Asma Barlas, Membaca Quran dengan Semangat Pembebasan

Oleh: Syafiq Hasyim*

Asma Barlas dilahirkan di Pakistan, tempat ia menjadi perempuan pertama, 
1976, di negara tersebut yang bekerja untuk pelayanan luar negeri 
(foreign service). Pada masa Zia Ul Haq, Barlas diberhentikan dari 
tugasnya karena kritiknya yang keras terhadap kekuasaan rezim militer di 
Pakistan yang dipimpin oleh jenderal ini. Selepas dari pekerjaannya, ia 
kemudian bergabung sebagai asisten editor di surat kabar The Muslim , 
sebuah surat kabar yang menyuarakan oposisi terhadap kebijakan 
pemerintah. Namun, pada 1983, Asma Barlas harus meninggalkan negaranya 
karena rezim saat itu melakukan pengusiran terhadapnya. Ia pergi ke 
Amerika Serikat dan mendapatkan suaka politik (political asylum) dari 
negeri ini. Riwayat pendidikannya dimulai dari universitas di Pakistan 
di mana ia mendapatkan B.A. dalam bidang sastra Inggris dan filsafat 
serta M.A. dalam bidang jurnalisme. Dia kemudian melanjutkan studinya di 
Amerika dan mendapatkan M.A. dan Ph.D. dalam bidang kajian internasional 
di Universitas Denver, Colorado.[1]

Secara intelektual, Asma Barlas memiliki karier yang cukup bagus. Hal 
ini bisa dilihat dari jabatan akademis yang ia pegang dan juga 
tulisan-tulisannya yang tersebar di mana-mana. Saya bisa mengatakan 
bahwa Barlas merupakan salah satu penulis prolifik di kalangan 
intelektual perempuan Islam yang tulisannya bisa dijumpai di banyak 
tempat. Bahkan, kalau kita telusuri tulisan-tulisannya, kita bisa 
dapatkan bahwa perhatian studinya tidak hanya terbatas pada kajian 
mengenai Islam dan perempuan, tetapi juga kajian-kajian mengenai politik 
internasional dan isu-isu menarik lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ia 
memiliki spectrum intelektual yang cukup luas.

Dalam kesempatan ini, saya hanya mengarahkan pada karya Asma Barlas yang 
berkaitan dengan Islam dan perempuan dalam bukunya Cara Quran 
Membebaskan Perempuan (Serambi 2005). Asma Barlas memulai menulis buku 
ini kira-kira 10 tahun yang lalu, apabila dihitung sampai tahun 2005, 
ketika isu tentang Islam tidak menarik banyak orang di Amerika. Edisi 
Inggris buku ini sendiri terbit pada tahun 2002. Keinginannya untuk 
menulis buku ini dipicu oleh anggapan yang beredar di kalangan 
masyarakat, khususnya Amerika dan masyarakat Barat lainnya, bahwa Islam 
adalah sebuah patriarki agamis (religious patriarchy) yang menganut 
model-model hubungan yang hierarkis dan ketidaksetaraan seksual serta 
mengharuskan penyerahan diri seorang perempuan terhadap laki-laki.[2] 
Meskipun demikian, menurut Barlas, banyak orang Islam yang sesungguhnya 
tidak selalu melaksanakan apa yang dikatakan Alquran.

Namun demikian, kemunculan buku ini sesunggunya tidak bisa dilepaskan 
dari pengalaman pribadi sang penulis, khususnya yang berkaitan dengan 
posisi dia sebagai seorang muslim. Barlas mengakui bahwa ketertarikan 
dia untuk mengkaji Islam tumbuh karena pengalaman yang ia hadapi di 
Pakistan sebagai tanah air pertama sampai 1983, dan juga di Amerika 
Serikat sebagai tanah air kedua sampai sekarang. Sebagaimana kita 
ketahui, Pakistan adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama 
Islam (98%). Satu pengalaman yang cukup menarik bagi Barlas adalah 
ketika rezim Ziaul Haq memperkenalkan syariah sebagai hukum positif di 
Pakistan . Namun, menurut Barlas, hukum ini justru menguatkan 
ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan, misalnya, dengan menyamakan 
kesaksian 2 perempuan dengan kesaksian 1 laki-laki, kegagalan untuk 
membedakan antara perkosaan dan perzinaan, di mana semua kasus di atas 
menjadi objek rajam, sesuatu yang menurut Barlas tidak pernah dinyatakan 
oleh Alquran. Lebih lanjut, menurutnya, beberapa hukum syariah yang 
diperkenalkan memiliki konsekuensi yang merugikan bagi perempuan. Satu 
contoh yang melecehkan perempuan yang diangkat Barlas adalah kasus yang 
melibatkan sebuah pemerkosaan terhadap perempuan yang akibat pemerkosaan 
tadi menjadikan perempuan tersebut hamil. Pengadilan mengambil kasus ini 
sebagai bukti bahwa si perempuan telah salah karena melakukan hubungan 
perzinaan dan menghukum si perempuan ini dengan dirajam, sedangkan 
pemerkosa sendiri terbebaskan dari tuntutan karena keadaan perempuan 
yang buta sehingga menyebabkan si perempuan itu tidak bisa mengenali si 
pemerkosa. Namun, meskipun si korban perkosaan itu tidak buta, menurut 
Barlas, si perempuan tetap akan kesulitan karena tidak ada perempuan 
lain yang bisa menjadi saksi peristiwa tersebut.

Barlas juga mendapatkan pengalaman yang hampir serupa di Amerika, di 
mana banyak warga Amerika yang mengalamatkan hal-hal yang mungkin sangat 
kecil kaitannya dengan Islam dan bahkan tidak ada hubungannya dengan 
Islam seperti soal budak perempuan, jilbab, sunat perempuan, dan juga 
mengenai jihad, terutama setelah peristiwa 11 September. Menurut Barlas, 
tidak ada konsep jihad dan sunat perempuan dalam Islam. Pemaknaan Islam 
sebagai agama yang aneh (bizarre) dan menyimpang menjadi sangat terkenal 
di mana-mana sehingga menyulitkan untuk membuat kesan baik. Sudah barang 
tentu, kesan ini begitu terasa setelah kejadian 11 September. Di mata 
dunia Barat, orang Islam dikesankan anti Kristen dan Yahudi, dan 
tanggung jawab untuk menyatakan hal yang sebaliknya berada di pihak 
kita. Inilah yang secara pribadi dirasakan Barlas agak menyulitkan hidup 
di negara seperti Amerika. Meskipun ia memiliki semacam hak-hak hukum 
dan kebebasan personal yang lebih dibandingkan dengan kehidupannya di 
Pakistan, namun dengan adanya Patriot Acts yang menarik balik hak-hak 
hukum dan kebebasan sipil masyarakat Islam, ia tidak yakin kebebasan 
muslim di Amerika akan berarti.[3]

Dua latar belakang di ataslah--dan seluk beluk yang mengitarinya--yang 
pada intinya bisa dikembalikan kepada cara pembacaan terhadap sumber 
Islam paling pokok, yaitu Alquran, yang sedikit banyak mendorong Asma 
Barlas menulis buku tersebut.

Membaca Alquran dalam Perspektif Antipatriarki Apa yang diinginkan oleh 
Asma Barlas dalam menulis buku yang ketebalan aslinya mencapai 254 
halaman (+ indeks) adalah sekitar perlunya pembacaan kembali kitab suci 
kita, Alquran, dalam perspektif yang menjunjung egalitarianisme. Dalam 
hal ini, ada dua hal yang ingin ia tekankan: pertama , menentang 
pembacaan Alquran yang menindas perempuan; kedua , menawarkan pembacaan 
yang mendukung bahwa perempuan dapat berjuang untuk kesetaraan di dalam 
kerangka ajaran Alquran. Dalam Catatan Akhir buku ini, Barlas mengatakan 
bahwa tujuan dia menulis buku ini adalah untuk menemukan kembali basis 
struktural bagi kesetaraan seksual, dan menolak klaim yang dibuat baik 
oleh kelompok konservatif Islam maupun oleh kelompok feminis yang 
menyatakan bahwa Islam adalah agama yang memihak patriarki. Dengan 
menghadirkan buku ini, Barlas menginginkan adanya kebenaran kepemahaman 
tentang cara baca terhadap Islam (Alquran). Barlas menginginkan agar 
Islam terlepas dari citra negatif tentang perempuan yang selama ini 
berkembang, sebab pembacaan terhadap posisi perempuan di dalam Islam 
masih terkesan sangat negatif.

Seluruh penjelasan dalam buku ini pada dasarnya ditujukan untuk menjawab 
dua pertanyaan penting yang diajukan sendiri oleh Barlas: (1) Apakah 
kitab Alquran mengajarkan atau menutup mata atas ketidaksetaraan atau 
penindasan? (2) Apakah Alquran mendorong atau mengizinkan pembebasan 
terhadap perempuan? Secara praktis, buku ini ditujukan untuk melakukan 
kritik atas penindasan tekstual dan seksual yang terjadi di kalangan 
masyarakat Islam atau, dengan menggunakan istilah Leila Ahmed, untuk 
membuka " stubbornly egalitarian voice of Islam " dan juga untuk 
meletakkan buku ini sebagai peyeimbang yang legitimate atas suara Islam 
yang otoriter. Sebagaimana kita ketahui, dalam banyak kasus di banyak 
negara yang berpenduduk mayoritas muslim, kelompok yang menyuarakan 
otoritarianisme pada dasarnya berjumlah kecil dalam bilangan, namun 
mereka sangat intensif dalam menyuarakan kepentingan mereka seperti 
penerapan hukuman hudud, jihad, dan sebagainya. Di Indonesia, misalnya, 
kelompok yang memiliki kecenderungan otoritarianisme memiliki suara yang 
lebih lantang khususnya di media massa dibandingkan dengan kelompok yang 
menyuarakan egalitarianisme.

Kunci utama untuk menampilkan wajah Islam yang egaliter adalah dengan 
cara membaca kembali Alquran. Dalam membaca Alquran, seseorang akan 
disuguhi oleh pelbagai kemungkinan hasil pembacaan; mereka yang membaca 
Alquran dengan kaca mata patriarkis, maka makna yang dihasilkan dari 
bacaan model ini sudah barang tentu sangatlah patriarkis. Barlas tidak 
pernah menolak kenyataan di masyarakat Islam yang menggunakan cara baca 
seperti di atas. Namun, menurutnya, apa yang penting dikemukakan adalah 
cara baca di atas terkadang menutup cara baca yang lainnya, yaitu cara 
baca yang egaliter terhadap Alquran. Menurut Barlas, seluruh teks pada 
dasarnya adalah polisemik, terbuka untuk segala macam bacaan. Kita tidak 
bisa membiarkan Alquran menjelaskan sendiri mengapa orang membacanya 
dalam model bacaan tertentu atau mengapa orang memiliki kecenderungan 
untuk memenangkan bacaan mereka dan mengalahkan bacaan yang lain. 
Kecenderungan seperti ini sangat mungkin terjadi pada teks suci seperti 
Alquran sebagaimana yang dinyatakan Mohammed Arkoun, dikutip oleh 
Barlas, yang sering kali dicabut dari konteks sejarah, kebahasaan, 
sastra, dan psikologi, dan kemudian secara terus-menerus 
direkontekstualisasikan dalam kebudayaan yang beragam dan kebutuhan 
ideologis dari pelakunya yang bermacam-macam pula. Berangkat dari Arkoun 
ini, ungkap Barlas, kita perlu menguji siapa saja yang telah membaca 
teks Alquran secara historis, dan bagaimanakah cara mereka membaca 
Alquran tersebut, dalam hal ini, bagaimana mereka memilih epistemologi 
dan metodologi (hermeneutika). Selain aspek epistemologi dan metodologi, 
hal yang perlu dilihat juga adalah bagaimana peranan masyarakat penafsir 
dan juga negara dalam membentuk pengetahuan dan otoritas keagamaan yang 
memungkinkan mereka menerapkan bacaan Alquran yang patriarkis.

Cara baca di atas diajukan oleh Barlas untuk memperkuat dan membuktikan 
tesis dia tentang karakteristik egalitarianisme dan antipatriarkhalisme 
di dalam Alquran. Karenanya, Barlas menyatakan bahwa bacaan yang 
patriarkis dan misoginis itu pada dasarnya tidak bersumber pada Alquran, 
tetapi bersumber pada para penafsir dan komentator Islam. Ia menegaskan 
bahwa cara baca Alquran dengan menggunakan model di atas sudah gagal 
melahirkan sintesis yang kreatif dari prinsip-prinsip Alquran, karena 
cara baca ini tidak mengakui hubungan-hubungan tematis di dalam Alquran 
dalam cara pandang yang holistik.

Tiga Pembentuk Wacana di dalam Islam

Dalam melihat bagaimana Islam berbicara tentang perempuan, Barlas 
menggunakan dua argumen penting: argumentasi sejarah dan argumentasi 
hermeneutik. Argumentasi sejarah yang dia maksud adalah pengungkapan 
karakter politik tekstual dan seksual yang berkembang di kalangan 
masyarakat Islam, terutama proses yang telah menghasilkan tafsir-tafsir 
di dalam Islam yang memiliki kecenderungan patriarkis. Sedangkan 
argumentasi hermeneutik dimaksudkan untuk menemukan apa yang ia sebut 
sebagai epistemologi egalitarianisme dan antipatriarkhalisme di dalam 
Alquran. Ada tiga langkah dalam hal ini: pertama , menjelaskan karakter 
teks Alquran yang polisemik dan membuka pelbagai kemungkinan pemaknaan, 
sebagai kritik terhadap pola penafsiran yang reduksionis dan esensialis, 
yakni bahwa kita hanya dibolehkan membaca Alquran dalam kerangka 
patriarkis saja. Kedua , Barlas ingin menolak relativisme penafsiran, 
sebuah pandangan yang menyatakan bahwa semua model bacaan pada dasarnya 
benar. Langkah ketiga adalah meletakkan kunci-kunci hermeneutik untuk 
membaca Alquran dalam karakter Divine Ontology .

Pemakaian kedua argumen di atas, terutama argumentasi sejarah yang 
berkaitan dengan politik tekstual dalam Islam tampak, misalnya, ketika 
Barlas mencoba menguraikan hubungan Alquran dan tafsirnya. Sebagaimana 
pendapat ulama-ulama Islam klasik maupun modern, Barlas tetap 
berpendapat bahwa Alquran sebagai wacana suci pada dasarnya adalah 
wacana yang tidak bisa ditiru, diganggu dan diperdebatkan, namun 
pemahaman (tafsir) terhadap kitab suci tersebut bisa diperdebatkan.[4] 
Pandangan seperti demikian mengingatkan kita pada pandangan Abdul Karim 
Soroush yang memisahkan antara agama (religion) dan pengetahuan agama 
(religious knowledge). Kalau agama adalah kebenarannya tidak bisa 
diganggu gugat, sedangkan pengetahuan akan agama adalah bentuk 
penafsiran seseorang terhadap agama tersebut, yang kebenarannya sangat 
relatif dan bisa diperdebatkan.[5] Apa yang ingin ditekankan oleh Barlas 
tentang Alquran sebagai teks adalah tentang sifatnya yang tidak berbeda 
dari teks-teks lainnya dalam hal keterbukaan untuk pelbagai macam 
pembacaan atas setiap ayatnya.[6] Dengan mengutip Paul Ricoeur, 
kebermacaman--akan pemaknaan--adalah corak dari teks secara menyeluruh. 
Karenanya, masih menurut Ricouer, hipotesis kunci dalam filsafat 
hermeneutik bahwa penafsiran adalah sebuah proses terbuka yang mana 
tidak ada satu pandangan yang dapat menyimpulkan. Dalam kerangka inilah, 
conclusive reading (pembacaan yang menyimpulkan) sangat sulit dihasilkan 
karena keberagaman dan subjektivitas kesamaran makna di dalam teks Arab 
yang aslinya. Di sini, Barlas mengemukakan mengapa tafsir yang berkaitan 
dengan hak-hak perempuan tidak bisa diubah, meskipun sebenarnya aspek 
keberagaman dan subjektivitas juga terjadi dalam kasus tersebut. Dengan 
kata lain, tafsir-tafsir yang berkaitan dengan hak-hak perempuan selalu 
diasumsikan sebagai hal yang tidak bisa diubah meskipun jelas-jelas 
merugikan kaum perempuan. Ini adalah bagian dari politik tekstual yang 
berkembang dalam sejarah penafsiran Alquran dan masih berlaku hingga 
sekarang. Dengan ini, Barlas ingin menyatakan bahwa Alquran sebagai teks 
utama di dalam Islam tidak bisa terlepas dari pluralisme pembacaan, 
kejamakan kepentingan tafsir, dan juga penuh dengan kata-kata polisemik, 
namun semua itu, merujuk kepada Amina Wadud, tidak berarti bahwa Alquran 
adalah bermacam-macam ( variant ).[7]

Sedangkan tafsir perlu dijelaskan di sini salah satunya karena kesan 
yang ada selama ini bahwa kitab-kitab tafsir dianggap sebagai 
representasi dari apa yang dikehendaki dan ingin dikatakan oleh Alquran. 
Kebenaran yang dinyatakan oleh kitab-kitab tafsir seolah-olah merupakan 
kebenaran Alquran itu sendiri, padahal tafsir di sini hanyalah merupakan 
upaya penjelasan yang bersifat manusiawi terhadap Alquran. Barlas 
menginginkan agar asumsi seperti ini hilang sehingga tidak terjadi 
kerancuan. Merujuk kepada Arkoun, munculnya kerancuan antara Alquran dan 
tafsirnya sudah lama terjadi, tepatnya dimulai sejak masa klasik Islam 
ketika mufasir pada masa itu tidak sadar akan bahasa tektual modern dan 
teori tafsir yang mengasumsikan korepondensi antara Alquran dan 
tafsirnya. Tafsir karya al-Thabarî adalah yang dijadikan contoh oleh 
Arkoun akan hal ini.

Kedudukan Perempuan dalam Islam (Alquran) Selanjutnya, kita patut 
mengajukan pertanyaan tentang bagaimana kedudukan perempuan dalam model 
pendekatan yang diajukan Barlas. Apakah upaya yang dilakukan Barlas juga 
membantu kita untuk menguraikan permasalahan-permasalahan penafsiran 
terhadap sumber Islam yang selama ini diduga oleh banyak kalangan 
sebagai merugikan kaum perempuan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan 
ini, alangkah baiknya kita simak uraian-uraian Barlas atas isu-isu utama 
yang berkaitan dengan penafsiran Alquran di dalam kitab suci kita, 
khususnya mengenai penerapan prinsip egalitarianisme Alquran untuk isu 
perempuan. Untuk konteks ini, mari kita lihat tiga hal penting yang 
menjadi sorotan buku ini.

Pertama , soal patriarkisme. Istilah ini menjadi hal yang sangat perlu 
untuk disorot oleh Barlas karena adanya wacana yang berkembang, yang 
sesungguhnya tidak hanya di dalam Islam tetapi juga di dalam agama-agama 
lainnya, tentang dominasi corak patriarkisme di dalam menafsirkan 
teks-teks utama agama-agama termasuk Islam. Barlas menolak adanya 
patriarkisme di dalam Alquran apabila yang dimaksud dengan istilah ini 
adalah aturan kebapakan atau politik pengistimewaan laki-laki.[8] Untuk 
membuktikan bahwa Alquran menolak patriarkisme dan, sebaliknya, 
mengajarkan egalitarianisme, Barlas menguraikan secara panjang lebar 
sejumlah hal. Konsep tauhid yang menjadi inti ajaran Islam adalah hal 
yang pertama dipaparkan oleh Barlas. Konsep ketauhidan ini digunakan 
Barlas untuk menolak adanya asumsi patriarkisme di dalam Islam, 
misalnya, konsep yang mengatakan bahwa Tuhan terdiri atas unsur Anak dan 
Bapak. Meskipun jelas kita semua menolak membayangkan bapak sebagai 
perwakilan dari Tuhan, namun banyak dari kita yang masih beranggapan 
tidak bermasalah untuk melanjutkan pemaskulinan Tuhan secara bahasa dan 
juga mempropagandakan supremasi laki-laki atas perempuan dengan 
menggunakan legitimasi bahwa laki-laki adalah wakil Tuhan di muka 
bumi.[9] Menurut Barlas, sebenarnya, asal mula teologi patriarkis dalam 
Islam bisa dilacak dari ilmu kalam dan juga sufisme. Meskipun secara 
formal kalangan teolog menolak menerapkan kata bapak kepada Tuhan, namun 
ungkapan-ungkapan simbolis mereka mencerminkan supremasi kelaki-lakian. 
Ilmu kalam dan sufisme telah melakukan kesalahan merepersentasikan Tuhan .

Selain melakukan dekonstruksi terhadap wacana representasi Tuhan dalam 
pelbagai literatur keilmuan Islam, dalam konteks ini, Asma Barlas juga 
mengusulkan desakralisasi konsep bahwa Tuhan adalah sang Bapak, para 
rasul adalah Bapak, sang Bapak adalah lelaki, sang lelaki adalah sang 
pemimpin. Dalam bayangan patriarki tradisional, para rasul sebagai Bapak 
( father ) yang menjadi representasi dari Tuhan. Para penafsir misalnya 
sering kali menjenderkan Tuhan kepada Bapak, entah itu kepada para rasul 
ataukah kepada para raja dan tuan tanah. Dalam kasus tradisi Jawa, 
misalnya, kekuasaan Tuhan mengejawantah dalam diri raja-raja Jawa yang 
notabene adalah para lelaki agung. Menurut penulis buku ini, ajaran 
Alquran tentang Tuhan dan rasul--mungkin tentang penguasa--secara jelas 
melarang kita menjenderkan Tuhan ke dalam jenis kelamin sosial tertentu, 
misalnya, merepresentasikan Tuhan sebagai Bapak/Laki-laki karena di 
dalam Alquran monoteisme merupakan aspek yang tidak bisa ditoleransi dan 
ditawar-tawar. Sangat sulit untuk ditoleransi jika kaum bapak atau 
laki-laki adalah orang yang memiliki hak untuk dijadikan representasi 
dari Tuhan. Apa yang dilakukan oleh Barlas dalam konteks ini adalah 
penghapusan sikap dan bayang-bayang yang selama ini masih menggelayuti 
benak masyarakat Islam akan pilihan spesial Tuhan atas para Bapak atau 
kaum lelaki lainnya untuk menjadi wakil resmi di atas bumi ini. Memang, 
di dalam Alquran, menurut Barlas, ada semacam pengakuan bahwa di dalam 
sistem masyarakat patriarki, laki-laki menjadi pusat kekuasaan 
sebagaimana beberapa ayat ditujukan untuk kaum laki-laki. Namun, ini 
semua tidak menjadi indikasi bahwa Alquran adalah kitab suci yang 
patriarkis. Justru, ayat-ayat tersebut, meskipun secara literal mungkin 
menggunakan bentuk laki-laki, namun bentuk laki-laki tersebut juga 
mencakup pengertian perempuan. Teori semacam ini sebetulnya bukan hal 
baru yang ditemukan oleh Barlas, akan tetapi sudah lama dikenal di 
kalangan ahli bahasa dan sastra Arab.

Hal kedua yang disorot oleh Asma Barlas adalah isu-isu seksualitas dan 
jender dalam Islam, khususnya di sekitar isu mengenai persamaan 
(sameness), perbedaan (difference), dan kesetaraan (equality) antara 
laki-laki dan perempuan. Untuk hal yang berkaitan dengan konsep 
sameness,[10] sebagaimana dipromosikan oleh sebagian kalangan feminis, 
bagi Barlas tidak sesuai dengan pandangan Alquran. Meskipun ia dalam hal 
ini tetap memandang bahwa Alquran mengakui perbedaan biologis antara 
laki-laki dan perempuan, namun perbedaan jasad tersebut tidak 
menyebabkan mereka berbeda dalam tataran etika dan moral. Selain itu, 
laki-laki dan perempuan mereka memiliki kesetaraan, bahkan persamaan 
pada tingkat ontologis, di mana laki-laki maupun perempuan diciptakan 
dari nafs (single self). Elaborasi atas istilah nafs yang diberikan oleh 
Barlas cukup panjang lebar dan lengkap, namun kritik saya terhadap 
eloborasi ini adalah tidak menginformasikan temuan-temuan baru sehingga 
terkesan mengutip apa yang telah dikemukakan oleh pemikir-pemikir 
pendahulu seperti Fazlur Rahman, Riffat Hassan, dan Amina Wadud, yang 
pendapat mereka memang banyak dikutip oleh penulis buku ini. Lebih 
lanjut, ternyata, persamaan antara laki-laki dan perempuan adalah bahwa 
keduanya memiliki kapasitas yang sama sebagai agen moral (moral agency). 
Artinya, mereka sama-sama memiliki tugas-tugas kemanusiaan yang tidak 
berbeda.

Hal ketiga yang menjadi pokok bahasan dalam buku ini adalah wacana 
tentang keluarga dan perkawinan. Menurut penulis buku ini, sistem 
keluarga dalam Islam tidak menunjukkan nilai-nilai patriarkhalisme. 
Selama ini memang ada anggapan bahwa lembaga keluarga dan juga mungkin 
perkawinan menjadi bukti nyata akan kentalnya patriarkhalisme di dalam 
Islam. Pandangan seperti ini muncul karena kesalahan dalam melihat teks 
dan konteks Alquran. Karenanya, Barlas dalam hal ini menekankan perlunya 
pemahaman tidak hanya terhadap teks, tetapi tak kalah pentingnya juga 
terhadap konteks ketika ayat-ayat Alquran diturunkan. Dalam melihat isu 
mengenai keluarga dan perkawinan dalam Islam, Barlas menggunakan 
pendekatan seperti di atas, sebuah pendekatan yang sebenarnya sudah 
menjadi kebiasaan di kalangan para penafsir Alquran. Di dalam kehidupan 
keluarga, Alquran mendukung penuh kesetaraan antara laki-laki dan 
perempuan. Alquran, menurut Barlas, dalam kaitannya dengan hubungan 
orangtua dan anak, lebih banyak menekankan soal kewajiban di antara 
mereka daripada soal hak.[11] Pembicaraan tentang hak biasanya 
diderivasi dari pembicaraan tentang kewajiban. Selain itu, di dalam 
Alquran, posisi laki-laki atau bapak tidak begitu menonjol. Antara bapak 
dan ibu memiliki hak yang setara terhadap anak-anak mereka. Meskipun 
demikian, ada beberapa ayat di dalam Alquran yang selama ini dijadikan 
sebagai dalil atas supremasi laki-laki, yaitu ayat tentang kepemimpinan 
perempuan dan tentang pemukulan istri. Tentang kepemimpinan perempuan, 
dengan merujuk kepada terjemahan-terjemahan Alquran yang kompeten, 
Barlas berusaha menjelaskan makna yang sebenarnya yang dikehendaki 
dengan istilah qawwamûna . Dari telaahnya terhadap referensi yang ia 
baca, Barlas tampaknya setuju untuk tidak menafsirkan kata qawwamûna 
sebagai pemimpin. Barlas lebih condong menafsirkan qawwamûna sebagai 
laki-laki pencari nafkah. Namun, menurutnya, pencari nafkah tidak 
otomatis menjadi kepala keluarga. Demikian juga dalam konteks 
nuzyûz,[12]  Alquran sama sekali tidak pernah menekankan agar istri 
menaati suami. Sebagaimana kaum feminis muslimah lainnya, kata dharaba 
dalam surah al-Nisâ': 34 tidak selalu dimaknai dengan memukul, akan 
tetapi juga bisa dimaknai dengan makna-makna lainnya, misalnya 
"memberikan contoh". Barlas menyatakan bahwa tindakan pemukulan pada 
dasarnya bertentangan dengan pandangan dan ajaran tentang kesetaraan di 
dalam seksualitas yang diajarkan oleh Alquran bahwa perkawinan harus 
didasarkan pada cinta, permaafan, keharmonisan, dan ketenangan.

Lalu, bagaimana dengan poligami dan perceraian yang di dalam hukum Islam 
sering kali menjadi alasan untuk menyatakan bahwa laki-laki memang 
memiliki kedudukan setingkat lebih tinggi daripada perempuan. Meskipun 
Barlas memiliki kecenderungan untuk menolak poligami, namun ia 
menghendaki agar pemahaman terhadap poligami ini tidak digeneralisasi, 
artinya setiap laki-laki berhak melakukan poligami. Apabila poligami 
memang bisa dilakukan, maka menurut Barlas, hendaknya tindakan tersebut 
dipahami sebagai tindak pemberian akses seksual kepada perempuan ketika 
jumlah mereka melebihi jumlah lelaki. Ia juga menambahkan bahwa misi 
utama dalam ayat ini bukanlah soal bagaimana seorang laki-laki boleh 
memiliki istri lebih dari satu, melainkan distribusi keadilan sosial dan 
penyantunan terhadap anak yatim. Dengan demikian, kalau melihat tujuan 
syariat tersebut, maka untuk mewujudkan keadilan sosial bagi anak-anak 
perempuan yang ditinggal mati oleh orangtua mereka tidak harus dilakukan 
melalui poligami, tetapi juga bisa dilakukan melalui tindakan-tindakan 
karitatif yang lain. Dalam kasus perceraian, prinsip egalitarianisme di 
dalam Alquran terlihat pada proses yang harus ditempuh baik sesudah 
maupun setelah perceraian itu terjadi, misalnya, dalam kasus hak-hak 
yang akan didapatkan oleh istri jika diceraikan suaminya, suami tidak 
bisa menceraikan secara bebas, dan lain sebagainya. Semua argumen 
tentang egalitarianisme dalam perceraian ini ditunjukkan oleh Barlas 
dengan berdasarkan pada ayat-ayat Alquran. Namun, di sini, Barlas tidak 
menunjukkan kasus apabila yang menghendaki perceraian itu pihak istri, 
apakah istri tetap mendapatkan nafkah. Padahal, kasus perceraian dari 
pihak istri, yang dalam fikih kita kenal dengan istilah fasakh, diduga 
sebagai sumber anggapan bahwa model perceraian di dalam Islam tidaklah 
egaliter.

Dari paparan di atas, kita bisa menangkap apa yang dikehendaki dengan 
tawaran pembacaan kembali terhadap Alquran yang dilakukan Barlas. Satu 
hal yang mungkin bisa saya katakan di sini, Barlas mengajak kita membaca 
Alquran dengan semangat pembebasan (liberation), membebaskan dari 
patriarkhalisme politik penafsiran tekstual dan seksual di dalam Islam.

Catatan Akhir Ada beberapa catatan yang perlu saya berikan setelah 
membaca buku ini. Harus saya akui bahwa buku ini cukup lengkap 
menghantarkan kita ke dalam diskusi mengenai persoalan isu-isu perempuan 
di dalam Alquran dengan menggunakan perspektif gabungan antara 
penggunaan sumber-sumber klasik dan sumber-sumber modern, terutama yang 
berkaitan dengan wacana feminisme dan hermeneutika. Meskipun demikian, 
bukan berarti buku ini tidak memiliki kelemahan. Berikut ini saya akan 
berikan beberapa catatan: Pertama , ulasan buku ini agak serius dan 
akademis, karenanya buku ini cenderung agak kaku dan tekstual, penuh 
dengan rujukan-rujukan. Bahkan, kalau kita membaca buku ini, hampir 
sulit ditemukan sebuah pernyataan yang muncul tanpa disertai dengan 
rujukan dan kutipan. Hal ini mengakibatkan kesulitan untuk menemukan ide 
asli dari penulisnya, Barlas sendiri. Misalnya, pembahasan soal 
kepemimpinan perempuan, hampir tidak ada ide yang orisinal yang dibawa 
oleh Barlas. Semua ide yang disajikan merupakan pengungkapan kembali 
ide-ide yang pernah diajukan oleh penulis-penulis sebelumnya seperti 
Fazlur Rahman, Amina Wadud, Fatima Mernissi, dan Riffat Hassan. Kedua , 
buku ini terlalu banyak mengandalkan sumber-sumber sekunder, terutama 
untuk kajian tafsir Alquran. Istilah-istilah kunci seperti qawwamûna dan 
dharaba dirujuk tidak langsung kepada kitab aslinya, akan tetapi melalui 
Amina Wadud, Mernissi, atau yang lainnya. Kalau kita lihat daftar 
referensi yang dibaca, hampir tidak ada referensi kitab tafsir terkemuka 
karya-karya ulama besar tafsir seperti al-Thabarî, Ibn Katsir, 
Thaba'thaba'i, Abduh, dan sebagainya, yang biasa menggunakan bahasa 
Arab. Hal ini yang membuat kita merasa kesulitan menemukan dinamika baru 
dalam karya ini yang berkaitan dengan soal tafsir.[13] Namun, dua 
catatan di atas tidak mengurangi daya tarik untuk membaca buku ini. 
Selamat membaca.

* Penulis adalah Deputi Direktur International Center for Islam and 
Pluralism, Jakarta

Catatan Kaki

   1. Buku lain yang ditulis oleh Asma misalnya adalah Democracy,
      Nationalism and Communalism: The Colonial Legacy in South Asia
      (Westview Press, 1995). Pengetahuan lebih luas tentang Asma Barlas
      bisa diakses pada http://www.ithaca.edu/faculty/abarlas.
   2. Dalam hal ini ia terinspirasi juga oleh feminis Islam
      berkebangsaan Maroko, Fatima Mernissi, dalam bukunya, Women's
      Rebellion and Islamic Memory, London : Zed, 1996.
   3. Asma Barlas, Islam, "Women and Equality," I, Daily Times .
   4. Asma Barlas, Believing Women in Islam, h. 33.
   5. Lihat buku Abdul Karim Soroush, Reason, and Democracy in Islam,
      Oxford University Press: New York , 2000.
   6. Asma, ibid ., h. 35.
   7. Meskipun pada kenyataannya Alquran memiliki 14 versi qira'at
      (pembacaan), namun di sini Barlas tidak mengupas panjang lebar
      soal tersebut.
   8. Asma Barlas, Believing , h. 93
   9. Ibid, 99.
  10. Penyamaan secara total fisik dan psikis antara laki-laki dan
      perempuan.
  11. Asma Barlas, Believing, h. 175.
  12. Ketidakpatuhan istri terhadap suami yang mengakibatkan kebolehan
      suami untuk memukul istri.
  13. Diakui sendiri oleh Barlas bahwa ia memang sengaja menggunakan
      Alquran terjemahan Inggris seperti karya Abdullah Yusuf Ali dan
      Mohammad Marmaduke Pickthall, daripada merujuk langsung ke Alquran
      dan tafsirnya yang berbahasa Arab.

source: 
http://www.serambi.co.id/modules.php?name=Gagas&aksi=selanjutnya&ID=6


[Non-text portions of this message have been removed]



Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke