http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=223929

Rabu, 03 Mei 2006,



Siapkah Kita?
Anggaran Pendidikan 20 Persen
oleh Mohammad Nuh




DALAM waktu tidak lama lagi -sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berkait dengan peningkatan alokasi anggaran pendidikan menjadi 20 persen pada APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) tahun-tahun mendatang sesuai amanat UUD- rasanya, anggaran pendidikan 20 persen akan menjadi kenyataan.

Kalau dalam putusan MK pada 22 Maret 2006 -dalam sidang putusan uji materi terhadap UU No 13/2005 tentang APBN 2006- diputuskan bahwa menyangkut anggaran pendidikan sebesar 9,1 persen sebagai batas tertinggi bertentangan dengan UUD, dan MK tidak membatalkan UU No 13/2005, itu bukan berarti putusan tersebut bisa ditoleransi pada tahun anggaran berikutnya. Sebab, pertimbangannya lebih pada tahun anggaran yang berjalan.

Artinya, pada tahun anggaran mendatang, pemerintah dituntut harus bisa memenuhi seperti yang tertera dalam UUD 45 pasal 31 ayat 4, yang mengatakan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta APBD.

Pertanyaannya, siapkah lembaga pendidikan kita ketika anggaran pendidikan 20 persen itu benar-benar terealisasi. Sebab, sekurang-kurangnya, 20 persen APBN dan APBD itu paling tidak dua kali lipat anggaran yang selama ini diterima Diknas.

Memang ada yang mengkhawatirkan, kenaikan porsi anggaran pendidikan menjadi minimal 20 persen dari total APBN dan APBD itu berisiko pada munculnya kebocoran atau penyimpangan dalam penggunaannya. Hal itu didasarkan, pertama: pada kenyataan di lapangan bahwa dalam pengelolaan pendidikan masih ditemukan adanya kebocoran atau penyimpangan tersebut.

Meski demikian, juga tidak dibenarkan ada alasan untuk tidak memenuhi tuntutan minimal anggaran tersebut karena harus menunggu "sucinya" pengelolaan penggunaan anggaran. Kedua, belum adanya program detail tahunan sebagai turunan dari grand design pendidikan nasional.

Atas dasar itulah, ke depan, Departemen Pendidikan Nasional dan juga lembaga pendidikan -dalam hal ini sekolah dan perguruan tinggi sebagai ujung tombak pelaksanaan dan penyerap anggaran- harus benar-benar menyiapkan diri untuk: (i) meningkatkan kemampuan dalam manajemen sekolah (ii) menyiapkan program detail yang mencerminkan kegiatan persatuan sekolah dengan ukuran keberhasilannya, dan (iii) menyiapkan sistem monitoring, evaluasi, serta improvisasi.

Ini menjadi sangat penting agar tidak muncul pertanyaan, mampukah atau siapkah lembaga pendidikan kita menyerap dengan tepat anggaran 20 persen dari APBN dan APBD? Jika tidak, bukan mustahil rasionalitas 20 persen anggaran pendidikan itu hanya akan menjadi bumerang bagi departemen, lembaga, atau institusi pendidikan itu sendiri.

Efisiensi dan Akuntabilitas

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Tapi, sebelum melakukan gerak-langkah itu, hal paling penting adalah bagaimana menerapkan efisiensi dan akuntabilitas menjadi sebuah syarat mutlak untuk bisa membuktikan bahwa anggaran pendidikan 20 persen kelak dapat secara signifikan dirasakan manfaatnya. Keduanya harus menjadi roh dalam mengelola pendidikan.

Efisiensi bukanlah minimisasi anggaran, tetapi ketepatan dalam pengalokasian anggaran. Rasionalitas pengalokasian tersebut, setiap mata kegiatan yang disertai dengan mata anggaran dapat dipertanggungjawabkan baik dari sisi substansi maupun administrasinya. Itulah substansi akuntabilitas.

Sedikitnya ada dua tolok ukur yang bisa dijadikan acuan untuk dapat menyerap anggaran pendidikan 20 persen yang tidak menimbulkan kemubaziran, yaitu kualitas output dan kualitas outcome. Meskipun harus disadari pendidikan merupakan proses fungsi waktu.

Perbaikan input hari ini, output dan dampaknya baru bisa dilihat hari berikutnya. Pertama, merencanakan dengan matang dan saksama pengertian kualitas output yang harus dicapai. Kalau misalnya selama ini kualitas lulusan SD sampai SMA memiliki standar kelulusan dengan Nilai Ujian Negara (NUN) ditetapkan 4,25 dan tingkat kelulusan baru mencapai 85 persen, maka ke depan, dengan anggaran yang lebih besar lagi, hasilnya harus berubah, memiliki standar kelulusan NUN di atas 5 dan mencapai tingkat kelulusan 100 persen.

Pertanyaannya, jika tidak, maka kenaikan anggaran pendidikan 20 persen tidak secara signifikan berimbas kepada kualitas peserta didik. Padahal, logikanya, kenaikan anggaran itu untuk mengangkat kemampuan sumber daya manusia kita agar lebih dapat bersaing sehingga kemampuan daya saing bangsa (nation's competitiveness), sebagai cerminan dari kemampuan kualitas SDM akan lebih baik, tidak terpuruk seperti yang selama ini ditemukan dalam berbagai hasil pengukuran yang dilakukan lembaga-lembaga internasional.

Kedua, pengukuran melalui kualitas outcome. Dengan kualitas outcome ini, keberhasilan pendidikan tidak saja diukur melalui output langsung yang dihasilkan sebuah proses pendidikan, tetapi dampak pendidikan itu sendiri yang diukur.

Misalnya saja, peran yang dimainkan perguruan tinggi, baik melalui lulusannya maupun institusi kelembagaannya, sebagai agen pembaruan nilai, budaya, dan pertumbuhan ekonomi. Ini menjadi penting mengingat selama ini keberadaan perguruan tinggi tak mampu memberikan pencerahan melalui transfer nilai-nilai kemuliaan, bahkan tidak ubahnya hanya sebagai lembaga terbesar yang menyumbangkan angka pengangguran tiap tahun.

Itu berarti, jika Departemen Pendidikan Nasional beserta lembaga pendidikan yang ada menyiapkan diri dengan baik dan konsisten, maka penambahan anggaran akan mampu menjawab dua persoalan yang menyangkut kualitas output dan kualitas outcome, yang hingga kini selalu dibenarkan adanya karena keterbatasan pembiayaan atau anggaran. Ke depan, persoalan-persoalan itu harus sudah tidak lagi terdengar.

Untuk hal itulah, maka perencanaan ke depan sebuah lembaga pendidikan tidak hanya sebatas pada perencanaan bagus di atas kertas, tapi lebih dari itu, harus memiliki dampak yang secara signifikan bisa dirasakan masyarakat.

Tentu saja harus pula disadari, pendidikan sebagai sebuah fungsi waktu, tidak serta merta manakala pada 2007 direalisasikan anggaran sebesar 20 persen, saat itu pula tercapai ukuran-ukuran yang diharapkan.

Itulah yang perlu kita sadari bersama. Karena itu, upaya untuk terus-menerus melakukan efisiensi dan akuntabilitas sebagai kata kunci untuk memperoleh perbaikan yang besar dan signifikan dari apa yang dilakukan saat ini menjadi sebuah keharusan. (***)


Mohammad Nuh, rektor ITS Surabaya


[Non-text portions of this message have been removed]



Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment ....




SPONSORED LINKS
Women Islam Muslimah


YAHOO! GROUPS LINKS




Reply via email to