Uncle  Dwi W. Soegardi toles:
Satu paket dengan tulisan Nadirsyah Hosen di Gatra, berikut ini kajian The Wahid Institute tentang Peraturan-Peraturan Daerah yang sarat dengan muatan Syariat Islam. Di antaranya adalah Perda di Kabupaten Bulukumba, Sulsel.
------------------------------------------
MQ toles:
Ini ana kirim artikelnya Abah ttg Bulukumba

Wassalam
Muammar Qaddhafi yg pk e-mainya Abah pd mlm/hr Jmt

MQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQ


BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
670. Oleh-oleh dari Bulukumba

Kongres Ummat Islam III telah sepekan berlalu. Banyak oleh-oleh yang dapat disajikan, namun oleh-oleh ini difokuskan kepada substansi yang ditimba dari Pidato dalam Upacara Pembukaan Kongres III Ummat Islam. Yaitu Pidato Sambutan Gubernur Sulsel yang dibacakan oleh Wakil Gubernur Sulsel, H.M. Syahrul Yasin Limpo. Sebelum membacakan Pidato Sambutan tersebut, tanpa teks Wagub Sulsel mengemukakan antara lain bahwa "yang namanya Syari'at Islam itu tidak harus kita paksakan." Walaupun itu tanpa teks di luar sambutan resmi dari Gubernur Sulsel, maka itu tidaklah dapat dipandang sebagai pendapat pribadi H.M. Syahrul Yasin Limpo, melainkan itu tidak dapat tidak adalah merupakan juga pendapat resmi dari Lembaga Pemerintah. Sedangkan pernyataan "yang namanya Syari'at Islam itu tidak harus kita paksakan," adalah keniscayaan ditujukan kepada KPPSI Sulsel dan Forum Ummat Islam (FUI) Sulsel, karena itu adalah sambutan resmi yang diucapkan dalam Upacara Pembukaan Kongres Ummat Islam III yang diselenggarakan oleh kedua Lembaga Da'wah tersebut.

Menilik pernyataan Wakil Gubernur Sulsel itu, yang ditujukan kepada KPPSI dan FUI maka sungguh-sungguh sangat perlu lebih intenssif ditingkatkan sosialisai Penegakan Syariat Islam yang diupayakan oleh KPPSI Sulsel sebagai pemegang amanah Kongres Ummat Islam Sulawesi Selatan. Mengapa? Karena sedangkan seorang Muslim terpelajar seperti Wagub itu mempunyai semacam "kecurigaan", atau sekurang-kurangnya mempunyai "kekuatiran", apatah pula bagi para Muslim awwam,  lebih-lebih lagi bagi yang non-Muslim. Berupa apakah itu kecurigaan ataupun krkuatiran tersebut? Yaitu Wagub mempunyai kecurigaan atau kekuatiran bahwa jangan-jangan KPPSI itu akan memaksakan penegakan Syari'at Islam itu.

Maka jawabannya singkat saja. Tidak ada alasan utuk curiga ataupun kuatir terhadap KPPSI Sulsel. KPPSI mempunyai goal, atau tujuan strategis yaitu suatu "rumah politik" yang berwujud Otonomi Khusus bagi Provinsi Sulsel dengan ciri Syari'at Islam sesuai dengan UUD-1945 yang telah diamandemen. Sementara tujuan strategis itu belum tercapai, maka objectivenya berupa tujuan taktis, memanfaatkan kondisi yang ada, yaitu ikut aktif memberikan masukan dalam Perda-Perda yang bernuansa Syari'at Islam, contohnya seperti apa yang telah sementara terwujud di Kabupaten Bulukumba berupa 4 Perda, yaitu Perda ttg: 1. Miras, 2. Zakat, Infaq dan Sadaqah, 3. Busana Muslim dan Muslimah, 4. Pandai Baca Al Quran. 

***

Terlepas dari kecurigaan ataupun kekuatiran itu, maka secara substansial akademis apakah Syari'at Islam itu sama sekali tidak boleh dipaksakan? Jawabannya tidak, juga bisa dijawab ya dalam konteks yang berbeda. Syari'at Islam yang bermuatan: aqidah, jalannya hukum dan akhlaq, meliputi cakrawala yang luas, yaitu petunjuk untuk mengatur baik kehidupan nafsi-nafsi (individu), maupun  kehidupan kolektif dengan substansi yang  bervariasi seperti  keimanan,  ibadah ritual,  karakter  perorangan,  akhlaq individu dan kolektif, kebiasaan manusiawi, ibadah non-ritual seperti: hubungan keluarga, kehidupan sosial politik ekonomi, administrasi, teknologi serta pengelolaan lingkungan, hak dan kewajiban warga-negara, dan terakhir yang tak kurang pentingnya yaitu sistem hukum yang teridiri atas komponen-komponen: substansi aturan-aturan perdata-pidana, damai-perang, nasional-internasional, pranata subsistem peradilan dan apresiasi hukum  serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang berakhlaq.

Seperti yang telah ditulis oleh H.Muh.Nur Abdurrahman dalam kualitas sebagai Wakil Ketua I Majelis Syura KPPSI Sulsel dalam rubrik Opini, Harian Fajar, edisi Jum'at, 25 Maret 2005, berjudul "Kultural dan Struktural", dapat kita baca:

Maka simaklah ayat yang berikut: 
-- WLTKN MNKM AMt YD'AWN ALY ALKHYR WYAaMRWN BALM'ARWF WYNHWN 'AN ALMNKR WAWLaK HM ALMFLhWN (S. AL 'AMRAN, 3:104) dibaca:
-- waltakum mingkum ummatuy yad'uwna ilal khayri waya'muruwna bilma'ruwfi wayanhawna 'anil mungkari waula-ika humul muflihu-n (s. ali 'Imra-n), artinya:
-- Wajiblah ada di antara kamu kelompok yang menghimbau kepada nilai-nilai kebajikan dan memerintahkan berbuat baik, mencegah kemungkaran, serta mereka itulah orang-orang yang menang.

Waltakun, di dalamnya ada lam al amar, lam yang menyatakan perintah, jadi Allah memerintahkan mesti ada tiga kelompok, yaitu
-- pertama, organisasi yang menghimbau, seperti MUI, FUI, Muhammadiyah, NU, IMMIM, KPPSI dll. Organisas-organisasi keagamaan ini berda'wah secara kultural menanamkan nilai-nilai Al Furqan dalam masyarakat.
-- kedua, organisasi yang memerintahkan, yang beroperasi di bidang da'wah politik / struktural, yaitu birokrasi yang memerintah dengan peraturan perundang-undangan yang ditimba dari Nilai Mutlak Al Furqan. 
-- ketiga, organisasi yang mencegah, yaitu pranata hukum yang mencegah kejahatan. Dalam mekanisme kenegaraan di Indonesia adalah polisi, jaksa dan hakim.

Maka Syari'at Islam tidak boleh dipaksakan dalam konteks kaki yang pertama, yaitu  Syari'at Islam ditanamkan dalam masyarakat secara kultural oleh mekanisme organisasi Da'wah. Namun apabila nilai-nilai Syari'ah telah ditimba dan diwujudkan dalam Peraturan Perundang-undangan, maka dalam konteks kaki yang kedua dan kaki yang ketiga oleh mekanisme birokrasi dan pranata hukum, dipaksakanlah Syari'ah itu berupa "law enforcement". WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar,  3 April 2005
    [H.Muh.Nur Abdurrahman]

MQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQMQ



  ----- Original Message -----
  From: Dwi W. Soegardi
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com ; [EMAIL PROTECTED] ; keluarga-sejahtera@yahoogroups.com ; majelismuda@yahoogroups.com
  Sent: Wednesday, April 26, 2006 10:42 PM
  Subject: [wanita-muslimah] Depancasilaisasi Lewat Perda SI


  Satu paket dengan tulisan Nadirsyah Hosen di Gatra, berikut ini kajian
  The Wahid Institute tentang Peraturan-Peraturan Daerah yang sarat
  dengan muatan Syariat Islam. Di antaranya adalah Perda di Kabupaten
  Bulukumba, Sulsel. Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana dalam
  wawancaranya menganalisis latar belakang trend SI di daerah-daerah dan
  membeberkan sejumlah permasalahannya.

  btw, agak mengherankan juga Wahid Institute meggunakan istilah
  "depancasilaisasi" padahal saya menangkap maksudnya di sini adalah
  "islamisasi" atau "formalisasi" SI.

  salam,
  DWS

  Edisi VII / GATRA-edisi 24/XII 29 April 2006

  Depancasilaisasi Lewat Perda SI


  Saat pemerintah pusat berupaya mempertahankan keutuhan NKRI,
  pemerintah daerah justru menggerogotinya dengan menelurkan perda-perda
  SI. Itulah upaya depancasilaisasi yang dilakukan para birokrat dan
  elite politik dengan cara membajak syariat Islam.

  Foto:
  Spanduk "Dengan Visi Relijius Islami, Kita Masyarakatkan Poligami,"
  sindiran bagi syariatisasi di Tasikmalaya dari Partai Nurul Sembako
  Pimpinan Acep Z Noor.


  SEPUCUK undangan dari Desa Garuntungan, Kecamatan Kindang, Bulukumba
  untuk menghadiri pertemuan kader-kader kesehatan se-kecamatan diterima
  Maria (nama samaran, red) dengan gembira. Dengan seragam pantalon
  putih dipadu kemeja putih, bidan desa ini bergegas ke balai desa salah
  satu desa percontohan syariat Islam itu.

  Pelataran balai desa telah dipadati warga. Maria bergegas menuju
  kerumunan itu. Namun langkahnya dihentikan panitia. Pasalnya,
  perempuan yang rajin kebaktian di gereja ini tak memakai jilbab, tutup
  kepala perempuan muslim. Meskipun petinggi desa setempat tahu Maria
  adalah non-muslim, sehelai jilbab tetap saja disodorkan.

  Maria tak mendebat. "Dari pada jadi masalah, saya pakai jilbab itu
  dengan terpaksa," katanya kepada peneliti dari Lembaga Advokasi dan
  Pendidikan Anak
  Rakyat (LAPAR), Subair Umam dan Mukrimin Amin di Makassar.

  Maria hanya puncak gunung es 'korban' pemberlakuan Peraturan Daerah
  Kabupaten Bulukumba No. 5/2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah
  di Kabupaten Bulukumba.

  Padahal pasal 13 perda itu menyebutkan: "Peraturan Daerah ini hanya
  berlaku bagi masyarakat yang beragama Islam dan berdomisili dan atau
  bekerja dalam wilayah Kabupaten Bulukumba."

  Bahkan ayat 2 di pasal dan perda yang sama menegaskan: "Bagi
  Karyawan/Karyawati, Mahasiswa/Mahasiswi dan Siswa/Siswi dan pelajar
  serta masyarakat yang tidak beragama Islam busananya menyesuaikan
  dengan ketentuan yang berlaku bagi agama masing-masing."

  Selain perda di atas, Bupati Bulukumba Patabai Pabokori pada 25
  Agustus 2003, juga mengesahkan dua perda lain yang bernuansa Islam.
  Yaitu Perda No. 2/2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq dan
  Shadaqah Dalam Kabupaten Bulukumba, juga Perda No. 6/2003 tentang
  Pandai Baca Al-Quran Bagi Siswa dan Calon Pengantin Dalam Kabupaten
  Bulukumba.

  "Karena perda mensyaratkan wajib bisa mengaji (baca Al-Quran, red)
  beberapa perkawinan sempat tertunda karena calon pengantin tak dapat
  memenuhi syarat itu , sedang pihak keluarga sudah sosialisasi
  perkawinan anaknya. Dalam kebudayaan Bugis Makassar, pembatalan sebuah
  perkawinan merupakan siri' (malu). Jadi Perda ini berpotensi memicu
  konflik sosial," Subair Umam memaparkan penelitiannya.

  Tak hanya bagi calon pengantin, Perda Pandai Baca Al-Quran
  mengharuskan tiap pelajar yang akan naik kelas atau melanjutkan
  sekolah untuk menjalani ujian mengaji. Mereka dinyatakan lulus bila
  bisa membaca Al-Quran dan mendapat sertifikat sebagai tanda kemahiran.

  "Sertifikat sebagaimana disebut pada ayat (1) dikeluarkan oleh Bupati
  atau pejabat yang ditunjuk berdasakan rekomendasi dari sekolah yang
  bersangkutan dan pengawas pendidikan agama," jelas pasal 5 ayat 2
  perda itu.

  Selain perda, Bupati Patabai yang mengaku menggunakan dana taktis
  daerah untuk mendukung program pakaian muslim ini, juga membentuk 12
  desa muslim sebagai percontohan penerapan syariat Islam. Tapi, proyek
  yang telah dicanangkan bupati itu menyimpan aneka masalah.

  "Penentuan antara desa percontohan muslim dan yang bukan, sangat
  problematik dan bisa menimbulkan kecemburuan antar warga. Mereka yang
  desanya tidak dianggap sebagai desa muslim juga bisa marah," tegas
  anggota DPRD Bulukumba dari Partai Kebangkitan Bangsa, Zainal Abidin
  kepada Muh. Mabrur dari LAPAR Makassar.

  Jejak Bulukumba yang getol menerapkan syariat Islam ini diikuti
  daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Jawa
  Barat, Kalimantan Selatan dan Sumatera Barat.

  Para legislator daerah berbondong-bondong studi banding dengan kas
  daerah dan menjiplak peraturan-peraturan bersifat Islami dari
  kabupaten pengrajin Phinisi itu.

  "Teknik legal drafting perda-perda itu bermasalah, karena copy paste.
  Pergi ke satu daerah, balik dengan Perda dari daerah itu, diganti
  judulnya, bahkan ada daerah yang lupa nama kabupaten (yang dijiplak,
  red) masih belum diganti," ungkap Dosen Fakultas Hukum Universitas
  Gadjah Mada Denny Indrayana (lihat: Ada Unsur Melecehkan Al-Quran dan
  Hadits).

  Taktik legislator daerah yang diungkap Denny itu kembali terbukti,
  ketika Anggota Komisi A DPRD Depok Qurtifa Wijaya mengakui, Rancangan
  Peraturan Daerah Anti Pelacuran dan Anti Minuman Keras Kota Depok
  meng-copy paste peraturan daerah serupa dari Kota Tangerang.

  "Komisi A sudah melakukan kunjungan ke Kota Tangerang yang memiliki
  Perda No. 7/2005 tentang Antimiras dan No. 8/2005 tentang Pelarangan
  Pelacuran. Kunjungan termasuk juga ke Bali dan Banjarmasin," kata
  anggota FPKS ini seperti ditulis Indo Pos (18/4/2006).

  Di samping bermasalah pada teknik pembuatan, Denny Indrayana menilai,
  perda bernuansa Islami tidak mematuhi hierarki perundang-undangan yang
  dimandatkan UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan
  Perundang-undangan.

  Berdasar UU ini, perda berada di bawah UU No. 32/2004 tentang
  Pemerintahan Daerah, yang lebih dikenal dengan UU Otonomi Daerah
  (Otda). Disebutkan dalam Pasal 10 ayat 3 UU Otda, urusan politik luar
  negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional,
  dan agama merupakan wewenang pemerintah pusat.

  "Kalau diatur perda, keagamaan jadi masalah daerah. Maka bisa
  diinterpretasikan, ini kewenangan pusat yang diserobot oleh daerah,"
  tegas Doktor Hukum Tata Negara lulusan Universitas Melbourne Australia
  ini.

  Dari situ, Program Officer Pluralisme Watch the WAHID Institute Rumadi
  menyimpulkan, "Karena babonnya (tiga perda SI Bulukumba, red.) sudah
  bermasalah, otomatis duplikatnya juga," katanya (lihat: Tiga Perda SI
  Bulukumba Dikaji
  Lewat UU).

  Tapi , banyak cara menyelesaikan persoalan yang menumpuk dalam perda
  itu. Menurut Rumadi, pasal 145 ayat 2 UU Otda menyatakan perda yang
  bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan
  yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Langkah ini
  disebut executive review.

  "Keputusan pembatalan perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden
  paling lama 60 hari sejak diterimanya perda itu," imbuh Dosen Syariah
  UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengutip ayat 3 pasal yang sama di
  UU Otda.

  Kenyataannya, perda-perda Islami itu masih tetap diberlakukan
  pemerintah daerah hingga saat ini. "Menurut data yang kami dapat dari
  Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, beberapa daerah memang
  sengaja tidak melaporkan keberadaan perda-perda yang dibuatnya. Hingga
  saat kami masih mencari data apakah perda-perda Islami itu telah
  sampai ke tangan Departemen Dalam Negeri atau belum," kata Rumadi.

  Seandainya executive review tidak dijalankan pemerintah, jalan lain
  yang masih terbuka yaitu mengajukan judicial review ke MA atau
  mengajukan gugatan ke MK. "Di luar itu ada proses sosiologis, politis,
  bagaimana masyarakat melakukan pressure di luar konteks hukum agar
  terjadi legislative review," jelas Denny Indrayana.

  Ironis, saat pemerintah pusat dengan berbagai upaya mempertahankan
  keutuhan Indonesia, pemerintah daerah dan elite lokal justru
  menggerogoti persatuan bangsa dengan menelurkan perda-perda dengan
  membajak syariat Islam.

  "Syariat Islam direduksi menjadi sekedar masalah kulit semata yang
  tidak menyentuh
  kebutuhan nyata masyarakat. Mereka gagal mempromosikan susbtansi
  ajaran Islam (maqashid al-syariah) dalam konteks pelayanan publik,"
  kata Rais Syuriyah NU Australia-New Zealand Nadirsyah Hosen (lihat:
  Reformasi Syariat Birokrasi).

  Unsur maqâshid al-syarî'ah lainnya yang gagal dipenuhi adalah hifdh
  al-dîn (memelihara agama). Unsur ini bisa diberi konteks jaminan
  kebebasan beragama bagi seluruh umat manusia seperti yang dijalankan
  Rasulullah di Madinah.

  Dengan demikian, perda-perda SI tidak saja bisa dibatalkan demi hukum,
  tapi juga batal demi logika kemanusiaan, bahkan Islam.

  Diperlukan ketegasan pemerintah pusat menghentikan proses
  depancasilaisasi lewat perda SI ini, agar bangsa Indonesia yang
  beragam tidak terpecah-belah.[]

  Gamal Ferdhi, Nurul H Maarif


  Edisi VII / GATRA-edisi 24/XII 29 April 2006

  Suplemen ini dipersembahkan The Wahid Institute, bekerja sama dengan
  The Asia Foundation dan Majalah GATRA.
  Dapat dijumpai setiap bulan, pada pekan terakhir. Kritik dan saran
  kirim ke [EMAIL PROTECTED] -
  www.wahidinstitute.org


  Tiga Perda SI Bulukumba Dikaji Lewat UU

  Perda No. 6 Tahun 2003
  Pandai baca Al-Quran Bagi Siswa dan Calon Pengantin

  UU No. 20 tahun 2003
  Tentang Sistem Pendidikan Nasional

  Problem
  1. Pasal 1 angka 4 dan 19, Kontradiksi terlihat ketika Perda tersebut
  menyatakan "pendidikan agama adalah pendidikan agama Islam."
  Diskriminasi terhadap pemeluk agama lain menjadi nyata karena ada
  pengaturan soal khatam Al-Quran yang diperdakan.
  Jika Perda tersebut hanya mengatur pendidikan agama bagi yang beragama
  Islam, bagaimana dengan peserta didik yang beragama selain Islam?

  2. Pasal 4 ayat (2) dan (3), Dalam Perda tersebut dinyatakan,
  kemampuan baca tulis Al-Quran adalah wajib dan jika tidak mampu maka
  akan dikenakan sanksi seperti termaktub dalam Pasal 4 ayat (1) dan
  Pasal 8.
  Ketentuan kewajiban yang disertai sanksi ini bertolak belakang dengan
  prinsip pendidikan yang dianut dalam UU Sisdiknas yang mengedepankan
  prinsip pembudayaan dan pemberdayaan serta pengembangan kemauan.

  3. Pasal 11 ayat (1), Kontradiksi terlihat ketika Perda tersebut
  menyatakan "pendidikan agama adalah pendidikan agama Islam."
  Diskriminasi terhadap pemeluk agama lain menjadi nyata karena ada
  pengaturan soal khatam Al-Quran yang diperdakan. Jika Perda tersebut
  hanya mengatur pendidikan agama bagi yang beragama Islam, bagaimana
  dengan peserta didik yang beragama lain?


  UU N0. 32 tahun 2004
  Tentang Pemerintahan Daerah

  Problem:
  Kontradiksi terjadi ketika Pasal 10 huruf f UU No. 32 tahun 2004 yang
  membatasi kewenangan Pemda dalam masalah agama ternyata malah
  dilanggar. Kewenangan atributif ini tidak tak terbatas. Artinya tidak
  semua hal bisa diatur oleh Pemda, diantaranya soal agama. Dan hal yang
  dibahas di perda ini termasuk urusan agama yang seharusnya tidak
  diperdakan.

  Perda N0. 02 Tahun 2003
  Pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah

  Perda No.05 Tahun 2003
  Berpakaian muslim dan muslimah Tentang Pemerintahan Daerah idem


[Non-text portions of this message have been removed]



Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment ....




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke