http://www.indomedia.com/bpost/052006/15/opini/opini2.htm


Menuju Pendidikan Indonesia Yang Berbudaya Saing

Oleh: Yurdi Yasmi
Mahasiswa Indonesia di Belanda



etiap tahun Bangsa Indonesia memperingati hari pendidikan nasional (hardiknas) sebagai wujud penghargaan kepada tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantoro, yang meletakkan dasar pendidikan nasional Indonesia. Beliau menekankan pentingnya pendidikan sebagai sebuah prasyarat mendasar untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa.

Pembangunan manusia seutuhnya tidak bisa dilepaskan dari proses pendidikan nasional. Ki Hadar Dewantoro berjuang dan meletakkan batu pertama dalam membangun pondasi pendidikan nasional yang kuat. Di samping itu, peringatan hardiknas merupakan ajang refleksi ke dalam Bagi bangsa Indonesia untuk becermin pada diri sendiri.

Sejauhmana visi pendidikan yang digariskan Ki Hajar Dewantoro sudah dicapai? Bagaimana membangun sebuah sistem pendidikan yang kuat di atas pondasi yang diletakannya? Sejauhmana bangunan itu kita bangun dan pertahankan? Masih banyak pertanyaan lain yang harus kita ajukan dalam rangka refleksi mendalam dunia pendidikan kita.

Selanjutnya, peringatan hardiknas juga semestinya dijadikan ajang refleksi ke luar. Bagaimana sistem pendidikan nasional kita dibandingkan dengan negara lain? Sejauhmana kita bisa bersaing dengan mereka? Apa yang harus kita ubah sehingga mampu menciptakan sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas dan berdayasaing?

Rasanya, dari tahun ke tahun kita berusaha menjawab pertanyaan tersebut sebagai upaya refleksi bersama. Namun sayang, gambaran suram dunia pendidikan selalu mengikuti kita. Berikut adalah beberapa contoh sisi gelap dunia pendidikan di tanah air: 10 persen anak dalam usia wajib belajar tidak bisa bersekolah, 22 persen dari rakyat Indonesia tidak tamat SLTP, 20-70 persen anak sekolah menderita anemia (khususnya Indonesia Timur) sehingga tidak bisa menyerap pelajaran dengan baik.

Banyak balita Indonesia kurang gizi dan busung lapar, keadaan ekonomi dan sosial sebagian besar siswa sekolah dasar dan menengah Indonesia sangat menyedihkan, mereka tidak mampu membeli bahan pelajaran yang memadai, permasalahan ekonomi keluarga yang berat, dst. Permasalahan lain yang juga cukup mendasar adalah sarana pendidikan yang menyedihkan (bangunan sekolah rusak, digusur, ruang kelas tidak layak pakai), pembangunan pendidikan yang tidak merata (daerah terpencil tidak terjangkau), tenaga pengajar yang tidak profesional, dana pendidikan yang terlalu kecil, dsb.

Semua itu menunjukkan betapa carut marutnya wajah pendidikan di Bumi Pertiwi. Seandainya Ki Hajar Dewantoro bisa menyaksikan dunia pendidikan kita saat ini, bukan tidak mungkin beliau akan berkecil hati. Karena batu pertama pondasi pendidikan yang ia tanamkan belum bisa menghasilkan bangunan 'pendidikan nasional' yang kokoh. Ia mungkin kecewa dan mungkin saja bertanya: "Ini salah siapa?"

Mulai Dari Mana?

Dengan tingkat permasalahan yang begitu rumit, sepertinya tidak mungkin membangun dunia pendidikan Indonesia yang berdayasaing dalam sekejap. Solusi terhadap permasalahan itu tidak sederhana. Dengan permasalahan yang sangat kompleks, solusi yang kita cari seharusnya tidak terlalu rumit tapi tidak pula dengan menyerderhanakan permasalahan yang ada. Di sini yang dituntut adalah kreativitas kita dengan memunculkan gagasan jitu. Kita bisa memulainya dengan menanamkan pondasi baru, di samping pondasi pertama yang dimulai Ki Hajar Dewantoro. Every long journey is begun with a single step. Langkah kecil di sini berkaitan dengan sistem evaluasi dalam dunia pendidikan.

Secara umum evaluasi (evaluation) merupakan alat (tool) dalam mengukur sejauhmana tujuan yang kita inginkan sudah tercapai. Dalam dunia pendidikan, evaluasi merupakan hal mutlak dalam melihat kinerja (performance) pelaku pendidikan, utamanya siswa didik. Sistem evaluasi yang dikembangkan sangat mempengaruhi arah dan tujuan pendidikan itu sendiri. Para ahli mengatakan, ada empat generasi penting dalam sistem evaluasi.

Generasi Pertama, Evaluasi terfokus pada measurement. Dalam hal ini, peran guru adalah mengetahui sejauhmana siswa didiknya bisa menguasai bahan yang diberikan. Contoh paling umum, ulangan dengan konsep 'hafal mati'. Semua yang diajarkan guru dihafal secara seksama untuk kemudian diukur, apakah siswa bisa menguasainya dengan baik. Siswa didik diperlakukan sebagai peserta pasif dan objek dari sistem evaluasi ini. Sistem ini dianut sejak zaman Aristoteles. Sampai sekarang, generasi pertama ini masih sangat populer di berbagai negara, walaupun di negara maju sudah banyak ditinggalkan.

Generasi Kedua. Setelah Perang Dunia II, negara Barat khusus Amerika dan Eropa menyadari, sistem evaluasi pada generasi pertama tidak layak dan perlu dirombak total. Fokus utama pada generasi kedua adalah description. Siswa didik tidak selayaknya lagi dijadikan sebagai objek pasif yang kadangkala menerima konsekuensi menyedihkan. Misalnya, mendapat predikat bodoh karena nilai ujiannya jelek. Pada sistem ini, walaupun ulangan masih dipakai sebagai salah satu tool namun yang lebih ditekankan dalam evaluasi adalah kurikulum secara keseluruhan. Fokus utamanya tidak lagi pada nilai performance siswa saja, tapi lebih pada kemampuan kurikulum secara keseluruhan dalam menyalurkan bakat siswa.

Generasi ketiga. Walaupun generasi kedua sudah merupakan perubahan dramatis, namun masih ada kelemahannya. Beberapa pihak menuduh, sistem ini terlalu lemah (loose). Sejak akhir 1950-an, muncul generasi ketiga yang merupakan penyempurnaan dari generasi kedua. Dalam sistem ini, satu komponen ditambah judgement. Peran guru di samping memberikan deskripsi tentang bakat siswa, memberikan penilaian tentang seberapa jauh siswa tersebut memenuhi kemampuan tertentu. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan peluang bagi penempaan bakat itu secara lebih terarah. Siswa dan guru terbuka untuk mendiskusikan hal yang diperlukan, sehingga bakat tertentu dapat disalurkan dan dikembangkan secara maksimal.

Generasi keempat. Perkembangan sistem evaluasi dari generasi pertama sampai ketiga merupakan dinamika yang positif. Namun pada awal 1980-an, ternyata ketiga generasi terdahulu masih dianggap perlu penyempurnaan. Dalam hal ini, peran stakeholder secara keseluruhan merupakan kunci utama. Peran sebagai evaluator tidak hanya terletak pada guru, namun juga pada stakeholder yang lain. Dengan demikian, siswa didik sebagai komponen penting dalam sistem pendidikan diberikan kesempatan dalam mengevaluasi kinerja mereka masing-masing, guru/kurikulum dan mengidentifikasikan alternatif kostruktif dalam rangka peningkatan prestasi.

Pada tingkat yang lebih luas, peran masyarakat (society) dalam mendukung sistem pendidikan juga dirangsang. Sektor produktif seperti industri/swasta diikutkan dalam menyusun kurikulum yang relavan dan tepat guna, sehingga siswa menjadi produk yang berdaya saing tinggi dan bisa memenuhi tuntutan pasar terkini. Kurikulum secara terus menerus disesuaikan dan dikembangkan sejalan perkembangan di luar sekolah (pasar).

Dari uraian di atas dapat kita simak, sistem evaluasi sebagai salah satu pondasi pendidikan telah tumbuh dan berkembang sesuai tuntutan zaman. Paling tidak, hal itu yang terjadi di dunia Barat. Pertanyaannya, bagaimana dengan sistem pendidikan di Indonesia sendiri?

Dari uraian di atas secara eksplisit terlihat, seolah-olah kita di Indonesia masih saja bergelut pada generasi pertama atau paling jauh pada generasi kedua. Masih umum di sekolah bahkan perguruan tinggi terkemuka pun, penekanan masih terfokus pada generasi pertama/kedua. Siswa dan mahasiswa masih saja dijadikan objek pasif dalam pendidikan. Kurikulum masih kaku dan konon tidak responsif dengan tuntutan yang berkembang di dunia luar.

Kadangkala kita juga melihat betapa siswa sangat tidak bisa mengembangkan nalarnya dengan baik. Fokusnya hanya pada hafalan belaka. Agaknya kita mungkin lupa, semua anak itu punya bakat dan potensi yang berbeda. Selama sistem pendidikan belum bisa merespon ini dengan baik, kita masih akan kehilangan bakat potensial itu hanya karena sistem pendidikan kita yang belum tepat.

Barangkali kesempatan memperingati hardiknas kali ini benar-benar bisa memberikan refleksi mendalam bagi perubahan nyata sistem pendidikan di tanah air. Jalan kita masih panjang dan berliku untuk bisa bersaing dengan negara lain, namun perubahan harus kita mulai dari sekarang. Mungkin saja perubahan pertama bisa kita mulai dari sistem evaluasi sebagaimana yang dipaparkan di sini? Entahlah!


[Non-text portions of this message have been removed]



Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment ....




SPONSORED LINKS
Women Islam Muslimah
Women in islam


YAHOO! GROUPS LINKS




Reply via email to