“Membersihkan Lingkungan”, Meniadakan Narasi (Politik Harmoni dan Pendiaman 
di Bali)
   
   
  Saya melangkahkan kaki jauh menuju pesisir pantai sampai ujung. Nyiur 
melambai dan rerumputan keras menyayat kaki. Ladang-ladang, persawahan dibangun 
para petani ditepi pantai. Pasir hitam pantai dimanfaatkan oleh kelompok 
kebatinan untuk latihan dan ujian kenaikan tingkat. Sekelompok warga berpakaian 
adat, membawa banten (sesaji) duduk ditepi pantai. Seorang wanita setengah baya 
memangku sawa (tulang belulang mayat yang telah diaben) untuk segera dibuang ke 
laut. Pemangku dengansuara berat dan pelan mengucapkan kidung-kidung suci 
menghantarkan abu tulang belulang mayat untuk dibuang ke laut. Para keluarga 
melepaskan sawa dan menghantarkannya sampai ditengah pantai.
  

Beberapa meter persis dibelakang ritual nganyud (melepaskan abu tulang ke 
pantai) itu, seorang pria renta tanpa baju, sarungnya yang kusam diikat sampai 
keperut, tanpa peduli terus menghujamkan cangkul diladangnya. Kami menghampiri 
dan berlagak sebagai makelar tanah yang melihat-lihat lahan untuk dijadikan 
bungalow. Raut wajahnya yang keriput tersenyum ketika kawan saya menawarkan 
rokok dan menghidupkan api untuknya. Kawan saya kemudian mengutarakan 
keinginannya untuk membeli tanah dipinggir pantai ini, termasuk ladangnya. 
“Niki tanah tenget Pak,” jawabnya. Ini tanah angker. Kakek tua ini kemudian 
menjelaskan bahwa ia hanya sebagai penggarap ladang ini. Ada seorang tuan tanah 
yang memiliki ladang dan tanah dipesisir pantai ini. Tuan tanah yang lebih tua 
darinya itu adalah tokoh masyarakat didesa. Tapi kenapa angker?
  

Saat jaman Gestok (G30S) dulu, kata kakek tua ini, ia masih remaja. Ia kemudian 
menunjukkan didepan ladang tempatnya bekerja, ada pohon kelapa besar dengan 
jurang yang lumayan dalam didepannya. Disebelahnya tersemai rerumputan yang 
tumbuh subur seluas kurang lebih 15 meter. “Dulu tiang menyaksikan disini 
bangkai-bangkai dibuang dan kemudian ditanam,” ungkapnya pelan menunjuk jurang 
dan hamparan tanah yang hanya ditumbuhi rumput. Sore hari sebelum pembantaian 
itu, katanya, krama (warga) desa tedun ngayah (keluar bekerja). Kulkul 
(kentongan) dibunyikan dan krama keluar dengan pakaian adat membawa cangkul dan 
sabit. Semuanya berjalan biasa-biasa saja, padahal malam sampai pagi, bangbang 
(lubang besar) itu akan ditimbun mayat-mayat anggota krama yang dituduh 
terlibat PKI (Partai Komunis Indonesia).
  

Tangan kakek renta ini kemudian membentang, ia kemudian menunjukkan dipesisir 
pantai yang sekarang ramai ini adalah saksi bisu salah satu dari puluhan bahkan 
ratusan kuburan masal pembantaian PKI 1965-1966 di Bali. Setiap hari, jika 
mencangkul ladang, ia tidak pernah melupakan pengalaman masa kecilnya, 
menyaksikan langsung pembantaian itu terjadi. “Yen nyidang tiang ngidih, 
sampunan numbas tanah driki,” tuturnya pelan sembari berdiri dan melanjutkan 
mencangkul. Kalau bisa saya minta, jangan membeli tanah disini. 
  

Saya kemudian tidak bisa membayangkan bagaimana dipesisir pantai itu--yang 
dalam rencana pemerintah kabupaten akan dijadikan tujuan obyek wisata 
pantai—terkubur tulang belulang manusia dari peristiwa paling kelam yang 
dialami bangsa ini. Wisatawan akan tanpa perasaan apapun menginjakkan kakinya 
diladang atau pesisir pantai. Mungkin saja tanpa sadar, kakinya akan menendang 
tulang belulang manusia yang mulai muncul kepermukaan. Atau juga tidur nyenyak 
dihotel yang dibangun diatas kuburan massal pembantaian manusia. Sungguh ironis 
dan sangat menyesakkan. 
  

Beberapa bulan setelah mendengar cerita kuburan massal itu, tepatnya awal 
Desember 2003, di Banjar Mekar Sari Perancak, Kabupaten Jembrana saya mendengar 
cerita mengejutkan. Desa ditepi pantai itu sebagian besar penduduknya sebagai 
nelayan. Di bibir Pantai Muara Perancak, seorang nelayan melihat tonjolan 
tulang ditepi pantai. Tanpa curiga, beberapa nelayan kemudian membantu 
menggalinya dengan bambu dan cangkul. Karena tanahnya yang gembur di pesisir 
pantai, mereka cepat menemukan tulang-tulang yang lain yang kedalamnya hanya 10 
cm. Mereka kemudian menemukan sepasang potongan tulang paha yang panjangnya 
sekitar 37 cm dan 30 cm. Dalam lubang 10 cm itu juga ditemukan serpihan tulang 
jari, pinggul, dan tulang belakang. Sayangnya warga tidak menemukan tulang 
tengkorak. Saat penemuan, kondisi tulang-tulang tersebut masih terbentuk. Namun 
karena penggalian, posisi tulang jadi berantakan.
  

Warga Perancak pun ribut, berbagai spekulasi dan dugaan asal tulang itu 
bermunculan. Satu dugaan kuat adalah tentang sejarah Pantai Muara Perancak. 
Zaman Gestok dulu, pantai pelabuhan nelayan di Kabupaten Negara ini terkenal 
sebagai ladang pembantaian PKI yang paling sadis. Dipesisir pantai, korban 
dideretkan dan dipenggal kepalanya. Dengan lubang seadanya, mereka kemudian 
dikubur bertumpuk-tumpuk. Kini, ketika tulang-tulang ditemukan tanpa kepala, 
seolah menjadi bukti bahwa lambat laun tidak penggalian kuburan massal yang 
terjadi di Bali, tapi—karena sangat dangkalnya lubang kuburan--, tulang-tulang 
akan muncul kepermukaan dengan sendirinya.
  

Reaksi warga Perancak pun cepat. Nengah Sudiartana, Kelian (Ketua) Banjar Mekar 
Sari Perancak, langsung meminta petunjuk Ida Pedanda (orang suci Hindu Bali) 
untuk membersihkan tulang tanpa tuan dan asal yang jelas ini. Kepercayaan Hindu 
Bali, tulang-tulang tidak jelas itu adalah tanda keletehan (kekotoran) jagad. 
Untuk membersihkannya wajib hukumnya melakukan ritual agama agar lingkungan 
tetap bersih kembali.
  

Ternyata benar, sehari setelah penemuan tulang tersebut, langsung diadakan 
upacara pengabenan, pembakaran tulang-tulang tersebut dan abu-abu tulang 
tersebut dibuang ke laut. Kepercayaan masyarakat Hindu Bali, laut adalah muara 
dan asal-usul dari umat manusia. Sisa-sisa badan kasar manusia hasil 
pengabenan, wajib untuk dibuang ke laut, dilebur agar atman (roh) menyatu 
dengan paramaatman, Ida Sanghyang Widhi Wasa.
  

Setelah itu, habislah sudah pergunjiangan masyarakat Perancak tentang 
tulang-tulang itu. Bagi mereka, keletehan desa mereka telah dihapus dengan 
ritual agama yang melibatkan seluruh krama Perancak. Gunjingan bahwa mungkin 
saja ada tulang-tulang yang akan ditemukan lagi ditutup rapat. Apalagi 
membicarakan tentang kuburan missal. Janji aparat desa, kepolisian untuk 
penelitian tulang itu ternyata bohong besar. 
   
  
Bagi masyarakat Perancak, jika ada tulang lagi, upacara lagi adalah 
penangkalnya. Sama persis dengan obat keletehan saat terjadi Bom Bali Oktober 
2002 adalah berbagai ritual Hindu Bali yang hadir silih berganti. Dari ngulapin 
(mengusir roh jahat) sampai pembersihan jagad Bali dari segala musibah dalam 
ritual megah yang dihadiri ribuan orang , Pamarisudha Karipubhaya yang menelan 
dana milyaran rupiah dari APBD (Anggaran Pendapat Belanja Daerah) Propinsi Bali.
  

Upacara agama adalah senjata sakti untuk kembali menata harmoni, kseimbangan 
kosmologis di Bali. Khusus untuk pembantaian PKI, bagi msayarakat Bali adalah 
“Politik” yang diasosiasikan adalah chaos, kebrutalan dan perusak tatanan 
harmoni masyarakat Bali. Pertarungan politik 1965 menjadi poin sendiri 
bagaimana masyarakat Bali menutup semua cerita pedih kerabat korban yang 
kehilangan anak, cucu, suami, keponakan dengan upacara nyapuh (pembersihan) 
yang dilakukan serentak diseluruh Bali awal tahun 1979.
  

Saya teringat cerita nenek saya, seorang pemangku dalam pertemuan keluarga. 
Saudara kakek saya adalah seorang tokoh PNI di desa, adiknya adalah pentolan 
PKI paling radikal. Rumah mereka berhadap-hadapan. Satu rumah memasang bendera 
PNI (Partai Nasionalis Indonesia) lengkap dengan papan sekretariat, 
berseberangan jalan, berhadap-hadapan berdiri megah papan sekretariat PKI 
dengan bendera-bendera yang mengelilinginya. Saat pembantaian anggota PKI 
terjadi, kakek saya menerima daftar orang yang mesti dibunuh. Termasuk dalam 
daftar pertama adalah adiknya. Maka atas rekomendasi saudara kakek saya, 
adiknya kemudian dikirim ke desa tetangga untuk dibunuh dikuburan desa. Sampai 
upacara nyapuh berlangsung, belum juga ditemukan mayatnya. “Akhirnya ngaben 
tanpa mayat, “ tutur nenek saya pelan. Saya kemudian bertanya tentang konsep 
nyapuh, darimana asalnya dan bagaimana ia menjadi “kesepakatan” untuk 
membersihkan para korban PKI, bahkan diaben tanpa mayat. Apakah ini dibenarkan 
ajaran
 agama Hindu Bali? Nenek saya yang seorang pemangku balik menjawab pelan, “Peh, 
melid sajan. Nak mula keto,” (Ah, cerewet sekali. Memang sudah begitu ), 
ujarnya cuek meningglkan pertemuan keluarga. 
  

Politik upacara ritual agama dalam setiap kesempatan dharma wacana (ceramah 
keagamaan), cerita orang tua pada anaknya atau dalam pertemuan keluarga, selalu 
dikaitkan dengan keseimbangan alam, pembentukan tatanan keharmonisan gumi Bali, 
dan menjauhkan dunia dari musibah. Sebagai bentuk instrospeksi diri, mulat 
sarira dalam keberadaan manusia Bali kini. Berbagai bentuk pencerahan dan 
siraman rohani itu sering dikumandangan para Pedanda, tokoh masyarakat, 
birokrat sampai pada ketua-ketua adat di Bali. Seolah-olah perspektif ini sudah 
menjadi kesepakatan bersama. Jika ada musibah, bisa secara niskala (alam gaib) 
diselesaikan dengan upacara ritual agama. Dan Bali kemudian bisa terus 
harmonis, tatanannya kembali berjalan damai dan masyarakat bisa diam, patuh, 
menurutinya.
  

Padahal upacara tidak sekadar urusan kosmis, keseimbangan tatanan, tapi juga 
relasi yang diskursif dari semua pihak yang bermain didalamnya. Dari hasil 
relasi yang tidak bisa kita bayangan berhubungan inilah terjadi semacam 
hubungan kuasa satu dengan yang lain yang tanpa disadari. Meminjam Michel 
Foucault, kekuasaan yang diskursif kadang beroperasi tanpa sadar, tanpa ada 
dalam bayangan kita dan tidak kelihatan secara nyata. Semuanya adalah hubungan 
diskursif, kelihatannya tidak berkaitan, tapi sebenarnya mempunyai relasi yang 
kuat, silih berganti diantara para pemainnya, menyebar tanpa pusat dan 
sama-sama memainkan kuasa tersebut. 
  

Untuk menunjukkan ini, menarik melihat contoh politik upacara yang dilakukan di 
Bali tahun 1979. Saat itu, perhelatan ritual besar Hindu Bali, Eka Dasa Rudra 
dan Panca Bali Krama dilangsungkan sangat politis dan menjadi awal penataan 
harmoni dan pembersihan noda-noda sejarah di Bali. Saat itulah dilakukan 
upacara nyapuh jagad, upacara pembersihan dunia, dari musibah, bencana alam 
yang disebabkan oleh kala (Dewa Kejahatan). Termasuk dalam upacara nyapuh jagad 
ini adalah pembersihan para korban pembantaian PKI yang mayatnya sudah ataupun 
belum ditemukan. Sama dengan ngaben tanpa mayat Satpam Sari Club dalam Bom Bali 
Oktober 2002. Upacara ini serentak dilakukan diseluruh Bali dengan negera, 
pemerintah daerah Bali bersama lembaga Hindu, PHDI (Parisada Hindu Dharma 
Indonesia) sebagai pengerak dan pelaksana upacara.
  

Dalam konteks ini, upacara juga bisa menjadi total relasi dari kepentingan 
negara/pemerintah daerah, PHDI dengan masyarakat sebagai pengayahnya 
(pelayannya) dalam upacara-upacara besar keagamaan. Jika pada zaman kolonial, 
raja-raja di Bali menjadi patron kuat kekuasaan bagi abdinya. Atau dalam bahasa 
Antropolog Cliiford Geertz dalam Negara, The Thetre State in Nineteenth-Century 
Bali (1980), negara Bali sebenarnya dijalankan dengan setengah-setengah dan 
ragu-ragu oleh raja-rajanya. Semua relasi kekuasaan itu ditujukan ke arah 
pertunjukan, upacara, ke arah dramatisasi di muka umum dari obsesi-obsesi utama 
budaya Bali; derajat sosial dan kebanggaan status (baca: relasi kekuasaan). 
Geertz melatakkan dasar awal bagaimana upacara, negara, masyarakatnya kemudian 
berelasi kuat sampai saat ini dengan kekusaan yang ada dalam “imaji” masyarakat 
Bali. Kekuasaan melayani upacara, bukan upacara yang melayani kekuasaan. 
  

Tesis Geertz itu mungkin kini akan lebih diskursif lagi jika dimaknai bahwa 
upacara dan kekuasaan saling melayani, dan keduanya mempunyai hubungan 
diskurisif yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling terkait, mengayomi dan 
memainkan kekuasaan mereka sendiri-sendiri. Upacara dengan tatanan kosmisnya, 
dan para pemainnya dengan bayangan kekuasaan mereka. 
  

Pada titik relasi kekusaan upacara inilah, upacara Eka Dasa Rudra 1979 di Pura 
Besakih menjadi semacam momentum pengilmiahan, peniskalaan kekuasaan dalam 
bingkai upacara yang dilakukan orde baru. Dalam upacara itu, bagaimana 
negara/pemerintah, PHDI, keluarga korban dan politik tubuh mayat orang yang 
hilang dalam pembantaian berelasi kuat dalam kekuasaan yang dimainkan negara. 
Upacara-upacara di Bali sampai kini melibatkan peran negara, politik 
komunal/soroh (garis darah), kelas. Jadi bohong besar jika upacara itu murni 
adalah tatanan harmoni kosmis. Semuanya adalah total relasi.
  

Orde Baru secara cerdik memainkan ini dengan segala perangkat keras dan lunak 
kekuasaannya. Terminologi “Bersih Lingkungan” secara cerdas bisa merasuk dalam 
urat nadi manusia Bali dengan upacara. Meminjam Foucault, usaha yang paling 
cerdik adalah bagaimana menormalkan relasi-relasi kekuasaan itu. Segala macam 
perlawanan/konflik—dilakukan oleh kelompok politik komunal soroh dalam 
upacara--merupakan bagian inhern dalam relasi kekuasaan yang dibangun, yang 
cenderung untuk mengisolasikan dan mengindividuasikan perlawanan menjadi 
serangkaian “kasus-kasus khusus” yang tidak mengizinkan generasilasi. Upacara 
selain melahirkan keakraban komunal, juga memantik konflik. Dengan discourse 
kekuasaan yang dibentuk negara, maka dialakukanlah intervensi-intervensi dengan 
resep standarisai upacara-upacara yang dilakukan oleh pemangku dan pedanda di 
Bali. Akhirnya, politik komunalitas yang diciptakan orde baru disupport penuh 
dengan rangkaian riuh rendah dan glamour upacara-upacara besar
 keagamaan yang dikreasi sepenuhnya oleh negara.
  

Dengan riuh rendahnya upacara itulah, nyapuh menjadi obat luka sampai saat ini 
bagi keluarga korban yang ditinggalkan. Lebih dari 25 tahun, sejak 1979, 
keluarga korban didiamkan dengan begitu berwibawanya upacara nyapuh. Saya 
sangat yakin, sampai kini keluarga korban masih berharap menemukan dimana sanak 
keluarga mereka yang hilang dikuburkan, dan jika mungkin melihat 
tulang-tulangnya. Meskipun dengan reaksi emosial yang sulit untuk dibayangkan. 
  

Suatu kali saya mungkin boleh berharap, bahwa terjadi pengungkapan sejarah dan 
kebenaran terhadap puluhan bahkan ratusan para kerabat yang sampai detik ini 
belum mengetahui nasib keluarga mereka yang hilang saat malam-malam mencekam 
tahun 1965-1969 di Bali. Saya tidak tahu mungkin caranya bisa penggalian 
kuburan massal dan upacara yang layak bagi keluarga korban. Tapi terpenting ada 
pengungkapan kebenaran keberadaan jenazah tulang belulang keluarga mereka. 
  

Harapan saya juga, suatu saat nanti setelah di Pantai Muara Perancak, Kabupaten 
Negara, tulang belulang manusia saksi sejarah pembantaian paling keji di tanah 
air ini tidak langsung diselesaikan dengan politik upacara, menisbikannya, 
membiarkannya tetap lekat dalam relung-relung memori sejarah yang kelam dari 
genereasi ke generasi. Ada pembuktikan, penelitian dan pengungkapan kebenaran 
akan tulang-tulang yang dianggap leteh itu. Untuk itulah, narasi sejarah para 
korban menjadi hal penting untuk diungkapkan, bukan didiamkan, ditiadakan. 
  

Bagi saya, pembantaian PKI adalah sebuah sejarah kelam yang bukan harus 
dikubur, dilupakan dengan upacara ritual agama serta gelimang pariwisata dan 
pembangunan. Saya tidak akan pernah melupakan, saya tidak akan pernah 
memaafkannya.


I Ngurah Suryawan, Melakukan riset Budaya Kekerasan di Bali untuk KITLV 
(Koninklijk Instituut voor Tall Land en Volkenkunde) Belanda. Sedang 
menyelesaikan skripsi, “Lima Tameng Bali: Cerita Pembantaian PKI 1965-1966 di 
Bali” di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana



      
http://www.geocities.com/herilatief/
  [EMAIL PROTECTED]
  Informasi tentang KUDETA 65/Coup d'etat '65 
Klik: http://www.progind.net/   
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 
   




                                
---------------------------------
Want to be your own boss? Learn how on  Yahoo! Small Business. 

[Non-text portions of this message have been removed]



=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke