http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1076

  Fauzi Isman:
  Iklim Kebebasan Kita Harus Disyukuri
   
  Perubahan sikap eskrem dalam beragama sangat mungkin asalkan sang aktor mau 
membuka diri dan bergaul dengan banyak orang dari latar belakang berbeda. 
Itulah yang pernah terjadi pada Fauzi Isman, mantan aktivis Kelompok Warsidi 
yang getol memperjuangkan negara Islam di tengah rezim represif Orde Baru. Dia 
pun divonis 20 tahun penjara, dan sempat menjalaninya selama 10 tahun. Pria 
yang kini menjadi terapis akupuntur itu menuturkan pengalamannya kepada M. 
Guntur Romli dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK), Kamis (22/6) lalu.
   
  Mas Fauzi, apa yang dulu menjadi cita-cita Anda dan teman-teman waktu ikut 
terlibat kasus Tegalsari Lampung , benarkah berkehendak mendirikan negara Islam?

Cita-cita kami waktu itu, yang kemudian distigmatisasi oleh pemerintah sebagai 
gerakan pengacau Warsidi, adalah keinginan mendirikan negara Islam. Kenapa kami 
berpandangan seperti itu? Karena kami melihat bahwa Pancasila sebagai ideologi 
negara waktu itu telah gagal. Dan kami waktu itu melihat Islam sebagai sebuah 
alternatif. Saat itu kami yakin bahwa hanya dengan Islamlah bangsa ini akan 
dapat dibawa ke arah perubahan yang lebih baik. 
   
  Anda sebagai apa dalam Kelompok Warsidi? 
   
  Awalnya, kelompok Warsidi itu adalah salah satu faksi di dalam kelompok NII 
(Negara Islam Indonesia). Pada waktu itu, kelompok ini merupakan pecahan dari 
kelompok Usroh, Santan Nur Hidayat. Kemudian Nur Hidayat merekrut saya, 
Darsono, dan Wahidin, yang kebetulan punya pemikiran yang sejalan. Melihat kita 
perlu segera mewujudkan negara Islam, kita harus membentuk kekuatan militer. 
Sebab waktu itu, kekuatan militer cukup dominan dan tindakan represi dari 
pemerintah Orde Baru keras sekali. Banyak sekali aktivis-aktivis NII yang 
dipenjarakan, sehingga waktu itu faksi-faksi ini seperti kehilangan pemimpin, 
sehingga mereka-mereka yang sudah punya pola pikir fundamentalis tidak 
tersalurkan ke dalam aksi perbuatan. Itulah dasar pemikiran kami sehingga 
membentuk suatu jamaah. Kami tidak membentuk apa-apa lagi, tapi kira-kira 
jamaah itu bertujuan untuk mendirikan negara Islam. 
   
  Mengapa ideologi Islam begitu mempesona sebagai alternatif di masa itu?
   
  Saya pribadi tertarik karena sikap kritis terhadap rezim yang berkuasa ketika 
itu. Dan ketertarikan saya pertama kali terhadap ideologi Islam bermula ketika 
mengikuti training yang diselenggarakan Pelajar Islam Indonesia (PII) di Bandar 
Lampung. Pada waktu itu, saya masih duduk di kelas 3 SMP. Saat itulah saya 
sadar bahwa sebagai seorang muslim, seharusnya saya mencari pandangan hidup 
ataupun ideologi yang Islam. Tapi dari sana juga saya menyadari kekuarangan 
pemahaman saya tentang Islam, sehingga saat duduk di kelas 1 SMU, saya minta 
orangtua saya memondokkan saya di pesantren Tambak Beras, Jombang. 
   
  Saya sempat dua tahun belajar di sana dan dari situ pula saya makin menyadari 
pentingnya ideologi Islam setelah mengkaji fikih Islam dan segala macam 
disiplin ilmu di pesantren. Saya lalu kuliah di perguruan tinggi umum di 
Jakarta. Di Jakarta inilah kemudian saya bertemu dengan kelompok NII, salah 
satu faksi NII Nur Hidayat. Saya tertarik karena semangat dia yang 
menggebu-nggebu hendak menegakkan syariat Islam di Indonesia. 
   
  Sebagai kelanjutan dari itu, kami membuat satu program yang ingin memberi 
suatu percontohan tentang negara Islam. Kami sebut Islamic Relief di Lampung. 
Lalu kami sosialisasikanlah misi ini ke faksi-faksi NII yang lain. Misalnya ada 
faksi dari Tahmid, faksi Ajengan Masduki, dan faksi lainnya, termasuk 
orang-orangnya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba�asyir. Tapi waktu itu 
Ba�asyir lari ke Malaysia, dan sebagian orang menganggap tindakan Ba�asyir 
dan Sungkar tersebut sebagai tindakan pengecut.
   
  Kok disebut pengecut? 
   
  Saya ingat persis, waktu itu seorang teman bernama Usman selalu mengatakan 
kok ada rasul yang hijrah duluan meninggalkan jamaahnya. Kebetulan setelah itu 
kami bertemu jamaah Warsidi di Lampung yang juga salah satu jamaah NII. Setelah 
itu, jadilah kami kelompok yang paling keras di antara yang keras. Itulah isu 
di kalangan NII kala itu. Kami lalu membuat program Islamic Village, dan 
melakukan program hijrah. Kami pindahkan keluarga-keluarga kami, lebih kurang 
100 keluarga, ke tanah Warsidi. 
   
  Kepindahan orang-orang yang waktu memakai krudung masih dianggap aneh dan 
identik dengan ciri kelompok fundamentalis. Itu lalu menimbulkan kecurigaan 
aparat pemerintah. Sebab waktu itu pendekatan intelijen dan militer sangat 
kuat. Danramil waktu itu, Kapten Sutiman, meminta Warsidi untuk melaporkan 
kegiatannya, yang ditolak Warsidi. Tindakan menolak itu yang lalu dinamakan 
pembangkangan. Karena laporan intelijen juga menyebut kami sebagai kelompok 
radikal, lalu Sutiman melakukan penyerbuan dengan satu pasukan. 
   
  Di situlah terjadi insiden karena jamaah melakukan perlawanan dan Sutiman 
tewas. Selang dua hari kemudian, barulah Komandan Korem melakukan operasi 
pembersihan, sehingga banyak yang tewas. Ada sekitar 200 orang korban. Kami 
yang sisanya kemudian ditangkap, diadili, dan mengalami penyiksaan selama 
proses pemeriksaan. Pada waktu itu, saya diadili di Jakarta dan divonis 20 
tahun penjara. 
   
  Kapan Anda berubah dari cita-cita ingin negara Islam menuju gerakan 
memperkuat basis-basis demokrasi? 
   
  Perubahan itu tidak terjadi seketika. Ada proses yang panjang dan mulai 
timbul ketika saya berada di penjara yang cukup lama, yaitu 10 tahun. Padahal 
usia saya waktu itu baru 22 tahun. Cuma waktu itu saya punya satu dasar yang 
menganggap semua itu sebagai proses mencari kebenaran dalam hidup. Itu 
dimungkinkan karena dalam diri saya ada sikap kritis. 
   
  Setelah mengalami kegagalan di Lampung, di penjara kita punya banyak waktu 
untuk kontemplasi atau melakukan muhasabah. Di situlah sikap kritis muncul. 
Doktrin-doktrin NII yang saya telan begitu saja selama ini, mulai saya kritisi. 
Dalam NII, kalau kita mengaji, ada konsep bai�at. Dampak psikologis bai�at 
itu ternyata betul-betul sangat mendalam. Seakan-akan, kita berbai�at di 
hadapan Allah langsung. Kalau kita melanggar bai�at itu, berarti kita 
menentang Allah. Padahal kita berbai�at tidak kepada Allah, tapi kepada 
manusia biasa yang kebetulan pimpinan. Belakangan saya bertanya, otoritas apa 
yang ia punya kok mengatasnamakan Allah? 
   
  Pada awalnya, saya takut-takut juga berpikir begitu. Tapi saya coba mencari 
referensi dari kitab-kitab fikih, apakah bisa bai�at tersebut dibatalkan. Dan 
saya kebetulan juga senang bergaul di dalam penjara. Waktu itu, tahanan politik 
ataupun narapidana politik ada sekitar 100 orang yang dibagi antara ekstrem 
kiri dan ekskrem kanan. Ekstrem kiri adalah tahanan politik yang terlibat atau 
diduga terlibat dalam kasus G30S/PKI, sementara ekstrem kanan yang terlibat 
masalah-masalah Islam kayak kasus Tanjung Priuk, Lambung, Usroh, dan NII. 
   
  Lalu saya berjumpa narapidana politik kasus Timor Timur. Ada yang bernama 
Sanan dan ada juga dari OPM (Organisasi Papua Merdeka), almarhum Dr. Thomas 
Wangggai. Nah, saya senang bergaul dengan mereka. Di situlah terjadi diskusi 
yang intens, walau kami tinggal di blok khusus EK (Ekstrem Kanan) yang dipisah 
dari tahanan khusus EK (Ekstrem Kiri) atau PKI. Blok tahanan Tim-Tim juga 
tersendiri. Pengawasannya sangat ketat. Tapi dari interaksi itulah saya 
memahami orang komunis. 
   
  Saya tidak tahu kebijakan apa pada waktu itu yang membuat pimpinan LP dan 
Bakorsanada menyatukan tahanan Lampung satu blok dengan tahanan politik 
G30S/PKI. Saya ketemu Kolonel Latif, Sersan Bungkus dari Cakrabirawa, dan 
bergaul juga dengan Asep Suryaman, anggota biro khusus PKI. Juga ketemu 
Sukatno, Ketua Pemuda Rakyat, dan Rewang Iskandar Subekti. Dari pergaulan 
dengan mereka saya tahu, meskipun ideologi mereka komunis, tapi mereka tidak 
atheis sebagaimana yang selama ini saya pahami. Pak Latif tetap shalat Jumat ke 
Masjid, dan Asep Suryaman juga demikian. Itu pengalaman yang sangat mengesankan 
bagi saya yang pada akhirnya membuat pandangan saya tentang mereka tidak 
hitam-putih. 
   
  Saya bisa memahami latar belakang perjuangan mereka. Tapi ketika itu, tahun 
1990, setiap tanggal 1 Oktober, bersamaan dengan peringatan G30S/PKI, tahanan 
PKI itu diambil untuk diekskusi mati. Saya masih satu blok dengan 
mereka-mereka. Saya di kamar 11, sementara Pak Asep Suryaman di kamar 4. Nah, 
pada tengah malam ketika dia ingin dipanggil, mereka sudah tahu kalau akan 
dieksekusi. Mereka lalu datang untuk pamitan ke kamar saya. �Bung, kalau saya 
ada kesalahan dalam pergaulan dengan Anda, saya minta maaf. Saya tidak tahu 
apakah saya termasuk mereka yang akan dipanggil atau tidak,� katanya. Padahal 
dia sudah menjalani hukuman penjara 27 tahun. Karena itu, dia mengatakan, 
�Saya sudah siap menghadapi kematian.� 
   
  �Apa yang membuat Anda siap, Pak?� tanya saya. �Saya membawa ini,� 
katanya sambil menunjukan buku surat Yasin kecil di kantongnya. Saya sangat 
tertegun melihat peristiwa itu. Ternyata saya salah selama ini. Mereka 
berideologi komunis, tapi tetap shalat. Dan ketika menghadapi kematian, buku 
Yasin kecil itu yang membuat dia yakin. Itulah yang mengubah pandangan saya 
agar tidak melihat orang lain secara hitam-putih. Padahal, selama ini, dalam 
NII diajarkan, pokoknya orang yang di luar kelompok kita adalah kafir dan 
segala macam cap buruk lainnya. Nah, itu yang mengubah saya, dan mendorong 
untuk mengupas dan mengkritisi doktrin-doktrin NII. 
   
  Mengapa Anda begitu lama tersadar akan kekeliruan doktrin NII? 
   
  Karena kelompok-kelompok seperti itu kan melarang jamaahnya untuk bergaul 
dengan kelompok lain. Untuk pengajian di jamaah lain pun nggak boleh. Kita juga 
dilarang membaca buku-buku di luar buku doktrin yang tersedia. Dulu ketika 
masih di NII, bacaan wajib saya adalah kitab Jundull�h (Serdadu Tuhan, Red). 
Di situ diterangkan, kalau kita sudah menyatakan kesetiaan atau wal� kepada 
seorang pimpinan, maka kepada selain dia harus bar� atau emoh taat. Ternyata, 
setalah saya pelajari lagi, konsekuensinya kan tidak selamanya seperti itu 
dalam kehidupan kita ini. 
   
  Ada buku yang mempengaruhi Anda ketika di penjara? 
   
  Banyak sekali. Kebetulan kami dikunjungi pula oleh berbagai kelompok. Saya 
mulai merambah buku-buku Islam dari berbagai lapisan. Buku-buku yang dikarang 
ulama Syiah juga saya baca. Buku-buku tentang demokrasi segala macam juga saya 
baca. Saya merasa beruntung ketika di penjara mempunyai banyak kesempatan untuk 
belajar, intropeksi-diri, kontemplasi, dan bergaul, termasuk dengan tahanan 
kriminal. Dari situ saya memahami tidak semua orang yang divonis kriminal itu 
jahat. Kadang-kadang lebih banyak motif ekonomi yang menyebabkan mereka 
terjebak dalam kriminalitas. 
   
  Mas Fauzi, bagaimana Anda melihat pelbagai gerakan Islam radikal yang 
sekarang ini cukup lantang bersuara memanfaatkan iklim demokrasi di Indonesia?
   
  Bagi saya ada penyelesaian yang sangat gampang: penjarakan saja mereka dalam 
waktu yang lama, sehingga bisa intropeksi. Tapi memenjarakan itu tentunya kalau 
mereka melanggar hukum. Jadi pemerintah harus melakukan tindakan tegas. Menurut 
pengalaman saya, orang-orang ekstrem yang dipenjara cukup lama di masa lalu, 
akan merasakan pengalaman psikologis dalam perkembangan kesadaran mereka. 
Sehingga dengan begitu, mereka yang tadinya terlalu radikal akan jadi moderat. 
   
  Saya bisa contohkan kasus Abdul Kadir Barajah. Tadinya kita mengenal dia 
sebagai pengeboman Borobudur. Ketika divonis 18 tahun penjara dan menjalani 
masa tahanan hampir 12 tahun, setelah keluar dia mendirikan gerakan Khilafatul 
Muslimin yang lebih berorientasi kultural. Jadi dia tetap memperjuangkan 
syariat Islam, tapi dengan cara yang lebih ramah. Jadi, saya bisa katakan bahwa 
mayoritas orang-orang yang dulu berpandanagan radikal seperti Abu Bakar 
Ba�asir dan lain sebagainya itu, ketika dipenjara menjadi cukup moderat atau 
arif. Dalam kasus NII, saya bisa sebutkan nama Tahmid Kartosuwiryo, kemudian 
almarhum Aceng Kurnia, dan banyak lagi. 
   
  Pengalaman intropeksinya itu lebih lama, sehingga mereka bisa menyadari 
sebetulnya di mana kesalahannya. Hanya saja, dulu Abu Bakar Ba�syir kabur ke 
Malaysia dan tidak berani menghadapi pengadilan dan mempertanggungjawabkan 
perbuatannya. Itu memang hak dia. Tapi saya memilih strategi pencerahan, 
melakukan kajian, dan diskusi tentang Islam politik. Dengan begitu, tafsiran 
tunggal yang monopoli kebenaran tentang negara Islam yang selama ini didomonasi 
oleh kelompok-kelompok ekstrim tersebut, mendapat pembanding. Ternyata, kalau 
kita kaji literatur-literatur klasik Islam, banyak sekali sikap moderat dalam 
memandang hubungan Islam dan negara. Tapi karena selama ini tidak ada 
pembanding, orang-orang yang sebelumnya tidak mengenal Islam itu jadi 
terkesima. Saya dulu juga orang yang seperti itu. 
   
  Menurut Anda, apa perbedaan antara kelompok-kelompok radikal Islam radikal 
saat ini dengan Anda dulunya? 
   
  Ada satu hal mendasar yang saya lihat. Kalau dulu, munculnya radikalisasi 
dari kalangan Islam itu karena adanya tindakan represif dari penguasa. Jadi 
kita berbeda pendapat sedikit saja sudah ditahan, diintrogasi, dan disiksa. 
Kita nggak bisa bebas. Khatib-khatib Jumat, kalau dulu mau berkhutbah, bahannya 
harus diperika dulu oleh Laksusda Jaya dan Bakorkanas seminggu sebelumnya. Tapi 
sekarang, saya melihat kekerasan itu justru terjadi secara horisontal, bukan 
untuk melawan kesemena-menaan, dan hanya untuk pemaksaan pendapat. Jadi ada 
keinginan untuk memonopoli dan kalau ada orang yang tidak sependapat dengan 
dia, dilakukanlah berbagai tindak intimidasi, stigmatisasi, dan teror. 
   
  Itulah yang membedakan keduanya. Karena itu, untuk yang saat ini, saya tidak 
melihat adanya alasan bagi mereka untuk bertindak. Terhadap pelacur dipukuli; 
apa alasannya? Saya yakin, tidak ada orang yang ingin menjadi pelacur. Jadi 
harus dilihat persoalannya itu apa sebenarnya. 
   
  Jadi proses radikalisasi itu dulunya untuk melawan represi, sementara kini 
untuk melakukan represi? 
   
  Ya, karena itu kini tidak ada alasan rasional untuk ada. Tapi anehnya, 
terhadap kelompok yang melakukan anarkisme itu, tidak ada penekanan yang 
memadai dari aparat. Saya tidak melihat aparat melakukan itu pada Muhammad 
Riziq Shihab, misalnya. Seharusnya, dia bersyukur dengan kondisi saat ini. Dulu 
kita memperjuangkan dan menyosialisasikan wacana Islam dan bicara soal negara 
Islam saja sudah dipenjara. M. Irfan Awas itu dulu pernah menerbitkan buletin 
Risalah lalu kalau tidak salah, dipenjara 7 tahun. Itu hanya karena dia mau 
menerbitkan buletin yang menyosialisasikan wacana negara Islam. 
   
  Nah, sekarang kan dengan bebasnya kita bisa berdiskusi dan berwacana. Kondisi 
ini harus kita syukuri, dan untuk itu, tawarkanlah ide-ide negara Islam dengan 
cara yang ramah. Biarlah masyarakat yang menentukan mau menerima atau tidak. 
Bukan dengan pemaksaan seperti yang terjadi sekarang ini. 
   
  Beberapa individu yang sempat seideologi dengan Anda juga dipenjara, tapi 
setelah keluar tetap tak berubah. Apa yang membedakan orang seperti Irfan Awwas 
itu misalnya, dengan Anda? 
   
  Irfan Awwas itu dipenjara di Nusakambangan, sebuah daerah terisolir. Jadi 
pergaulan dia dengan kelompok-kelompok politik yang lain sangat terbatas. 
Sehingga dia tidak punya kesempatan untuk bergaul dengan orang lain, seperti 
tahanan politik dari berbagai latar belakang ideologi. Tapi memang ada juga 
yang pernah sama-sama di Cipinang dengan saya, tapi kini tetap ekstrem. Saya 
ingin contohkan Abu Fatih yang sekarang menjadi ketua Mantiqi II Jamaah 
Islamiyah yang sedang dicari-cari. Namanya dulu dikenal sebagai Abdullah 
Mansyuri. Tapi saya melihat, memang sejak dulu dia tidak mau bergaul dengan 
orang lain. Dia tetap memelihara sikap ogahnya. 
   
  Dulu saya ingat, pernah ada bantuan dari kelompok Gereja. Dia begitu takut 
bantuan itu akan membahayakan akidah. Pasti mereka ingin mengkristenkan kita, 
pikirnya. Padahal, kalau dia sudah yakin dengan ideologi Islamnya, kenapa mesti 
takut akan dikristenkan? Dia sampai membakar baju yang diberikan pihak gereja. 
Jadi memang ada sikap-sikap yang tidak mau bergaul sejak dulu. Mungkin itu 
pilihan dia. Saya kira itu di antara beberapa faktor yang penting. []
   
  

                
---------------------------------
Yahoo! Music Unlimited - Access over 1 million songs.Try it free. 
                
---------------------------------
Do you Yahoo!?
 Everyone is raving about the  all-new Yahoo! Mail Beta.

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
See what's inside the new Yahoo! Groups email.
http://us.click.yahoo.com/2pRQfA/bOaOAA/yQLSAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Galang Dana Untuk Korban Gempa Yogya melalui Wanita-Muslimah dan Planet Muslim. 
Silakan kirim ke rekening Bank Central Asia KCP DEPOK No. 421-236-5541 atas 
nama RETNO WULANDARI. 

Mari berlomba-lomba dalam kebajikan, seberapapun yang kita bisa.

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke