http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=217789

Jumat, 24 Mar 2006,



Reformasi Keanggotaan OKI
Oleh M. Hasibullah Satrawi 

Berbagai permasalahn terus melilit umat Islam. Baik dalam konteks internal 
maupun eksternal. Pada tahap internal, umat Islam "mewarisi" problem perpecahan 
yang sangat menyedihkan. Kesenjangan -bahkan pengafiran- antarsekte sudah 
menjadi "wajah buruk" Islam selama ini. 

Pada tahap eksternal, permasalahan tak kalah akut. "Buntut panjang" pemuatan 
karikatur Nabi Muhammad beberapa waktu lalu, contohnya, telah "menyambar" ke 
sana ke sini mengusik ketenangan hidup umat beragama.

Pada 7/3/2006, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Departemen 
Luar Negeri (Deplu) Republik Indonesia menggelar Forum Pertemuan Ahli 
Organisasi Konferensi Islam (OKI). Acara terbatas yang berlangsung di Mercure 
Hotel (Jogjakarta) itu menghadirkan Syafi'i Ma'arif, Amien Rais, Riza Sihbudi, 
Musdah Mulia, Yudhistiranto Sunggadi, dan sejumlah tokoh progresif lainnya.

Ada satu hal yang menjadi perhatian serius para pakar tersebut. Yaitu, 
reformasi OKI. Di hadapan problema umat yang sedemikian kompleks ini, OKI 
sebagai organisasi keislaman terbesar sedunia harus mereformasi diri hingga 
problem-problem itu mendapatkan penyelesaian yang kontekstual.

Dua Hal

Reformasi OKI tersebut setidaknya menyangkut dua hal mendasar, yaitu visi dan 
keanggotaan. Dari segi visi, OKI sebenarnya "berwajah" Islam politik. Sebab, 
OKI (secara historis) lahir (25/1969 di Rabat, Maroko) untuk merespons 
peristiwa politik, yakni pembakaran Masjid Al-Aqsha (21/8/1969) oleh ekstremis 
Yahudi. 

Karena itu, bisa dipahami bahwa permasalahan Palestina selalu menjadi agenda 
utama pada setiap pelaksanaan konferensi OKI. Baik yang berbentuk konferensi 
tingkat tinggi (KTT), konferensi tingkat Menlu (KTM), maupun konferensi luar 
biasa.

Pada titik itu, di satu sisi, OKI tidak berbeda dari lembaga-lembaga politik 
berkelas dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Liga Arab. 
Perbedaannya, OKI membatasi diri untuk negara-negara berpenduduk Islam. Di sisi 
lain, OKI telah menjadikan Islam sebagai kekuatan seperti gerakan Islamis 
lainnya selama ini. 

Perbedaannya, OKI menjadikan Islam sebagai kekuatan untuk membentengi dan 
membela umat Islam di mana pun. Sementara itu, gerakan Islamis bertujuan 
menerapkan syariat Islam atau negara Islam.

Hemat saya, kesalahan paling fatal yang pernah dilakukan manusia adalah 
pemaknaan agama dengan kekuatan. Dan, diakui atau tidak, pemaknaan agama 
sebagai kekuatan terjadi hampir merata di semua agama. Sehingga, suatu agama 
menjadi ancaman bagi agama yang lain. Relasi antarumat beragama pun terjebak 
dalam kecurigaan, ketegangan, bahkan kekerasan. 

Pada perkembangan berikutnya, pemaknaan tersebut melahirkan terma politik yang 
"diagamakan". Misalnya, istilah mayoritas dan minoritas, kemudian disebut 
"agama mayoritas" dan "agama minoritas'. Karena pemaknaan tersebut, Yahudi 
menjadi Zionis, Kristen menjadi asosial, dan Islam menjadi tak terpisahkan dari 
kekerasan. 

Keanggotaan OKI juga menjadi permasalahan tersendiri. Sebagaimana dimaklumi, 
OKI menetapkan negara-negara berpenduduk muslim sebagai syarat utama menjadi 
anggota tetapnya. Bukan aliran atau sekte. Hingga saat ini, sudah 59 negara 
berpenduduk muslim yang bergabung dengan OKI.

OKI pun menjadi elitis dan eksklusif. Menjadi elitis karena OKI hanya 
melibatkan pihak-pihak pengambil kebijakan seperti kepala negara dan menteri. 
Hal tersebut terlihat jelas dalam setiap konferensi OKI, baik yang bersifat 
reguler (tiga tahun sekali) maupun darurat. Kalaupun melibatkan pihak lain 
seperti Sekjen PBB, kalangan intelektual, dan lainnya, itu tak lebih sekadar 
"tamu kehormatan". Mereka tidak mempunyai hak untuk masuk lebih jauh ke dalam 
pembahasan konferensi dalam bentuk kebijakan.

Bahkan, OKI juga menjadi eksklusif. Tak hanya bagi "sosok lain" yang tidak 
"islami", melainkan juga terhadap umat Islam. Tokoh-tokoh muslim pada tingkat 
lokal (darah) -apalagi umat Islam- tidak bisa ambil bagian dalam perumusan 
masalah serta pengambilan kebijakan. 

Padahal, bila mau jujur, para intelektual muslim secara umum dan yang di daerah 
secara khusus, maaf, jauh lebih penting daripada para pengambil kebijakan itu. 

Alasannya sederhana. Secara akademis, mereka cukup merasakan "asam garam" 
kehidupan umat Islam dalam menghadapi berbagai problema. Di sisi lain, mereka 
lebih dekat dengan masyarakat. Karena itu, mereka cukup memahami problem 
keumatan yang selama ini bergulir di masyarakat.

Dalam kondisi seperti itu, OKI tak hanya gagal menyatukan umat Islam, tapi 
telah menjadi "serpihan", bahkan penyebab perpecahan tersebut. OKI gagal 
menjadi "payung besar" yang bisa menaungi umat Islam di ragam sekte, aliran, 
negara, suku, dan budayanya. Sebaliknya, OKI justru memperbanyak angka sekte 
dalam Islam.

Karena itu, ada tiga hal yang mendesak untuk dilakukan ke depan. Pertama, 
reformasi sistem keanggotaan OKI. Dari sekadar melibatkan negara dan para 
pengambil kebijakan menuju tokoh-tokoh lokal yang tersebar di ragam aliran yang 
ada. 

Dengan kata lain, OKI semestinya mengembangkan "kepak" sayap hingga mencakup 
sekte-sekte Islam, selain negara-negara Islam. Ibarat payung besar, OKI harus 
bisa menaungi umat Islam di semua aliran dan negaranya.

Diakui atau tidak, ketegangan, kecurigaan, bahkan kekerasan antarsekte Islam 
sudah merupakan fakta historis yang cukup ironis. Ketegangan antara kelompok 
Syiah dan Sunni di Iraq, Ikhwan Muslimin dan kalangan Islam moderat di Mesir, 
serta Islam mayoritas dan Ahmadiyah di tanah air merupakan permasalahan serius 
yang tak gampang diselesaikan. 

Kedua, inklusivitas OKI, terutama di ranah teologis. Diakui atau tidak, OKI 
selama ini hanya mencerminkan dua aliran besar dalam Islam. Yakni, Syiah dan 
Ahlussunnah. Aliran lain seperti Ahmadiyah tidak mempunyai ruang dalam diri 
OKI. Padahal, baik secara kualitas maupun kuantitas, Ahmadiyah tak kalah besar 
dari dua aliran Syiah dan Ahlussunnah. 

Ketiga, konsensus (ijma') keumatan. Selama ini, umat Islam -kalangan agamawan 
khususnya- sering "berpapasan" dengan ijma' tersebut. Sebab, ijma' menempati 
posisi yang sangat strategis dalam hukum Islam. Yaitu, dasar kedua setelah 
Alquran dan sunah. Namun, harus jujur diakui, ijma' pada masa sekarang ibarat 
"makhluk langka". 

Ijma' tidak tampak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, kecuali dalam bentuk 
cerita masa lalu. Dalam kitab-kitab klasik, misalnya, ditengarai bahwa ulama 
ini, sahabat ini, pernah mencapai ijma' seperti ini. Hanya itu! 


M. Hasibullah Satrawi, peneliti di P3M, Jakarta



[Non-text portions of this message have been removed]



Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to