http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=perspektif%7C-41%7CX

Rabu, 28 Juni 2006
Kekerasan Berbasis Gender Di Wilayah Konflik Di Indonesia

Oleh: Adriana Venny

Di beberapa wilayah konflik di Indonesia, kekerasan seksual hampir
dipastikan selalu terjadi. Masalah ini menjadi derita dan trauma yang
berkepanjangan bagi perempuan Indonesia, karena pemahaman akan
keadilan gender belum dijadikan wacana yang penting dalam masyarakat
yang masih sangat patriarkis. Upaya pengarus-utamaan gender juga
seolah berjalan di tempat meski Indonesia telah meratifikasi CEDAW
dimana salah satu pasalnya mewajibkan negara untuk membuat langkah dan
kebijakan yang penting dalam rangka melindungi perempuan dari
diskriminasi gender.

Kekerasan seksual di berbagai wilayah di Indonesia juga dibiarkan
karena dianggap sebagai pelanggaran hak pribadi, bukan pelanggaran hak
asasi manusia. Sementara di beberapa tempat, isu seksualitas perempuan
menjadi alat yang ampuh dalam rangka menunjukkan kekuatan penguasa
terhadap pihak yang lemah.

Perkosaan massal yang terjadi di Jakarta misalnya sarat akan isu
dominasi kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Sementara di
Poso, pelecehan seksual yang dialami perempuan menjadi simbol
penaklukan dan kian memperuncing pertikaian antar agama.

Dari sisi perempuannya, mitos keperawanan, rasa malu, takut, aib,
kebergantungan ekonomi juga menyebabkan tak banyak perempuan yang
mengalami kasus kekerasan di wilayah konflik bersedia mengungkapkan
apa yang mereka alami. Stgma-stigma terhadap korban kekerasan
merupakan kendala dalam mengungkap kekerasan seksual yang dialami
perempuan Indonesia.

Berikut adalah beberapa gambaran kekerasan di wilayah konflik di Indonesia:

1. Wilayah Naggroe Aceh Darussalam (1976 - 2005):

    Aceh selama lebih dari 20 tahun didera konflik yang berkepanjangan
akibat Gerakan Aceh Merdeka yang berupaya melepaskan diri dari RI.
Tahun 2005 sejak dicapainya perjanjian Helsinski, eskalasi konflik
menurun, namun kekerasan seksual belum pernah ada solusinya. Kasus
kekerasan yang berhasil didata di masa DOM adalah; perkosaan and
pelecehan seksual (20 kasus: dan hanya menggambarkan fenomena gunung
es), penganiayaan dan pelecehan seksual saat diinterogasi, ditahan dan
disiksa karena aktivitas politik dari anggota keluarganya, trafiking
dan korban rayuan militer.

2. DKI Jakarta (13 Mei 1998)

    Sebenarnya daerah ini tidak bisa dikategorikan wilayah konflik,
namun karena pada tanggal tersebut yakni menjelang tumbangnya rejim
Soeharto, terjadi perkosaan masal yang memakan korban hingga 168
perempuan etnis minoritas cina1, maka saya berasumsi bahwa kasus yang
terjadi di wilayah ini perlu dipresentasikan. Dalam perkembangannya,
penyelesaian atas kasus ini tidak ada kemajuannya. Sementara beberapa
kalangan menyangkal kejadian ini dengan alasan tidak ada perempuan
yang mengadu telah diperkosa dan tidak ada satupun yang bersedia untuk
bersaksi. Dalam hukum pidana di Indonesia, perkosaan di Indonesia
memang delik aduan. Di sisi lain Indonesia belum memiliki UU
Perlindungan saksi korban, sehingga yang terjadi adalah para korban
itu memilih untuk bersembunyi atau pergi dari Indonesia.

3. Sambas, Kalimantan Barat (1999 – 2000)

    Konflik yang merebak tahun 1999 ini berakhir di tahun 2000 dengan
dampak pengusiran terhadap seluruh etnis Madura oleh etnis Melayu
Sambas. Tidak ada kasus kekerasan seksual sepanjang konflik
berlangsung, namun banyak perempuan kehilangan suaminya sehingga
tiba-tiba harus menjadi pencari nafkah utama. Pemerintah sendiri tidak
memiliki program khusus untuk mereka.

4. Poso (1998, 2000 – now)

    Konflik berdarah yang diwarnai pertikaian antar agama ini terjadi
tahun 1998 dan kemudian mereda. Namun di tahun 2000 justru terjadi
pembantaian besar-besaran terhadap masyarakat Poso pesisir. Komnas
Perempuan melaporkan bahwa sepanjang tahun 2000 dan 2001 terjadi
penelanjangan ratusan perempuan. Tapi hanya 9 yang melapor dan tanpa
penyelesaian hingga saat ini. 2

    Berkaitan dengan kasus ini tim Jurnal Perempuan di tahun 2003 juga
pernah bicara kepada Kapolsek Poso tentang kasus pelecehan seksual di
sebuah pesantren besar di kilometer 9 dimana sekitar 50an perempuan
dipaksa untuk membuka baju sementara mereka menyaksikan suami mereka
dibantai. Dan bertanya mengapa polisi tidak mau memproses, Kapolsek
menjawab antara lain karena tidak ada saksi ahli.

    Hingga saat ini meski belum ada lagi gelombang konflik berdarah
yang banyak memakan korban di Poso, namun para perusuh masih menebar
teror dengan adanya bom dan pembunuhan murid SMP perempuan.

5. Ambon (1999)

    Meski kasus konflik berdarah antar agama di Ambon yang memakan
banyak korban sudah selang beberapa tahun, namun seperti di Poso dan
Papua, potensi konflik disini masih ada. Terbukti dari meningkatnya
eskalasi konflik hari ulang tahun RMS dan banyaknya rumor yang beredar
seperti pengibaran bendera, dalang kerusuhan yang berasal dari
Jakarta, dan sebagainya.

    Perkembangan pasca konflik tahun 1999 adalah diberlakukannya
Maluku sebagai darurat militer. Berdasarkan catatan sebuah LSM
perempuan Arikal Mahina di kota Ambon, kekerasan seksual pernah
terjadi di barak pengungsian di daerah Suli, perkosaan itu dilakukan
oleh seorang ayah terhadap anak kandungnya.3 Selanjutnya di tahun 2004
ditemukan tak kurang dari 150 perempuan menjadi korban rayuan militer
dan ditinggal begitu saja dalam keadaan hamil di masa darurat militer
di Maluku saat konflik berlangsung.

    Data ini dilansir oleh sebuah LSM bernama Vrouwen voor Vrede
(perempuan untuk perdamaian) yang telah dilansir parlemen Belanda saat
berkunjung ke Maluku, di akhir tahun 2004. Respon dari pemerintah
Pemerintah kota Ambon menanggapi ini adalah sebagai berikut: "Jika
perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka ya jangan minta
pemerintah untuk mengatasinya".4

    Padahal banyak pihak juga mengkhawatirkan jika ini terus dibiarkan
maka akan menimbulkan persoalan lainnya misalnya kesejahteraan
perempuan kian menurun, gizi buruk dan karena tidak sanggup menghidupi
anaknya, selanjutnya praktek trafficking akan sangat mungkin terjadi.

6. Timor Barat dan Timor Timur (1999 and 2006)

    Terjadinya konflik di pulau Timor tidak dapat dipisahkan dari
sejarah Indonesia yang menduduki Timor Timur di tahun 1975. Setelah
itu kelompok separatis mulai bermunculan yakni UDT dan Fretilin.
Setelah UDT berhasil tersingkir, Fretilin berhadapan langsung dengan
TNI. Menyatakan bahwa propinsi Timor-timur sebagai daerah operasi
militer dan era kekerasan seksualpun dimulai.

    Data dari Komnas Perempuan menyebutkan bahwa banyak perempuan
diperkosa beramai-ramai oleh TNI karena dituduh punya relasi dengan
kelompok resisten di gunung.5

    Tahun 1999 saat Presiden Habibi merestui keluarnya Timur-timur
dari NKRI, maka pecahlah kerusuhan masal di Dili antara pihak yang pro
dan kontra kemerdekaan. Di pengungsian, beberapa perempuan dipukuli
suaminya karena niat mereka kembali ke Timor Leste.6 Perkosaan juga
dialami oleh para napi perempuan di Kodim Dili yang dicurigai terlibat
dalam penyerbuan ke Dili. 7

    Di tahun 2000, KONTRAS juga pernah melaporkan tahun 2000 adanya
rumor tentang "operasi vagina" yang akan dilakukan oleh pasukan
INTERFET jika perempuan berani pulang ke Timorleste. Mereka akan siap
memperkosa.8

    Meski sudah berpisah dari Indonesia, hingga tahun 2006 ini konflik
di Timor leste masih terus berkelanjutan. Suasana di Timor Barat
terutama di perbatasan yakni kabupaten Belu juga seolah seperti bara
dalam sekam, dikarenakan pemerintah Indonesia tidak mengurus dengan
baik pengungsi yang berasal dari ex Timor Timur yang pro Indonesia.
Nasib mereka kini tersia-sia.

7. Papua (1987 – sekarang)

    Kelompok separatis di Papua yang bernama Organisasi Papua Merdeka
masih menyisakan masalah hingga saat ini, meski eskalasinya telah
menurun. Namun dalam sepanjang beroperasinya militer di Papua, kasus
kekerasan seksual pun mulai terjadi. Dalam pengejaran tokoh pimpinan
OPM: Kelly Kwalik di tahun 1987 - 1988 misalnya, 10 perempuan
diperkosa di bawah todongan senjata oleh TNI di daerah Jilla dan
disaksikan Beatrix Koibur, Presidium dewan Papua.9 Perkosaan juga
terjadi di daerah Mapenduma, Alama dan sekitarnya. Ita F. Nadia dari
Komnas Perempuan, juga membenarkan bahwa di beberapa foto perempuan
dipasang di pos militer di Mindiptana, ini membuat mereka seperti
tawanan karena takut keluar dari kampungnya, sekaligus menjadi sampah
bagi masyarakatnya.10

Berbagai kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan diatas terjadi
karena pemerintah tidak punya komitmen yang kuat serta tidak serius
menindaklanjuti persoalan perempuan di wilayah konflik. Misalnya tidak
sanksi yang tegas bagi aparat yang melakukan kekerasan seksual. Di
level internasional, resolusi 1325 yang dicanangkan oleh Dewan
Keamanan PBB tentang perlindungan perempuan dan anak di wilayah
konflik juga tidak dipedulikan. Padahal peran perempuan dalam merajut
perdamaian di wilayah konflik justru sangat signifikan.

Di Aceh misalnya, kelompok perempuan memprakarsasi kongres berjudul
Duek Pakat Ureung Inong Aceh dimana perempuan Aceh menolak dikorbankan
dalam konflik dan meminta para pihak bertikai untuk segera merajut
perdamaian.

Di Ambon: perempuan dari kelompok-kelommpok bertikai menjadi garda
terdepan perdamaian di saat para laki-laki masih mengayun senjata,
dengan memulai aktivitas ekonomi di pasar, saling berpelukan dan
menangis. Perempuan dari Kei, Maluku tenggara bahkan pasang badan saat
kedua komunitas bertikai. Mereka bertenda di tengah jembatan selama
sebulan hingga kedua kelompok tersebut setuju untuk renegosiasi.11

Karenanya saat ini diperlukan lebih banyak kebijakan di tingkat negara
yang mampu menjawal semua persoalan itu, namun sayangnya tidak banyak
yang bisa diharapkan saat ini. Dalam evaluasi tentang implementasi
CEDAW misalnya, Indonesia telah meratifikasi semua pasal dalam CEDAW
dengan UU no. 7 tahun 1984 kecuali pasal 29 tentang sanksi. Alasan
Indonesia tidak bersedia mengadopsi pasal 29 adalah tidak bersedia
diajukan ke Mahkamah Internasiona jika ada perselisihan.

Perkembangan hingga saat ini setelah 20 tahun lebih meratifikasi
CEDAW: makin banyak produk hukum dan perda yang diskriminatif terhadap
perempuan. Misalnya RUU Pornografi dan Pornoaksi serta Perda
Prostitusi di Tangerang.

Disamping perlunya mendesak pemerintah RI untuk melaksanakan
Melaksanakan CEDAW berikut sanksinya di pasal 29, pemerintah RI juga
harus menjalankan resolusi 1325 tentang perlindungan perempuan dan
anak di wilayah konflik. Kemudian segera mengesahkan RUU Perlindungan
saksi korban, mengesahkan RUU anti trafiking serta mendesak pembuatan
draf UU pelecahan seksual.

Berkaitan dengan belum dimilikinya UU pelecehan seksual, Indonesia
memiliki pasal pencemaran nama baik dalam hukum pidana. Sehingga dari
pengalaman advokasi Jurnal Perempuan, perempuan korban yang mengadukan
kasus pelecehan seksual, oleh pelaku justru dijebloskan ke penjara
atas gugatan pencemaran nama baik.

Reformasi hukum saat ini memang sangat dibutuhkan mengingat hukum di
Indonesia yang belum responsif terhadap kebutuhan perempuan. Khususnya
di wilayah rentan konflik, penting juga dilakukan diseminasi informasi
kepada masyarakat tentang isu yang berkaitan dengan perlindungan
perempuan di wilayah konflik: misal berkaitan dengan stigma, rayuan
militer, dsb.

Selain itu memperbanyak polisi perempuan di kamp pengungsian juga akan
sangat berguna dalam mencegah terjadinya kekerasan berbasis gender.
Dan akhirnya yang tak kalah penting adalah terus menyuarakan persoalan
perempuan di wilayah konflik serta mengkampanyekan peran peran
perempuan sebagai garda perdamaian.


Adriana Venny adalah Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal perempuan.
Makalah ini ditulis untuk simposium internasional "Sexual Violence in
Conflict and Beyond" di Brussel, Belgia, 21-23 Juni 2006.


Catatan:
-----------------------------------
1 Data dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan
2 Laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2002
3 Ina Soselisa, "Perempuan Cacat: Konflik di Ambon dan Upaya
Pemulihan", di Jurnal Perempuan Vol.33, "Perempuan dan Pemulihan
Konflik", tahun 2004, hal. 52.
4 Laporan kontributor www.jurnalperempuan.com di Ambon: Joanny L.
5Wawancara dengan Komisioner Komnas Perempuan: Ita F. Nadia, di Harian
Kompas, 15 Agustus 2003.
6Primanto Nugroho, "Inspirasi Spiritualitas Perempuan Timor Leste
dalam Pusaran Konflik dan Kekerasan" dalam Jurnal Perempuan edisi 33,
hal. 66
7Dewi Nova Wahyuni, "Mereka yang Melanjutkan Kehidupan, Refleksi
Perjuangan Perempuan Timor Timur Pulih dari Konflik", dalam Jurnal
Perempuan edisi.33, hal. 73.
8 Primanto Nugroho, Ibid, hal. 66.
9Budie Santi, "Perempuan Papua: Derita Tak Kunjung Usai " dalam Jurnal
Perempuan, edisi 24 "Perempuan di Wilayah Konflik", 2002, hal. 76-77
10Harian Kompas, 15 Agustus 2003
11Julius Lawalata, "Fakta tak terlihat: Posisi Perempuan dalam Konflik
Sosial di Maluku", dalam Jurnal Perempuan edisi 33, hal. 16-19


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Yahoo! Groups gets a make over. See the new email design.
http://us.click.yahoo.com/XISQkA/lOaOAA/yQLSAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Galang Dana Untuk Korban Gempa Yogya melalui Wanita-Muslimah dan Planet Muslim. 
Silakan kirim ke rekening Bank Central Asia KCP DEPOK No. 421-236-5541 atas 
nama RETNO WULANDARI. 

Mari berlomba-lomba dalam kebajikan, seberapapun yang kita bisa.

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke