16 Mar 2006 - 1:40 pm
Oleh : Adian Husaini
Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)

Dalam sebuah aksi penggalangan penolakan terhadap RUU Antipornografi
dan Pornoaksi (RUU APP) di berbagai jaringan internet, terdapat
ungkapan: ''Pro dan kontra sehubungan dengan Rancangan Undang-Undang
Antipornografi dan Pornoaksi telah memasuki tahap yang sangat
membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.''

Para penentang RUU APP memang sudah lama menggulirkan isu berbahaya
dan sensitif bagi bangsa Indonesia ini. Gertakan dan ultimatum sengaja
disebarkan melalui media massa. Dan masyarakat Bali menjadi salah satu
yang dieksploitasi. Bahwa, jika RUU APP disahkan, maka mereka akan
memisahkan diri dari NKRI.

Bersamaan dengan isu disintegrasi bangsa, sebagian kalangan juga
menggulirkan isu Arabisasi. Seorang budayawan liberal dengan bangganya
menulis artikel berjudul 'RUU Porno': Arab atau Indonesia. Di berbagai
tayangan televisi dan media cetak, bertebaran kata-kata bahwa RUU APP
ini hanya mengadopsi kepentingan salah satu kelompok (baca: Islam).


Meneror

Gertakan dan ultimatum semacam itu cukup efektif menjadi bahan teror
mental politisi Muslim. Sebagian politisi Muslim di DPR berusaha
membuktikan tidak ada 'bau Islam' dalam RUU APP. Seolah-olah
membenarkan asumsi bahwa aspirasi Islam adalah 'barang haram' di
Indonesia, karena membahayakan integrasi bangsa.

Mereka kemudian berusaha membuktikan bahwa RUU APP murni mengadopsi
nilai-nilai bangsa dan untuk kepentingan seluruh bangsa. Ini bukan RUU
Islam. Tidak benar ada Islamisasi dalam RUU APP ini. Tapi tentu saja
argumen-argumen itu tampak lucu. Karena kenyataannya, yang sangat
aktif mendukung RUU APP adalah ormas-ormas Islam dan ibu-ibu
berjilbab.

Umat Islam --kecuali yang pro-pornografi-- memang sangat
berkepentingan dengan RUU ini. Sebab sasaran utama aksi pornografi dan
pornoaksi adalah kaum Muslim yang merupakan mayoritas bangsa ini.
Indonesia adalah negara Islam (anggota OKI). Maka, aspirasi Islam
dalam perundang-undangan adalah hal yang 'halal' di negara ini.
Nilai-nilai Islam secara legal-formal juga merupakan sumber nilai dan
hukum yang sah bagi negara ini.

Bahkan, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
menegaskan: ''...kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22
Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan satu
rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.''

Prof Notonagoro, guru besar UGM, memberikan arti kata ''menjiwai''
dalam dekrit tersebut sebagai berikut: ''...bahwa Piagam Jakarta
menjiwai UUD 1945, khususnya terhadap pembukaannya dan Pasal 29, pasal
mana harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan...
yaitu bahwa dengan demikian, kepada perkataan Ketuhanan dalam
Pembukaan UUD 1945 dapat diberikan arti Ketuhanan dengan kewajiban
bagi umat Islam menjalankan syariatnya.''

Bahkan, menurut guru besar hukum adat dan hukum Islam UI, Prof
Hazairin, kata ''negara menjamin kemerdekaan...'' (Pasal 29 Ayat 2 UUD
1945) tidak hanya menempatkan negara dalam posisi pasif, tetapi juga
dalam posisi aktif, yaitu ''negara berkewajiban menjalankan syariat
agama Islam.''

Dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia, Indonesia memang negeri
Muslim. Adalah sangat wajar jika aspirasi dan nilai-nilai Islam
menjadi pijakan bagi bangsa ini. Amerika Serikat, meskipun mengaku
sekuler-liberal, dengan tegas menyatakan diri sebagai masyarakat dan
bangsa Kristen. Tahun 1811, Mahkamah Agung AS menyatakan: ''We are a
Christian people''. Dan tahun 1892, mereka menegaskan lagi: ''This is
a Christian Nation''.


Wacana klasik

Isu disintegrasi dalam kaitan dengan aspirasi Islam di Indonesia sudah
menjadi wacana klasik dalam sejarah Indonesia. Untuk menggagalkan
Piagam Jakarta, kaum Kristen di Indonesia Timur mengancam untuk
meninggalkan NKRI. Tahun 1997, kaum Kristen di Indonesia menerbitkan
buku Beginikah Kemerdekaan Kita. Dalam artikelnya yang berjudul
Harapan Masa Depan Indonesia, Pendeta Dr P Oktavianus, mencatat bahwa
sewaktu ada ide akan membentuk Indonesia menjadi negara agama,
Indonesia bagian Timur dengan tegas menolak dan hanya mau bergabung
dengan Republik jika Indonesia menjadi negara kesatuan.

Yang dimaksud Oktavianus adalah penerapan Piagam Jakarta, yang oleh
Soekarno sendiri dinyatakan sebagai jalan kompromi antara golongan
Islam dengan golongan kebangsaan. Peristiwa itu sendiri hingga kini
masih terselimut misteri. Siapa sebenarnya opsir Jepang yang mengaku
menerima pesan dari kaum Kristen Indonesia Timur agar tujuh kata dalam
Mukaddimah UUD 1945 dicabut?

Hingga akhir hayatnya, Hatta belum mengungkapnya. Dr M Natsir, pendiri
DDII, menyebut peristiwa 18 Agustus 1945 itu sebagai ''Peristiwa
ultimatum terhadap Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan''.

Mengomentari ancaman pihak Kristen di tahun 1945 itu, Natsir menulis:
''Menyambut hari Proklamasi 17 Agustus kita bertahmied. Menyambut hari
besoknya, 18 Agustus, kita beristighfar. Insya Allah umat Islam tidak
akan lupa.'' Menurut Natsir, Kaum Kristen sangat konsisten dalam
menjalankan ultimatum 18 Agustus 1945. ''Sungguhpun tujuh kata-kata
itu sudah digugurkan, tetapi mereka tidak puas begitu saja,'' kata
Natsir.

Di bidang legislatif, kaum Kristen berusaha keras menggagalkan setiap
usaha pengesahan UU yang diinginkan kaum Muslim untuk dapat lebih
mentaati ajaran-ajaran agama mereka. Wacana disintegrasi juga mewarnai
pembahasan RUU Peradilan Agama dan RUU Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Kedua UU itu dikait-kaitkan dengan aspirasi Islam dan
Piagam Jakarta. Pastor Florentinus Subroto Wiyogo SJ, pernah
mengatakan,''Tiada Toleransi untuk Pagam Jakarta!'' Dia menyatakan
dalam tulisannya bahwa ''RUUPA mengambil dari seberang''.


Berlebihan

''Ketakutan'' terhadap apapun aspirasi Islam kadangkala terlalu
mencolok dan berlebihan, seperti penolakan terhadap rumusan draf
Piagam Pernyataan Bersama Cendekiawan Indonesia yang berbunyi:
''berupaya meningkatkan kualitas SDM Indonesia seutuhnya yang beriman
dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan agama
masing-masing.''

Menurut Cornelius D Ronowidjojo, tokoh Persatuan Inteligensia Kristen
Indonesia (PIKI), anak kalimat ''berdasarkan agama masing-masing'' itu
'berbau' Piagam Jakarta sehingga pemunculannya merupakan langkah
mundur (setback) sejarah.

Ketika wacana demokrasi rasional proporsional mencuat dalam
perpolitikan Indonesia pada dekade 1990-an, Oktavianus juga menulis:
''Jika ide demokrasi rasional dan proporsional diterapkan dan bukan
demokrasi Pancasila, Indonesia bagian Timur tentu akan terangsang
untuk memisahkan diri dari Republik.''

Tahun 2003, menyusul tuntasnya pembahasan RUU Sisdiknas, sebagian
kalangan Kristen masih saja mengeluarkan isu disintegrasi bangsa.
Christianto Wibisono, menyebarkan tulisannya berjudul Transplantasi
Jantung Asli NKRI?. Menurut kolumnis Kristen yang kini menetap di AS
itu, menyusul kasus Mei 1998, masalah RUU Sisdiknas, bukan pula
sekadar pendidikan atau filosofi, melainkan bagian dari proses
mempertahankan eksistensi NKRI berdasarkan Pancasila, atau malah
menggerogotinya dengan dasar negara lain yang sudah berulang kali
ditolak sejak 18 Agustus 1945.

Kata Christanto lagi, sejak pengesahan UUD 1945 yang diawali dengan
petisi delegasi ''tak bernama'' dari Indonesia Timur kepada Wapres
Mohammad Hatta, sebetulnya elite Indonesia sudah dewasa, arif
bijaksana, berwatak pluralis, sekuler, dan demokrat sambil tetap
menjunjung tinggi hak asasi paling hakiki, iman kepada Tuhan (di atas
semua agama formal). Jadi, Christianto mengaitkan disahkannya RUU
Sisdiknas sebagai ancaman terhadap NKRI.

Dengan disahkannya RUU Sisdiknas, pada 11 Juni 2003, menurutnya, maka
NKRI terancam. Katanya: ''Tidak sadarkah elite politik Jakarta bahwa
apa yang terjadi pada 11 Juni 2003 akan membuyarkan NKRI yang
digembar-gemborkan akan dipertahankan dengan darah oleh TNI? Bagaimana
Fraksi TNI bisa meloloskan UU yang membahayakan eksistensi NKRI sebab
telah mengganti 'jantung Ketuhanan yang Maha Esa' dengan jantung lain
bikinan kelompok sektarian yang masih terus ngotot mau
men-''syariah''-kan Indonesia.''

Berbagai tekanan, ultimatum, teror mental, dan sebagainya yang
ditimpakan kepada kaum Muslim dalam kasus RUU APP, merupakan bagian
dari wacana politik yang sudah lazim terdengar. Suara-suara itu tentu
perlu dipahami dan diapresiasi sebagai bagian dari bargaining politik
dan aspirasi. Setelah UU Peradilan Agama, UU Sisdiknas, UU Pokok
Perbankan, UU Zakat, dan sebagainya --yang menyerap sebagian aspirasi
Islam-- disahkan, toh semua kemudian berjalan biasa-biasa saja.

Kaum Muslim, terutama para politisi Muslim, tidak perlu ketakutan
dituduh menyuarakan aspirasi Islam dalam soal RUU APP. Umat Islam juga
tidak perlu ngambek dan mengancam untuk memisahkan diri dari NKRI jika
aspirasinya belum dipahami dan diakomodasi. (RioL)


Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke