Agak bingung dengan tulisan ini.  Cukup jelas diskripsi tentang
ulama/kyai sebagai produk dari pesantren tradisional, tetapi gak
terlalu jelas apa yang dimaksud sebagai pemikir/ilmuwan.
Kalau ilmuwan dianggap sebagai produk perguruan tinggi, tetapi mengapa
mengkritik lulusan STAI dibilang miskin khasanah keilmuan??

Tidak jelas juga wacana keislaman di tingkat praksis, kontemporer
(dalam kehidupan sehari2 yang bicara ttg rokok, kesehatan, budaya
korupsi, masalah pelacuran, demokrasi, kesantunan berlalu lintas,
relasi laki2 perempuan dan konsekuensinya) atau ditingkat yang lebih
tinggi?  yang membutuhkan kajian keilmuan yang "sekuler" dan butuh
keahlian dan dedikasi keilmuan tersendiri ataukah wacana Islam yang
klasik, yang sudah given, tidak berubah karena terframe oleh ruang,
konteks dan waktu ? (yang membutuhkan ketrampilan khusus untuk
memahami dan hanya dimiliki oleh orang dengan training tertentu).

Moral yang saya tangkap sih sepertinya masih menganggap bahwa
pentafsiran adalah domain kyai produk pesantren dan tetap mengharapkan
bahwa Ulama/kyai atau produk pesantren haruslah tetap menjadi manusia
setengah dewa, yang harus bisa menjadi ahli ilmu agama dan semua ilmu
yang lain (sesuatu yang nyaris mustahil, mengingat perkembangan
pengetahuan yang sangat terdivesifikasi dan terspesialisasi).
Masih terperangkap mimpi kejayan Islam tentang Ibn Sina, Alkemi dll,
yang memang memungkingkan menjadi manusia segala ilmu karena entitas
ilmu yang memang tidak sekompleks sekarang.
mkkk (mohon koreksi kalau keliru)

regards,
Donnie



================
On 5/9/06, Erina <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>           Salam
>   Ada tulisan cukup bagus. Kalau tidak salah, ini adalah karya penulis 
> produktif, di hidayatullah.com
>
>   regards
>
>   http://hidayatullah.com/content/view/3107/60/
>   Quo Vadis Intelektualitas Kiai dan Pesantren
>               Selasa, 09 Mei 2006 - 10:15:56 WIB
>
> Oleh : Nasrulloh Afandi *
>
>
> Dasawarsa ini, sungguh kompleks realitas fenomena konflik wacana keagamaan 
> Islam di Indonesia. Satu sisi, sangat menggembirakan di saat semakin 
> meningkatnya intelektualitas institusional bahkan individual mayoritas 
> Muslimin bangsa Indonesia.  Di sini lain, sebagaian kalangan menuduh, banyak 
> lahir kekerasan fisik atas nama agama yang ikut melibat tokoh agama.. Kasus 
> terbaru adalah gejolak pro-kontra RUU APP.
>
> Untuk merespon kondisi tersebut, barangkali diperlukan untuk 
> mengakulturasikan generasi kiai dan generasi pemikir (ke-Islaman) sangat 
> paling memungkinkan untuk dilakukan sekarang ini.
> Hal ini dilakukan sebagai upaya pencerahan prospek kualitas ilmiah, sekaligus 
> akan bermuara pada maksimalnya amaliah agama "di lapangan ibadah". 
> Singkatnya, upaya meningkatkan peradaban keilmuan komunitas intelektual 
> Muslimin.
>
> Hal itu, sekaligus akan berfungsi estafet meminimalisir konflik internal 
> (Islam), maupun dengan agama lainnya. Ini bercermin dengan seringnya terjadi 
> terdapat perbedaan opini (keagamaan) kalangan Muslim yang sering berujung 
> pada konflik bahkan kekerasan fisik komunitas Islam di akar rumput.
>
> Jika potensi keilmuan pesantren tradisional (PT) dan vitalitas wacana kampus 
> Perguruan Tinggi Islam (PTI), dipadukan dengan baik dan benar, maka akan 
> mampu tercipta sebuah energi untuk menghasilkan natijah (konklusi) ilmiah 
> faktual dan aktual.  Bahkan dengan bahasa bombastisnya, agak sensasional.
>
> Kenyataannya, di tengah-tengah kencangnya perang pemikiran Islam dunia, 
> termasuk Indonesia. Para santri di pesantren, utamanya pesantren tradisional, 
> masih eksis sangat kaya khazanah ilmu, tapi tidak dinamis untuk 
> mentransformasikannya ke dalam realitas (kehidupan) sosioglobal.
>
> Dalam bahasa Dr. Said Aqil Siraj, mayoritas mahasiswa STAI (Sekolah Tinggi 
> Agama Islam), selama ini, pintar dan syok aktual bicara agama, namun  miskin 
> khazanah keilmuan.
>
> Kiai Vis–a-Vis Pemikir
>
> Dalam gejolak aktivitas Islam Indonesia, antara kiai dan pemikir ke-Islaman 
> jelas berada pada posisi jauh berbeda.
>
> Tepatnya, kiai adalah orisinilitas spesifik kultural bangsa Indonesia, 
> sebagai  honoris causa dari masyarakat bagi figur religius yang berpegang 
> teguh pada qaul mu'tabaroh (opini ulama mayoritas) dalam mengumandangkan 
> ajaran agama kepada publik, orientasi utamanya adalah maksimalnya istiqomah 
> (kontinuitas) amaliah ibadah.
>
> Kultural "karakteristiknya", mayoritas kalau tidak disebut sebagaian, banyak 
> "menelan mentah-mentah" opini ulama mutaqoddimin (ulama terdahulu) dan 
> dianggap sebagai "teks suci" yang tidak bisa dikritik apalagi tidak 
> difungsikan.
>
> Honoris causa kiai, eksis di tengah-tengah aneka ragam suku, kasta dan 
> pergeseran budaya bangsa kita, walaupun telah banyak "pembajak" honoris causa 
> kiai untuk melengkapi biodatanya, demi sebutir kepentingan individual atau 
> maksimal golongannya saja!
>
> Di sisi lain, status pemikir Islam, selama ini digunakan bagi mereka yang 
> profesi utamanya mencari celah dan titik lemah agama. Bahkan sering dengan 
> sengaja menyalahkan agama sebagai lahan  kritik, untuk dijadikan proyek utama 
> kajian, serta kurang memperhatikan orientasi amaliah diniyah (agama) dalam 
> kehidupan sehar-hari.
>
> Mereka, bisa saja pengetahuan ke-Islamannya apa-adanya, atau bahkan dari 
> komunitas non-Muslim sekalipun, asalkan pola pikirnya berkembang, punya ide 
> cemerlang dan perdebatan (agama) nya sensasional dan atau mampu mengundang 
> reaksi. (Bisa lihat : Majalah Falastin al-Muslimah, tahun ke dua belas, edisi 
> 4, April 1994 M, h.  57-58).
>
> Dua poros berbeda inilah, sumber utama yang rawan mengundang konflik internal 
> (Islam Indonesia). Dan dua gerbong ilmiah, kiai-pemikir berbeda "kutub" dan 
> haluan itu, sudah saatnya sangat signifikan untuk segera diakulturasikan!
>
> Beda halnya di negara-negara Islam luar Indonesia. Diantara faktor peredam 
> timbulnya konflik internal agama (wacana ke-Islaman) di negara-negara bagian 
> Arab dan Eropa misalnya, adalah karena sulit dibedakannya status dan posisi 
> antara kiai dan pemikir.
>
> Sebab jelas tidak berlakunya kultural gelar "kiai" di sana. Dan adanya 
> perbedaan (dengan Indonesia) sistem Islam  di lapangan, di antaranya tidak 
> berlakunya Islam sinkretik (Clifford Geertz, 1976) atau Islam akulturatif 
> (Woodward, 1987) dan seterusnya.
>
> Sebagai misal, figur religius bangsa Arab umumnya berlaku gelar "Syaikh". 
> Atau "Profesor" di negara-negara Eropa/Amerika, lazimnya gelar akademik.  
> Dengan  sektor garapan keilmuan agama yang jauh lebih luas daripada proyek 
> ilmiah, para kiai (di Indonesia), seharusnya perannya jauh lebih besar. Namun 
> kenyataannya, peran kiai, utamanya kiai pesantren yang sering tidak mau tau 
> terhadap geliat  ilmiah dan akademis, boleh jadi sebagai salah satu fakor 
> titik rawan di mana sering dilanda konflik keagamaan itu.
>
> Menakar Kualitas Ilmiah
>
> Tradisi keilmuan, metode analisis, upaya penelitian yang sungguh-sungguh, 
> serta nilai, moralitas dan etik senantiasa yang melandasi dalam sistem 
> pendidikan pesantren, selama ini menjamin tetap terjaganya otentisitas 
> (kesucian) dan originilitas (keaslian) ajaran agama Islam" (Jati Diri 
> Nahdlatul Ulama, Sekjen PBNU, 2002, h. 38).
>
> Sebagai upaya pengembangan  potensi keilmuan generasi dari institusi 
> pesantren. Sangat tepat KH. Hasyim Muzadi menyatakan: "Penyemangat dirinya 
> mengembangkan pesantren mahasiswa (Ma'had  'Aly), karena saat ini sangat 
> ironis, mereka yang memiliki ilmu agama tidak bisa 'memasarkan' ilmunya 
> sehingga masyarakat tak bisa mengambil manfaatnya. Sebaliknya, mereka yang 
> 'menguasai pasaran' belum menguasai ilmunya. Yang punya barang tak bisa 
> berdagang, sedangkan yang pintar berjualan sebenarnya tidak punya barang" 
> (Republika, 21/03/2003).
>
> Cukup lama, "cuaca ilmiah" Islam Indonesia terjebak pada posisi transisi atau 
> dilematisme ilmiah sangat memprihatinkan.
>
> Dengan fenomena, dikala praktisi akademis (non-pesantren) dengan "modal 
> pokok" pengetahuan agama layak dikata  "apa-adanya", mereka  sudah aktif 
> ber-action dengan "sekuat otak bahkan otot" mengaktualisasikan wawasan 
> keagamaan ke dalam pranata global.
>
> Bahkan mereka, yang boleh di kata kurang memiliki fondasi modal keilmuan 
> (seperti nahwu, shorof, mantiq, balaghoh dan sejenisnya). Tiba-tiba, merasa 
> bisa menggugat madzhab dan atau membantah untuk ber-taqlid.
>
> Fenomena seperti harusnya segera disadari oleh para pengelola pesantren. 
> Adalah sungguh ironi, dalam kondisi demikian itu, justru pemandangan yang ada 
> di berbagai pesantren --utamanya pesantren-pesantren tradisional-- para 
> santri masih "asyik bercanda dan nongkrong di warung-warung kopi pesantren".
>
> Meskipun ada fenomena baru, akhir-akhir ini hampir di setiap pesantren sering 
> mengadakan berbagai kursus; jurnalistik, menulis artikel ilmiah dan di 
> berbagai pesantren sudah banyak yang memiliki bulletin atau majalah. Namun 
> sedikit santri yang memfungsikan media tersebut untuk menjembatani 
> kreatifitas pemikiran dan atau transformasi keilmuan itu.  Dengan bahasa 
> lain, belum maksimal.
>
> Jelas, memfungsikan media untuk mengekspresi pemikiran, sangatlah efektif, 
> setidaknya "obat awal" dari  "flu pemikiran Islam" yang menjangkitnya banyak 
> intelektual (yang berani mengaku pemikir Islam) akhir-akhir ini.
>
> Tak hanya itu saja,  gejala eforia  pemikiran Islam di Indonesia, membuat  
> pamor para kiai hampir terlindas karenanya. Tidak sedikit,  dalam euforia itu 
> mereka mengatakan, "Komunitas kiai pesantren hanyalah fasilitator 
> konservatisme,  dan institusi pesantren hanya berfungsi sebagai 'lemari es' 
> untuk membekukan noqthoh (nilai) ilmiah belaka."
>
> Renungan
>
> Karenanya, sungguh tidak tepat, maraknya pondok pesantren yang akhir-akhir 
> ini juga menggagas lahirnya perguruan tinggi --utamanya Ma'had 'Aly--,  namun 
> masih banyak menutup diri dan tidak mau mengadopsi  sistem akademik dari luar.
>
> Akibatnya, mereka hanya berkutat seputar pengajaran kitab-kitab turats 
> (klasik), namun kurang dengan literatur modern sebagai pengkayaan atau 
> minimalnya pembanding referensi untuk berdiskusi.
>
> Adalah solusi, bila totalitas institusional pesantren sebagai "habitat Islam 
> Indonesia" itu segera merehabilitasi dirinya. Sungguh sebuah kerugian sangat 
> besar, kalau dalam konteks ini pesantren harus statis  bahkan hanya 
> "dimusiumkan" yang boleh jadi justru akan menjelma sebagai "monumen atau 
> prasasti agama" belaka.
>
> Karena itu, gagasan akulturasi kutub generasi kiai dan generasi pemikir 
> merupakan sesuatu yang sudah waktunya dan sesuatu yang sangat realistis.
>
>
> Wa Allohu A'lamu bi ash-Showab.
>
>
> *) Penulis adalah alumnus pesantren Lirboyo Kediri, aktivis muda NU. Komisi 
> SDM dan Keilmuan Perhimpunan Pelajar Indonesia(PPI)  di Maroko, 2006-2007. 
> Dimuat di Hidayatullah.com
>
>
>
>
> ---------------------------------
> Blab-away for as little as 1¢/min. Make  PC-to-Phone Calls using Yahoo! 
> Messenger with Voice.
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
>
>
>
>
>
>
> Milis Wanita Muslimah
> Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
> Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
> ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
> Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
> Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
> Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
> Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
>
> This mailing list has a special spell casted to reject any attachment ....
> Yahoo! Groups Links
>
>
>
>
>
>
>


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Everything you need is one click away.  Make Yahoo! your home page now.
http://us.click.yahoo.com/AHchtC/4FxNAA/yQLSAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke