekuensi dari cara 
pandang ini adalah, antara wakil rakyat dan rakyat harus ada batas dan jarak.

Persis batas dan jarak inilah yang kemudian menjauhkan wakil rakyat dari 
berbagai kemelut yang dihadapi masyarakat sehingga fungsi perwakilan politik 
menjadi macet. Mereka lupa, jabatan adalah pelayanan. Maka, wakil rakyat bukan 
manusia setengah dewa, tetapi pelayan yang harus berkorban untuk rakyat.

Kedua, para wakil rakyat sebenarnya bingung dengan tugas dan peran yang harus 
dijalankan. Si wakil rakyat tidak jelas mengerti apa yang seharusnya dan tidak 
seharusnya dilakukan wakil rakyat. Kebingungan ini bisa dipicu berbagai sebab, 
yang paling umum adalah tidak adanya pemahaman tentang peran (role), bagaimana 
harus bertindak dalam situasi tertentu sehingga bisa tampil sebagai wakil 
rakyat yang benar-benar mencerminkan kehendak dan aspirasi konstituen.

Dalam kasus Papua dan PT Freeport, misalnya, masyarakat Papua tidak akan turun 
ke jalan jika mereka yang disebut "wakil Papua" (DPD maupun DPR) di Senayan 
bisa optimal memainkan perannya. Artinya, para wakil rakyat mampu menangkap 
kegelisahan masyarakat Papua dan mampu menyuarakannya di tingkat pusat agar 
antara PT Freeport dan masyarakat Papua ditemukan jalan tengah yang saling 
menguntungkan. Demikian pula protes masyarakat Bali dan NTT terhadap RUU APP 
dan berbagai bentuk aksi protes masyarakat lainnya. Hal-hal seperti ini tidak 
akan terjadi jika lembaga perwakilan benar-benar berfungsi baik. Dalam konteks 
ini, kita memerlukan wakil terdidik yang mampu bernalar dan berempati.

Ketiga, lemahnya ikatan emosional antara wakil dan yang terwakil. Perubahan 
sistem pemilihan, dari proporsional ke proporsional-terbuka, yang diatur UU No 
12 Tahun 2003 dimaksudkan untuk menjamin kedekatan emosional antara wakil dan 
yang terwakil dengan asumsi rakyat mengenal wakilnya.

Kenyataannya, kedekatan emosional tak terbangun karena yang maju ke gelanggang 
kontestasi pemilu adalah figur-figur yang memiliki uang dan jaringan sehingga 
rakyat mudah dimobilisasi untuk datang ke tempat pemungutan suara meski 
nuraninya mungkin tidak menginginkan si calon. Hal ini juga dipengaruhi 
otoritas partai yang masih menentukan nomor urut sehingga pemilihan langsung 
sebetulnya tidak bebas karena rakyat memilih paket dari partai yang notabene 
hasil kompromi politik.

Di atas semua itu, ikatan emosional sebetulnya bisa dibangun ketika sudah 
menjabat sebagai wakil rakyat. Dengan adanya masa reses, DPR bisa mengunjungi 
konstituen sehingga kedekatan emosional bisa dibangun. Tentu dengan asumsi, 
kunjungan itu tidak hanya seremonial, tetapi betul-betul substansial. Inilah 
masalah para wakil rakyat. Tidak banyak wakil rakyat yang bisa dekat secara 
emosional dengan rakyat sehingga tidak aneh jika rakyat sulit memercayai 
wakilnya dan si wakil sulit bertindak untuk dan atas nama rakyat.

Keempat, hubungan wakil rakyat dan organisasi asal (partai politik) masih 
terlalu kaku. Di satu pihak, partai menganggap wakil adalah "milik partai" 
sehingga harus tunduk pada organisasi, di lain pihak wakil rakyat merasa 
berutang budi kepada organisasi yang telah mengusungnya ke pemilu sehingga suka 
atau tidak suka, ia harus "menyenangkan" organisasi. Apalagi adanya fraksi di 
parlemen, kehadiran partai di lembaga perwakilan menjadi amat nyata. Fraksi 
yang semula hanya untuk mengoordinasi anggota partai di parlemen, kenyataannya 
sering menjadi kekuatan pengontrol anggota untuk tetap memperjuangkan 
kepentingan partai.

Hubungan wakil dan partai seperti ini mengaburkan hakikat lembaga perwakilan 
politik sebagai wadah politik yang idealnya dibentuk dalam rangka menciptakan 
"kebaikan umum" yang menjadi teleologi dasar pemerintahan. Pada gilirannya, 
para wakil menjadi mandul dan rakyat yang tidak tahan memikul beban turun ke 
jalan membentuk "parlemen jalanan", menjadi wakil bagi dirinya sendiri, meski 
dengan risiko tidak sedikit.

Boni Hargens Pengajar Departemen Ilmu Politik UI; Direktur Bidang Riset 
Institute for Nation-State Building


[Non-text portions of this message have been removed]



Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke