Selama liburan kemarin saya membaca kembali tulisan kang Jalal mengenai 
Hadits dan Sunnah. Menarik. Dan pendapatnya perlu dipertimbangkan. Saya 
tertarik untuk memberikan sedikit komentar.

Saya setuju dengan penutupnya, bersikap kritis terhadap Hadits dan Sunnah 
nabi tidak berarti berniat untuk menghilangkan keberadaan Hadits nabi itu 
dan pemahaman Fiqih Sunnah selama ini. Saya rasa sikap ini yang coba 
diutarakan oleh mbak Mia, mas Ary dan mbak Chae. Maaf kalo kemarin belum 
"mudeng". 8-)

Saya kurang sependapat dengan Fazlur Rahman, demikian juga kang Jalal, 
ketika FR mengatakan bahwa Sunnah itu adalah ijma masyarakat yang sedang 
berkembang, lalu dialamatkan kepada nabi. Dari Sunnah yang dialamatkan 
kepada nabi itu lalu dituliskan Hadits. Ini teori yang menarik dan saya 
rasa FR sedang berusaha memahami permasalahan yang timbul akibat rentang 
waktu antara keberadaan nabi dan dimulainya Hadits nabi dituliskan. 
Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi dalam rentang selama itu. 
Akibatnya, proses yang mungkin adalah terbentuknya sunnah terlebih dahulu 
(yang merupakan ijma masyarakat), lalu diwujudkan dalam bentuk Hadits yang 
seolah-olah dialamatkan kepada nabi. 

Saya kurang sependapat karena para ulama ahli Hadits telah berusaha susah 
payah mencari kalimat-kalimat yang memang diyakini diucapkan oleh nabi. 
Sehingga metoda sanad atau periwayatan hadits itu betul-betul disaring 
dengan teliti. Tetapi mungkin betul bahwa hadits-hadits palsu yang bukan 
perkataan nabi, atau yang telah bercampur dengan cerita Israiliyat, atau 
kepentingan politik penguasa, telah ada di zaman itu. Ada ulama hadits 
yang mencatat apa adanya, ada juga yang sangat teliti dan memakai metoda 
yang sangat ketat seperti Bukhari Muslim. Sekalipun demikian, tetap tidak 
menutup kemungkinan dalam kitab shahihnyapun masih ada yang palsu atau 
lemah, walLaahu a'lam. Sebagai salah satu contoh ketatnya Bukhari dalam 
memasukkan hadits dalam kitabnya, hadits iftiroq al-ummah, atau perpecahan 
umat menjadi 73 bagian tidak dimasukkan ke dalam kitab shahih Bukhori. 
Sekalipun dari perawi lain dikatakan bahwa hadits itu diriwayatkan dari 
banyak jalan. Mengapa Bukhari tidak memasukkan hadits iftiroq itu ke dalam 
kitab shahihnya? Sedangkan hadits itu dijadikan "master piece" oleh sebuah 
harokah Islam yang memunculkan istilah Firqotun Najiyyah dan Thoifah 
Manshurah?

Saya masih percaya, ulama ahli Hadits seperti Bukhari telah berusaha 
sungguh-sungguh untuk mencatat Hadits yang dipercaya diucapkan oleh nabi. 
Juga termasuk yang berasal dari sahabat. Bukhari pasti mempunyai Ijtihad 
mengapa dia mencatat apa yang dia catat, dan kemungkinan besar bisa kita 
baca dalam pembukaan kitab Shahihnya yang asli.

Mengenai isi dari kitab Hadits shahih Bukharipun memang ada yang berupa 
perkataan sahabat. Salah satu yang saya tahu adalah kisah Umar ketika 
terjadi pemisahan diri nabi dengan para istri-istrinya. Dan mungkin ada 
yang lain. Tetapi saya rasa jumlahnya tidak banyak, mungkin di bawah 10% 
saya rasa. Selebihnya adalah perkataan nabi insya Allah.

Mengenai Sunnah. Menurut saya, SUNNAH adalah "perilaku / tradisi / 
kebiasaan / tata cara ibadah dari nabi". Sunnah inilah yang coba dipotret 
oleh hadits, yang biasanya merupakan penjelasan sahabat. Karena dalam hal 
ibadah, nabi tidak / jarang memberikan penjelasan lisan, tetapi hanya 
mengatakan perhatikan dan tiru saja caraku. Sehingga semua penjelasan ttg 
ibadah nabi merupakan penjelasan sahabat. Mengenai sunnah sahabat yang 4, 
dalam sebuah hadits yang termasuk Hadits Arbain nya Imam Nawawi, nabi 
membolehkan untuk mengikuti Sunnah Khulafaur Rasyidin Mahdiyyin. Maksudnya 
sunnah Khalifah 4 yang pertama. Maka ijtihad Tarawih Umar, azan dua kali 
Utsman, tambahan lafaz azan Shubuh di zaman Umar, itu merupakan Sunnah 
yang boleh diikuti dan mendapat legitimasi oleh nabi dan tidak termasuk ke 
dalam Bid'ah.

Mengenai pengertian Sunnah ini, kemudian Fiqih bahkan memasukkannya ke 
dalam klasifikasi antara Wajib dan Haram. Yaitu jika dikerjakan mendapat 
pahala sedangkan jika ditinggalkan tidak apa-apa. Ini memerlukan 
penjelasan, karena ada Sunnah2 nabi yang begitu kuat sehingga dikatakan 
jika tidak suka dengan sunahku ini ia bukan termasuk golonganku (Islam). 
Contohnya yaitu menikah (tidak membujang atau menjauhi istri), tidur 
(tidak shalat malam trus menerus) dan berbuka puasa (tidak berpuasa terus 
menerus). Nah ada yang satu sudah agak salah kaprah, yaitu Khitan. Khitan 
ini sering disebut Sunat. Sehingga teman Kristen saya pernah berkata bahwa 
Sunat itu tidak wajib, karena namanya juga Sunat. Nah lho! Lalu saya 
jelaskan bahwa pengertian sunnah dalam tradisi Khitan itu adalah termasuk 
SUNNAH nabi yang kuat, yang sudah menjadi wajib, karena kalau tidak 
dilakukan maka tidak termasuk golongan nabi (Islam). Jadi bukan dalam 
pengertian Fiqih Wajib - Sunah - Makruh - Mubah - Haram. Tetapi Khitan itu 
adalah SUNNAH NABI SAW.

Sekali lagi, usaha untuk mengkritisi Sunnah Nabi melalui tela'ah Hadits, 
merupakan usulan yang baik. Salah satu contohnya adalah pemindahan sorban 
nabi ketika ceramah Istisqa.

Salam,




"Ary Setijadi Prihatmanto" <[EMAIL PROTECTED]> 
Sent by: wanita-muslimah@yahoogroups.com
08/02/2006 03:51 AM
Please respond to
wanita-muslimah@yahoogroups.com


To
<wanita-muslimah@yahoogroups.com>
cc

Subject
[Suspected Spam] Dari Sunnah ke Hadits atau Sebaliknya (was: 
[wanita-muslimah] Wishful Thinking ...)







----- Original Message ----- 
From: "Mia" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Sent: Tuesday, August 01, 2006 5:29 AM
Subject: [wanita-muslimah] Wishful Thinking Re: [mediacare] Awal Kejatuhan
Israel dan AS


(deleted)

Soal hadis, ini panjang ceritanya. Pak Ary mungkin bisa forward
kembali posting ttg sejarah pembentukan hadis.

--------------------------------

Yang tulisannya Kang Jalal ya mbak Mia.
Softcopy yang dulu pernah saya punya nggak ketemu.
Tapi saya cari-cari di google ternyata di ISNET ada yang
mirip(http://media.isnet.org/isnet/) .
Sepertinya sama, tapi disini tulisan Pak Jalal ternyata jadi bagian dari
buku kompilasi yang diterbitkan sama Paramadina. Takutnya pada keburu
apriori he he he he....


III.20. DARI SUNNAH KE HADITS ATAU SEBALIKNYA
oleh Jalaluddin Rakhmat

Pada waktu  Nabi  saw  sakit  keras,  beliau  bersabda,  "Bawa
kepadaku  Kitab  agar kalian tidak akan sesat sesudahku." Umar
berkata. "Sakit keras menguasai  diri.  Pada  kita  ada  kitab
Allah  itu  cukup  buat  kita."  Orang-orang  pun bertikai dan
ramailah pembicaraan. Nabi saw berkata, "Enyahlah kalian  dari
sini. Tidak pantas bertikai di hadapanku."

Peristiwa  ini  konon  terjadi  pada hari Kamis, sehingga Ibnu
Abbas yang meriwayatkan hadits di atas menyebutkannya  sebagai
tragedi   hari   Kamis.   "Alangkah  tragisnya  kejadian  yang
menghalangi Nabi saw. untuk menuliskan wasiatnya,"  kata  Ibnu
Abbas.  Kita tidak tahu mengapa Ibnu Abbas menyebutkan sebagai
tragedi. Apakah ia menyesalkan pertikaian sahabat  di  hadapan
Nabi  saw.  yang sedang udzur, sehingga Nabi saw. murka kepada
mereka?  Ataukah  ia  menyesalkan  ucapan  Umar  yang  menuduh
perintah  Nabi  saw  itu  dilakukan tidak sadar (Dalam riwayat
lain, Umar mengatakan Nabi  saw.  mengigau!),  sehingga  tidak
perlu  dipatuhi?  Ataukah  ia  menyesalkan  ucapan  Umar bahwa
al-Qur'an saja sudah cukup,  tidak  perlu  lagi  ada  petunjuk
Rasulullah saw di luar itu?

Ibnu  Abbas  sebagai  ulama  salaf boleh menyesalkan peristiwa
itu,  tapi  para  ulama  salaf  tidak.  Mereka  bahkan  memuji
kebijakan  Umar,  yang mempunyai pandangan jauh ke depan. Kata
al-Qurthubi, "Memang yang diperintah harus segera  menjalankan
perintah.  Tapi  Umar beserta kelompok sahabat lainnya melihat
perintah itu bukan wajib;  hanya  pengarahan  pada  cara  yang
terbaik.  Mereka tidak ingin membebani Nabi saw dengan sesuatu
yang memberatkannya dalam keadaan (sakit) seperti itu. Apalagi
ada firman Allah "Tidak ada yang Kami lewatkan dalam Kitab ini
sedikit pun," dan al-Qur'an itu  menjelaskan  segala  sesuatu.
Karena itu Umar berkata, "Cukuplah Kitab Allah bagi kita."

Kata  al-Khithabi, "Sesungguhnya Umar berpendapat seperti itu,
karena   sekiranya   Nabi   saw.   menetapkan   sesuatu   yang
menghilangkan  ikhtilaf  (di  kalangan kaum muslim), tentu tak
ada gunanya lagi ulama dan ijtihad pun tidak perlu lagi." Kata
Ibn  al-Jawzi.  "Umar  kuatir  sekiranya  Nabi saw. menuliskan
dalam keadaan sakit, kelak orang-orang  munafik  akan  mencari
jalan untuk mengecam apa yang dituliskan itu."

Apapun komentar para ulama, perkataan Umar, "Kitab Allah ...,"
telah memulai problematika sunnah atau hadits yang  berada  di
luar  al-Qur'an.  Betulkah  al-Qur'an  saja  sudah cukup? Atau
bisakah kita menyimpulkan bahwa hanya al-Qur'an sajalah  karya
ilahi,  sedangkan  sunnah  atau hadits adalah produk pemikiran
manusia; dan karena itu tidak mengikat?

Sikap Umar  terhadap  hadist  adalah  sikap  Abu  Bakar  juga.
Al-Dzahabi,  ketika  menulis  biografi  Abu Bakar, mengisahkan
satu peristiwa ketika  Abu  Bakar  mengumpulkan  orang  banyak
setelah  Nabi  saw  wafat.  Abu  Bakar berkata: "Kamu sekalian
meriwayatkan  hadits-hadits  dari  Rasulullah  saw,   sehingga
kalian bertengkar. Nanti orang-orang sesudah kalian akan lebih
keras lagi  bertikai.  Janganlah  kalian  meriwayatkan  hadits
sedikit  pun  dari Rasulullah saw. Bila ada orang yang meminta
kalian (meriwayatkan hadits), katakan di antara kita dan  Anda
ada  Kitab Allah, halalkan apa yang dihalalkannya dan haramkan
apa yang diharamkannya."

Baik Abu Bakar maupun Umar,  menegaskan  sikap  mereka  dengan
tindakan.  Mereka  melarang  periwayatan  hadits dengan keras.
Aisyah bercerita, "Ayahku telah  menghimpun  500  hadits  dari
Nabi.  Suatu  pagi  beliau  datang kepadaku dan berkata, "Bawa
hadits-hadits itu kepadaku. Saya pun membawakan  untukmu."  Ia
lalu  membakarnya  dan  berkata:  Aku  takut setelah aku mati,
meninggalkan hadits-hadits itu kepadamu."

Kemenakan Aisyah, Qasim ibn Muhammad ibn Abi  Bakar,  berkata,
"Hadits-hadits   makin   bertambah  banyak  pada  zaman  Umar.
Kemudian beliau memerintahkannya  untuk  dikumpulkan.  Setelah
hadits-hadits  itu  terkumpul, Umar meletakkannya di atas bara
api, sembari berkata: Tidak boleh ada matsnat seperti  matsnat
Ahli Kitab."

Abu  Bakar  dan Umar adalah dua khalifah pertama yang termasuk
al-Khulafa'  al-Rasyidun.  Tidak  heran  bila  sebagian  besar
sahabat,  juga  sebagian besar tokoh tabi'un seperti Sa'id ibn
Jubair, al-Nakha'i,  al-Hasan  bin  Abu  al-Hasan,  Sa'id  bin
Musayyab  tidak  mau  menuliskan  hadits.  Situasi seperti ini
berlangsung sampai paruh terakhir abad  kedua  Hijrah,  ketika
beberapa   orang  mulai  merintis  pengumpulan  dan  penulisan
hadits. Mereka adalah Ibnu Jurayj di Makkah, Malik di Madinah.
Al-Awza'i  di  Syria, Sa'id bin Abu 'Urwah di Basrah, Mu'ammar
di Yaman, dan Sofyan al-Tsawry di Kufah.

Selama rentang waktu yang cukup panjang itu, kepada  apa  Umar
merujuk  selain  al-Qur'an?  Ketika  mereka  ingin  mengetahui
cara-cara  shalat  yang   tidak   diuraikan   al-Qur'an   atau
menghadapi masalah-masalah baru yang timbul dalam perkembangan
Islam, apa yang mereka jadikan acuan? Fazlur Rahman  menjawab,
mula-mula  umat  Islam merujuk kepada sunnah, tapi sesudah itu
mereka melihat hadits. Sekarang, dalam  rangka  membuka  pintu
ijtihad,  kita  harus kembali lagi kepada sunnah. Saya melihat
perkembangan sebaliknya: dari hadits ke sunnah. Untuk  membuka
pintu  ijtihad,  kita harus mulai dari peninjauan ulang kepada
kedua konsep itu.

DARI SUNNAH KE HADITS

Beberapa orang orientalis berpendapat, sunnah  adalah  praktek
kaum muslim pada zaman awal. Sebagian kandungan sunnah berasal
dari kebiasaan Jahiliyah (pra-Islam) yang  dilestarikan  dalam
Islam.  Sebagian  lagi  hanyalah  interpretasi para ahli hukum
Islam terhadap sunnah yang ada,  di  tambah  unsur-unsur  yang
berasal  dari  kebudayaan  Yahudi,  Romawi, dan Persia. Ketika
gerakan hadits muncul pada Abad 3 Hijrah, seluruh sunnah  yang
ada, dinisbahkan kepada Nabi saw, dan disebut "Sunnah Nabi."

Fazlur  Rahman  mengkoreksi  pandangan  orientalis  ini dengan
menegaskan:

Sekarang kami  akan  menunjukkan  (1)  Bahwa  sementara  kisah
perkembangan  Sunnah  di  atas  hanya  benar sehubungan dengan
kandungannya, tapi tidak  benar  sehubungan  dengan  konsepnya
yang  menyatakan  sunnah  Nabi  tetap  merupakan  konsep  yang
memiliki validitas dan  operatif,  sejak  awal  sejarah  Islam
hingga  masa  kini,  (2) Bahwa kandungan sunnah yang bersumber
dari  Nabi  tidak  banyak  jumlahnya  dan  tidak   dimaksudkan
bersifat  spesifik  secara  mutlak;  (3)  Bahwa  konsep sunnah
sesudah Nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah Nabi tapi  juga
penafsiran-penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut; (4) Bahwa
sunnah dalam pengertian  terakhir  ini,  sama  luasnya  dengan
ijma'  yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang semakin
meluas secara terus-menerus;  dan  yang  terakhir  sekali  (6)
Bahwa  setelah  gerakan  pemurnian  Hadits yang besar-besaran,
hubungan organis di antara sunnah, ijtihad, dan ijma'  menjadi
rusak.

                         TELADAN NABI SAW
                                 |
                       PRAKTEK PARA SAHABAT
                                 |
                       PENAFSIRAN INDIVIDUAL
                                 |
                         OPINIO GENERALIS
                                 |
                      OPINIO PUBLICA (SUNNAH)
                                 |
                    FORMALISASI SUNNAH (HADITS)

Jadi, para sahabat memperhatikan perilaku  Nabi  saw.  sebagai
teladan.  Mereka  berusaha  mempraktekkannya  dalam  kehidupan
sehari-hari. Setelah Nabi saw. wafat, berkembanglah penafsiran
individual  terhadap  teladan  Nabi  itu.  Boleh jadi sebagian
sahabat  memandang  perilaku  tertentu  sebagai  sunnah,  tapi
sahabat  yang  lain,  tidak  menganggapnya sunnah. Dalam "free
market  of  ideas,"  pada  daerah  tertentu  seperti  Madinah,
Kuffah,  berkembang  sunnah yang umumnya disepakati para ulama
di daerah tersebut. Ada sunnah  Madinah,  ada  sunnah  Kuffah.
Secara  berangsur-angsur,  pada  daerah kekuasaan kaum muslim,
berkembang  secara  demokratis  sunnah  yang  disepakati  (amr
al-majtama'  'alaih).  Karena  itu, sunnah tidak lain daripada
opinio publica. Ketika timbul gerakan hadits pada paruh  kedua
Abad  2  Hijrah. Sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang
ini, diekspresikan dalam  hadits.  Hadits  adalah  verbalisasi
sunnah.  Sayangnya,  menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah
ke dalam hadits ini, telah memasung proses kreatif sunnah  dan
menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku.

Mungkin  banyak ulama akan tercengang membaca pandangan Fazlur
Rahman tentang hadits, seperti saya kutip di bawah ini:

Berulang kali telah kami katakan --mungkin sampai  membosankan
sebagian  pembaca--  bahwa  walaupun  landasannya  yang  utama
adalah  teladan  Nabi,  hadits  merupakan  hasil  karya   dari
generasi-generasi  muslim. Hadits adalah keseluruhan aphorisme
yang diformulasikan dan  dikemukakan  seolah-olah  dari  Nabi,
oleh  kaum  muslimin  sendiri;  walaupun secara historis tidak
terlepas dari Nabi. Sifatnya yang aphoristik menunjukkan bahwa
hadits  tersebut  tidak  bersifat historis. Secara lebih tepat
hadits adalah komentar yang monumental mengenai Nabi oleh umat
muslim di masa lampau.

Walhasil,  setelah  kaum  muslim  awal secara berangsur-angsur
sepakat menerima sunnah, mereka menisbatkan sunnah itu  kepada
Nabi  saw. Kemudian, mereka merumuskan sunnah itu dalam bentuk
verbal. Inilah yang disebut hadits. Bila sunnah adalah  proses
kreatif yang terus menerus, hadits adalah pembakuan yang kaku.
Ketika gerakan hadits unggul,  ijma'  (yang  merupakan  opinio
publica)  dan ijtihad (yang merupakan proses interpretasi umat
terhadap ajaran Islam) menjadi tersisihkan.

DARI HADITS KE SUNNAH

Sepakat dengan Fazlur  Rahman,  saya  juga  berpendapat  bahwa
perilaku  Nabi  saw,  selama  hidupnya  terus-menerus  menjadi
perhatian   para   sahabat.   Mereka   dengan    kadar    yang
bermacam-macam   berusaha  membentuk  tingkah  lakunya  sesuai
dengan Nabi  saw.  Nabi  saw.  berulangkali  menyuruh  sahabat
menirunya.  Dalam  hal  shalat,  Nabi saw. berkata, "Shalatlah
kalian seperti kalian melihat aku shalat." Dalam hal haji,  ia
berkata "Ambillah dari aku manasik kalian." Sesekali Nabi saw.
menegaskan, perilakunya itu sunnah yang harus diikuti,  "Nikah
itu  sunnahku.  Siapa  yang  berpaling  dari sunnahku ia tidak
termasuk golonganku."

Namun, berlawanan dengan tesis Fazlur Rahman, saya berpendapat
bahwa yang pertama kali beredar di kalangan kaum muslim adalah
hadits. Banyak  riwayat  menunjukkan  perhatian  para  sahabat
untuk  menghapal ucapan-ucapan Nabi atau menyampaikan apa yang
dilakukan Nabi saw. Ada di antara mereka  yang  menuliskannya.
Misalnya  Ali,  seperti diriwayatkan Bukhari, mempunyai mushaf
di luar al-Qur'an, yang menghimpun  keputusan-keputusan  hukum
yang  pernah  dibuat  Rasulullah saw. Abdullah bin Amr bin Ash
juga dilaporkan rajin mencatat apa yang didengarnya dari Nabi.

Dalam peristiwa-peristiwa yang disebutkan dalam  pengantar  di
atas,  kita  melihat  'Aisyah  juga  menyimpan catatan-catatan
hadits  (mungkin  ditulis  Abu  Bakar).  Umar  sendiri  pernah
mengumpulkan   catatan-catatan   hadits  yang  berserakan  dan
membakarnya.

Kita  tidak  akan  mengupas  mengapa  dua   khalifah   pertama
mengadakan gerakan "penghilangan" hadits. Yang jelas, pengaruh
kedua sahabat besar ini terasa sampai lebih  dari  satu  abad.
Keengganan  mencatat  hadits,  menurut  Rasm  Ja'farian, telah
mengakibatkan hal-hal  yang  merugikan  umat  Islam.  Pertama,
hilangnya  sejumlah  besar  hadits.  Urwah  bin  Zubayr pernah
berkata, "Dulu aku menulis sejumlah besar hadits, kemudian aku
hapuskan  semuanya.  Sekarang  aku  berpikir, alangkah baiknya
kalau aku tidak menghancurkan hadits-hadist itu. Aku  bersedia
memberikan  seluruh  anakku  dan  hartaku  untuk memperolehnya
kembali."

Kedua, terbukanya peluang pada pemalsuan hadits. Abu  al-Abbas
al-Hanbaly  menulis,  "Salah satu penyebab timbulnya perbedaan
pendapat  di  antara  para  ulama  adalah  hadits-hadits   dan
teks-teks  yang  kontradiktif. Sebagian orang menuding Umarlah
yang bertanggung jawab atas kejadian ini, karena para  sahabat
meminta  izin  untuk  menulis  hadits  tapi  Umar mencegahnya.
Seandainya  para  sahabat  menuliskan  apa-apa   yang   pernah
didengarnya  dari  Rasulullah  saw, sunnah akan tercatat tidak
lebih dari satu rantai saja (dalam  penyampaian)  antara  Nabi
saw dan umat sesudahnya."

Ketiga,  periwayatan dengan makna. Karena orang hanya menerima
hadits secara lisan,  ketika  menyampaian  hadits  itu  mereka
hanya  menyampaikan  maknanya.  Dalam  rangkaian  periwayatan,
redaksinya dapat berubah-ubah.  Karena  makna  adalah  masalah
persepsi,  masalah  penafsiran, maka redaksi hadits berkembang
sesuai dengan penafsiran orang yang meriwayatkannya.

Keempat,  terjadilah  perbedaan  pendapat.  Bersamaan   dengan
perbedaan  pendapat  ini,  lahirlah  akibat  yang kelima, yang
mengandalkan ra'yu. Karena sejumlah hadits hilang, orang-orang
mencari  petunjuk  dari  ra'yu-nya.  Dalam  pasar  ra'yu  yang
"bebas"  (dalam  kenyataannya,  pasar  gagasan  umumnya  tidak
bebas)  sebagian  ra'yu menjadi dominan. Ra'yu dominan inilah,
menurut Fazlur Rahman, kemudian menjadi sunnah.  Sebuah  ra'yu
menjadi  dominan  boleh  jadi karena proses kreatif dan adanya
demokrasi; boleh jadi juga karena dipaksakan  penguasa.  Tidak
mungkin   kita   memberi  contoh-contohnya  secara  terperinci
disini.

Dalam semua kejadian ini, dominasi ra'yu sangat ditopang  oleh
hilangnya catatan-catatan tertulis. Untuk memperparah keadaan,
tidak adanya rujukan tertulis menyebabkan banyak orang  secara
bebas  membuat hadits untuk kepentingan politis, ekonomi, atau
sosiologis. Abu Rayyah  menulis,  "Ketika  hadits-hadits  Nabi
saw.   tidak   dituliskan  dan  para  sahabat  tidak  berupaya
mengumpulkannya, pintu periwayatan hadits palsu  terbuka  baik
untuk  orang  taat  maupun  orang sesat, yang meriwayatkan apa
saja yang mereka inginkan tanpa takut kepada siapapun."

Pendeknya, hilangnya catatan-catatan hadits telah  menimbulkan
dominasi  ra'yu,  yang  kemudian  disebut  sunnah.  Panjangnya
rangkaian periwayatan hadits  telah  memungkinkan  orang-orang
menambahkan  kesimpulan  dan  pendapatnya  pada hadits-hadits.
Tidak  mengherankan,  bila   Fazlur   Rahman   sampai   kepada
kesimpulan,  hadits  adalah  produk pemikiran kaum muslim awal
untuk memformulasikan sunnah. Sunnah pada gilirannya kelihatan
sebagai   produk   para   ahli   hukum  Islam:  yang  kemudian
dinisbahkan kepada Nabi saw. Jadi,  mula-mula  muncul  hadits.
Kemudian,   orang   berusaha  menghambat  periwayatan  hadits,
terutama, dalam bentuk tertulis. Timbullah sunnah, yang  lebih
merujuk   pada  tema  perilaku  yang  hidup  di  tengah-tengah
masyarakat,   daripada   pada   teks.   Ketika   hadits-hadits
dihidupkan  kembali,  melalui  kegiatan para pengumpul hadits,
kesulitan menguji hadits menjadi sangat besar.

Ulum al-Hadits mungkin membantu kita mengatasi  kesulitan  ini
dengan menambah kesulitan baru. Kesulitan bahkan muncul ketika
kita mendefinisikan hadits dan  sunnah.  Bila  saya  mendaftar
kesulitan  yang  disebut  terakhir,  saya hanya ingin mengajak
pembaca merekonstruksi kembali pandangannya tentang hadits dan
sunnah.

MENCARI DEFINISI HADITS DAN SUNNAH

Pada suatu hari Marwan bin Hakam berkhotbah di Masjid Madinah.
Waktu itu ia  menjadi  Gubernur  Madinah  yang  ditunjuk  oleh
Mu'awiyah.   Ia  berkata.  "Sesungguhuya  Allah  ta'ala  telah
memperlihatkan  kepada  Amir-u  'l-Mu'minin   yakni   Muawiyah
pandangan  yang baik tentang Yazid, anaknya. Ia ingin menunjuk
orang sebagai  khalifah.  Jadi  ia  ingin  melanjutkan  sunnah
Abubakar dan Umar. Abd-u 'l-Rahman ibn Abu Bakar berkata, "Ini
sunnah Heraklius dan Kaisar. Demi Allah, Abubakar tidak pernah
menunjuk  salah seorang anaknya atau salah seorang keluarganya
untuk  menjadi  khalifah.  Tidak  lain  Muawiyah  hanya  ingin
memberikan kasih-sayang dan kehormatan kepada anaknya." Marwan
marah dan  menyuruh  agar  Abd-u  'l-Rahman  ditangkap.  Abd-u
'l-Rahman  lari  ke kamar saudaranya, Aisyah Ummu 'l-Mukminin.
Marwan melanjutkan khotbahnya,  "Tentang  orang  inilah  turun
ayat  yang  berkata  pada  orang  tuanya 'cis' bagimu berdua."
Ucapan itu sampai kepada Aisyah. Ia berkata, "Marwan berdusta.
Marwan  berdusta.  Demi  Allah,  bukanlah ayat itu turun untuk
dia. Bila aku mau, aku dapat menyebutkan kepada siapa ayat ini
turun.  Tapi Rasulullah saw. telah melaknat ayahmu ketika kamu
masih berada di sulbinya.  Sesungguhnya  kamu  adalah  tetesan
dari laknat Allah."

Hadits  ini  diriwayatkan al-Nasa'i, Ibn Mundzir, al-Hakim dan
al-Hakim  menshahihkannya  (lihat  Mustadrak  al-Hakim  4:481;
Tafsir  al-Qurthubi  16:197;  Tafsir  Ibn Katsir 4:159; Tafsir
Al-Fakhr al-Razi  7:491,  Tafsir  al-dur  al-Mansur  6:41  dan
kitab-kitab  tafsir  lainnya). Bukhari meriwayatkan hadits ini
dengan singkat. Ia  membuang  laknat  Rasulullah  saw.  kepada
Marwan  dan menyamarkan ucapan Abd-u 'l Rahman. Inilah riwayat
Bukhari,

Marwan di Hijaz sebagai gubernur yang  diangkat  Muawiyah.  Ia
berkhotbah  dan  menyebut Yazid ibn Muawiyah supaya ia dibaiat
sesudah bapakuya.  Maka  Abdurrahman  mengatakan  sesuatu.  Ia
berkata, "Tangkaplah dia." Ia masuk ke rumah Aisyah dan mereka
tidak   berhasil   menangkapnya   Kemudian   Marwan   berkata,
"Sesungguhnya  dia  inilah  yang  tentang dia Allah menurunkan
ayat-ayat dan orang yang berkata  kepada  kedua  orang  tuanya
'cis'  bagimu  berdua,  apakah  kalian  menjanjikan padaku dan
seterusnya. Aisyah  berkata  dari  balik  hijab:  Allah  tidak
menurunkan  ayat  apapun tentang kami kecuali Allah menurunkan
ayat untuk membersihkanku.

Hadits ini adalah hadits No. 4826 dalam  hitungan  Ibnu  Hajar
al-Asqalani  (lihat  Fath  al-Bari  8:576).  Yang menarik kita
bukanlah apa yang  dibuang  Bukhari,  tetapi  "perang  hadits"
antara  dua orang sahabat --Marwan ibn Hakam dan 'Aisyah. Yang
pertama  menyebutkan,  asbab  al-nuzul   ayat   al-Ahqaf   itu
berkenaan  dengan  'Abd-u  'l-Rahman ibn Abu Bakar. Yang kedua
menegaskan bahwa yang pertama berdusta, karena ayat itu  turun
berkenaan  dengan  orang lain. 'Aisyah malah menegaskan dengan
hadits yang menyatakan bahwa Marwan adalah orang yang dilaknat
Allah dan Rasul-Nya.

KERANCUAN PENGERTIAN HADITS

Riwayat  di  atas  disebut  "hadits"  padahal yang diceritakan
adalah  perilaku  para  sahabat.   Para   ahli   ilmu   hadits
mendefinisikan  hadits  sebagai  "apa  saja  yang  disandarkan
(dinisbahkan)  kepada  Nabi  saw.  berupa  ucapan,  perbuatan,
taqrir, atau sifat-sifat atau akhlak (Lihat Dr. Nurrudin Atar,
Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, halaman 26). Riwayat di atas
tidak  menceritakan  hal  ihwal Nabi saw. ia bercerita tentang
perilaku para sahabatnya.

Bila kita membuka kitab-kitab hadits,  segera  kita  menemukan
banyak  riwayat  di  dalamnya,  tidak berkenaan dengan ucapan,
berbuatan atau taqrir Nabi saw.  Sekedar memperjelas persoalan
di  sini,  dikutipkan  beberapa  saja diantaranya. Pada Shahih
Bukhari, hadits No. 117 menceritakan  tangkisan  Abu  Hurairah
kepada orang-orang yang menyatakan Abu Hurairah terlalu banyak
meriwayatkan hadits. Ia menjelaskan bahwa ia tidak  disibukkan
dengan  urusan  ekonomi,  seperti  sahabat-sahabat  Anshar dan
Muhajirin. Ia selalu menyertai Nabi saw.  Untuk  mengenyangkan
perutnya,  menghadiri  majelis  yang tidak dihadiri yang lain,
dan menghapal hadits yang tidak dihapal orang lain.

Perhatikan  Bukhari  memasukkan  sebagai  salah   satu   kitab
haditsnya,   padahal  riwayat  ini  tidak  menyangkut  ucapan,
perbuatan atau  taqrir  Nabi  saw.  Hadits  yang  menceritakan
sahabat   disebut   hadits  mawquf  (istilah  yang  didalamnya
terdapat kontradiksi, karena bukan hadits bila tidak berkenaan
dengan  Nabi  saw.).  Ibnu Hajar dalam pengantarnya pada Syarh
al-Bukhari menyebutkan secara terperinci hadits-hadits  mawquf
dalam Shahih Bukhari.

Mungkin  bagi banyak orang, riwayat tentang para sahabat masih
dapat dianggap hadits, sehingga definisi hadits sekarang ialah
"apa  saja  yang  disandarkan  (dinisbahkan)  kepada Nabi saw.
berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlak
dan  apa  saja  yang  dinisbahkan  kepada para sahabat." Namun
jangan terkejut kalau ahli  hadits  bahkan  menyebut  riwayat,
para  ulama  di luar para sahabat juga sebagai hadits. Riwayat
tentang para tabi'in yakni  ulama  yang  berguru  kepada  para
sahabat,   disebut   hadits   maqthu.  Dalam  Shahih  Bukhari,
misalnya, ada hadits yang berbunyi  "Iman  itu  perkataan  dan
perbuatan, bertambah dan berkurang." Ini bukan sabda Nabi saw.
Menurut Bukhari, ini adalah  ucapan  para  ulama  di  berbagai
negeri  (lihat  Fath-u  'l-Bari  1:47). Karena itu menurut Dr.
Atar, definisi hadits yang paling tepat ialah "apa  saja  yang
disandarkan  (dinisbahkan)  kepada  Nabi  saw.  berupa ucapan,
perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlak dan  apa  saja
yang dinisbahkan kepada para sahabat dan tabi'in."

Sampai  di  sini  kita  bertanya  apakah  kita  sepakat dengan
definisi Dr. Atar.  Bila  ya,  harus  mengubah  anggapan  kita
selama  ini.  Ternyata  hadits  itu  tidak  semuanya berkenaan
dengan Nabi saw. Kembali kepada Rasulullah  saw.  Yang  paling
menyusahkan  kita  ternyata tidak semua hadits walaupun shahih
meriwayatkan sunnah Rasulullah saw.  Boleh  jadi  banyak  amal
yang  kita lakukan selama ini ternyata bersumber pada "hadits"
yang bukan hadits (menurut definisi yang pertama).

Salah satu contohnya adalah  hadits  yang  sering  disampaikan
kaum modernis untuk menolak tradisi slametan ("tahlilan") pada
kematian. Hadits itu berbunyi, "Kami menganggap berkumpul pada
ahli  mayit  dan  menyediakan  makanan  sesudah  penguburannya
termasuk meratap." Hadits  ini merupakan ucapan  'Abd-u  l-Lah
al-Bajali, bukan  ucapan  Bani  saw.  (lihat    Nayl al-Awthar
4:148). Demikian pula, kebiasaan  melakukan  adzan  awal  pada
shalat Jum'at di kalangan ulama tradisional, didasarkan kepada
hadits yang menceritakan perilaku orang Islam di zaman  Utsman
ibn 'Affan.  Ucapan  "al-shalat-u khair-un min al-nawm"  dalam
adzan Shubuh adalah tambahan yang dilakukan atas perintah Umar
ibn Khatab. Akhirnya, perhatikanlah hadits ini:

Dari  Jabir  ra:  Sesungguhnya  Ibnu  Zubair  melarang muth'ah
tetapi Ibn Abbas  memerintahkannya.  Ia  berkata:  Padaku  ada
hadits.  Kami melakukan muth'ah pada zaman Rasulullah saw. Dan
pada zaman Abu Bakar ra. Ketika Umar berkuasa,  ia  berkhotbah
kepada orang banyak: Sesungguhnya Rasulullah saw. Adalah Rasul
ini, dan sesungguhnya al-Qur'an itu adalah al-Qur'an ini.  Ada
dua  muth'ah  yang  ada  pada zaman Rasulullah saw. Tetapi aku
melarangnya dan akan menghukum pelakunya. Yang pertama muth'ah
perempuan.  Bila  ada  seorang  laki-laki  menikahi  perempuan
sampai waktu tertentu, aku  aakan  melemparinya  dengan  batu.
Yang kedua muth'ah haji (haji tamattu').

Hadits   ini   diriwayatkan   dalam   Sunnah   Baihaqi  7:206;
dikeluarkan juga  oleh  Muslim  dalam  shahihnya.  Hadits  ini
menceritakan  khotbah  sahabat  Umar yang mengharamkan muth'ah
yang dilakukan para sahabat sejak zaman Rasulullah saw. Sampai
ke  zaman Abu Bakar ra. Manakah yang harus kita pegang: hadits
taqrir Nabi saw. Yang membiarkan sahabatnya melakukan  muth'ah
atau hadits larangan Umar? Umumnya kita memilih yang kedua.

Walhasil,  dengan  memperluas  definisi  hadits  sehingga juga
memasukkan perilaku para sahabat dan tabi'in, kita mengamalkan
juga  sunnah  para  sahabat,  yang  tidak  jarang bertentangan
dengan sunnah Rasulullah saw. Kerancuan  definisi  hadits  ini
membawa kita kepada ikhtilaf mengenai apa yang disebut sunnah.

KERANCUAN PENGERTIAN SUNNAH

Para ahli hadits, dan banyak di antara kita, menyamakan hadits
dengan sunnah. Ahli ushul fiqh mendefinisikan  sunnah  sebagai
"apa  saja  yang keluar dari Nabi saw. Selain al-Qur'an berupa
ucapan, perbuatan, dan  taqrir,  yang  tepat  untuk  dijadikan
dalil hukum syar'i" (Muhammad Ajjaj al Khathib, al-Sunnah Qabl
al-Tadwin, h.16)

Jadi menurut ulama ushul fiqh, tidak semua  hadits  mengandung
sunnah.  Imam Ahmad pernah diriwayatkan berkata, "Dalam hadits
ini ada lima sunnah, fi hadza 'l-hadits khams-u sunnah." Tidak
semua  ulama setuju dengan pernyataan Ahmad. Mungkin saja buat
sebagian di antara mereka, dalam hadits hanya ada tiga sunnah.
Masalahnya  sekarang:  kapan  perkataan,  perbuatan dan taqrir
Nabi saw. Itu tepat disebut sunnah?

Seandainya seorang sahabat berkata, "Aku mendengar  Rasulullah
saw.  Batuk  tiga  kali setelah takbirat-u 'l-ihram," dapatkah
kita menetapkan perilaku Nabi saw. Dalam  hadits  itu  sebagai
sunnah?  Anda  berkata  tidak,  karena perbuatan Nabi saw. Itu
hanya kebetulan saja  dan  tidak  mempunyai  implikasi  hukum.
Batuk tidak bernilai syar'i.

Tetapi  bagaimana pendapat anda bila Wail bin Hajar melaporkan
apa yang disaksikannya ketika Nabi saw. duduk tasyahhud,  "Aku
melihatnya  menggerakkan  telunjuknya sambil berdoa?" Tidakkah
anda menyimpulkan bahwa gerakan telunjuk itu sama dengan batuk
--yang hanya secara kebetulan tidak mempunyai implikasi hukum.
Bukankah Ibnu Zubair melihat "Nabi saw. memberi isyarat dengan
telunjuknya   tapi   tidak  mengerakkannya?"  (Nayl  al-Awthar
2:318). Banyak orang,  termasuk  para  ulama  yang  menyamakan
hadits dengan sunnah, menyebut sunnah pada semua perilaku Nabi
saw. yang dllaporkan dalam hadits. Abdullah bin Zaid bercerita
tentang istisqa Nabi saw. Pada waktu khotbah istisqa Nabi saw.
Membalikkan serbannya, sehingga bagian  dalam  serban  itu  di
luar  dan  sebalik.  Dalam riwayat lain, Nabi saw. memindahkan
serbannya, sehingga ujung serban sebelah kanan  disimpan  pada
bahu  sebelah kiri dan ujung serban sebelah kiri disimpan pada
bahu sebelah kanan. Jumhur ulama  termasuk  Imam  Syafi'i  dan
Malik menetapkan pembalikan atau pemindahan serban itu sebagai
sunnah. Kata Syafi' i, "Nabi  saw.  Tidak  pernah  memindahkan
serban  kecuali  kalau  berat."  Jadi pemindahan dalam khotbah
istisqa itu tentu mempunyai implikasi syar'i. Imam Hanafi  dan
sebagian  pengikut  Maliki menetapkan bukan sunnah. Pemindahan
itu hanya kebetulan  saja.  Para  ulama  juga  ikhtilaf  untuk
menetapkan apakah pemindahan serban itu berlaku bagi imam atau
berlaku bagi jemaah juga, apakah yang  sunnah  itu  pemindahan
atau  pembalikkan.  Anda  melihat bagaimana para ulama berbeda
dalam mengambil sunnah hanya dari satu hadits saja.

Karena  itu,  Fazlur  Rahman  dalam  Membuka   Pintu   Ijtihad
menegaskan  adanya  unsur  penafsiran  manusia  dalam  sunnah.
Sunnah adalah perumusan para ulama mengenai kandungan  hadits.
Ketika  terjadi  perbedaan  paham,  maka  yang  disebut sunnah
adalah pendapat umum; sehingga pada awalnya sunnah sama dengan
ijma'.  Karena  sunnah  adalah  hasil penafsiran, nilai sunnah
tentu saja tidak bersifat mutlak seperti al-Qur'an.

Pernyataan Fazlur Rahman  ini  bagi  kebanyakan  orang  sangat
mengejutkan. Bukanlah selama ini yang kita anggap benar secara
mutlak adalah  al  Qur'an  dan  sunnah?  Patut  dicatat  bahwa
kesimpulan  Fazlur  Rahman  itu  didasarkan  pada sunnah dalam
pengertian sunnah Rasulullah saw. Dengan latar belakang uraian
tentang  hadits  sebelumnya, kita menemukan juga adanya sunnah
para sahabat, bahkan  sunnah  para  tabi'in.  Definisi  sunnah
seperti  disebutkan  di  atas,  pada  kenyataannya  tidak lagi
dipakai. Bila sunnah sudah  mencakup  juga  perilaku  sahabat,
kemusykilan tentang sunnah makin bertambah.

PENUTUP.

Ketika  kita  sedang  giat  melakukan islamisasi ilmu, budaya,
ekonomi, hukum, dan masyarakat, kita tidak  bisa  tidak  harus
merujuk pada hadits dan sunnah (tentu saja sesudah al-Qur'an).
Bahkan ketika merujuk pada al-Qur'an pun, kita  harus  melihat
hadits.  Pembaruan  pemikiran  Islam atau reaktualisasi ajaran
Islam, harus mengacu  pada  teks-teks  yang  menjadi  landasan
ajaran Islam. Semua orang sepakat pentingnya hadits dan sunnah
dalam merealisasikan ajaran Islam. Yang  sering  kita  lupakan
adalah  bersikap  kritis  terhadap  keduanya. Sikap kritis ini
seringkali dicurigai akan menghilangkan  hadits  atau  sunnah.
Kita  lupa  bahwa  kritik terhadap keduanya telah diteladankan
kepada kita oleh para ulama terdahulu.

Bila para  pembaru  Islam  terdahulu  memulai  kiprahnya  dari
kritik   terhadap   hadits   dan   sunnah   (Ingat   bagaimana
Muhammadiyah dan PERSIS  "men-dha'if-kan"  hadits-hadits  yang
dipergunakan   orang-orang   NU),   mengapa   kita  tidak  mau
melanjutkannya. Konon  Imam  Bukhari  bermimpi,  ia  duduk  di
hadapan  Rasulullah  saw,  dan  di  tangannya  ada kipas untuk
mengusir lalat agar tidak mengenai tubuh Nabi saw.  Ketika  ia
bertanya  kepada orang-orang pandai apa arti mimpi itu, mereka
berkata,  "Anda  akan  membersihkan  hadits  Nabi  saw.   dari
kebohongan."   Inilah   yang  mendorong  Bukhari  mengumpulkan
hadits-hadits yang sahih saja, dengan membuang  ribuan  hadits
yang  dianggap  dha'if  (lemah).  Siapa yang ingin melanjutkan
tradisi Imam Bukhari dewasa ini?



=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 

Yahoo! Groups Links



 





[Non-text portions of this message have been removed]



=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke