Surat Mawar Merah Café Bandar:

HALIM HD MASIH SEORANG PEMIMPI SETIA


6.


Berikut adalah lanjutan dari artikel Halim HD tentang kebudayaan Mandar.



Mandar dalam Strategi Budaya hingga Terorisme Ekologi (5)
AKADEMI MANDAR (b)
Oleh: Halim HD. Pekerja Budaya
Dari PKKNM atau AM yang memiliki cara kerja dan sifat serta sikap independen. 
Sikap dan cara pandang independen ini sangat penting lantaran kita membutuhkan 
benar suatu pandangan, perspektif, kajian atau hasil penelitian serta hasil 
pelacakan yang berangkat dari berbagai metode yang bersifat komprehensif dan 
holistik dan dibarengi dengan sikap dan cara berpikir dialogis-kritis agar 
proses pengembangan berbagai aspek kehidupan di dalam wilayah Sulbar bukan 
sekedar lip service, seperti yang selama ini terjadi, dimana begitu banyaknya 
hasil penelitian hanya melegitimasikan apa yang dinyatakan oleh pengelola 
daerah. 
Jalannya proses pengembangan daerah dalam proses pembangunan sangat membutuhkan 
pijakan dari kajian akademis yang didasarkan kepada spirit mencari kebenaran 
dan kedalaman serta keluasan perspektif, agar kita tidak masuk ke dalam 
perangkap pragmatisme yang kini merajalela di dalam kehidupan kita sehari-hari. 
Lontaran gagasan tentang AM, bagi saya bukan hanya menyangkut institusi yang 
bergerak dalam wilayah kajian saja. Dari AM itu pula secara konsisten kita 
bentuk suatu institusi organis lainnya yang membidangi dan menjadi fasilitator 
bagi kehidupan kebudayaan dalam skala dan pengertian yang khusus, kehidupan 
senibudaya, termasuk di dalamnya wilayah kehidupan khasanah tradisi. Institusi 
organis yang saya maksudkan di sini adalah pembentukan Dewan Kesenian Mandar 
(DKM). 
Jika kita bicara tentang DKM selalu saja dalam pikiran kita tentang suatu 
lembaga dimana institusi itu bergerak dalam kehidupan kesenian. Bayangan 
seperti itu bukan suatu kekeliruan. Yang menjadi soal selama ini, dewan 
kesenian yang banyak dibentuk dan banyak terjadi di dalam proses pengembangan 
programnya selalu saja masuk ke dalam berbagai bentuk dan sikap birokratis. Ini 
merupakan ironi tersendiri. 
Sebab, konon pekerja kesenian, seniman dan mereka yang memiliki minat dalam 
kehidupan kesenian yang selalu mengkritik kondisi kehidupan pemerintahan kita 
yang sudah dibelit oleh birokrasi dan selalu masuk ke dalam berbagai bentuk 
kekuasaan dan di situ pula arogansi itu nampak dalam bentuk yang paling banal: 
merasa paling berkuasa dan paling mengetahui tentang kesenian, dan sementara 
itu keseniannya sendiri tidak hidup secara menggairahkan, dan bahkan cenderung 
ditinggalkan. Hal itu dikarenakan bukan lantaran dewan kesenian bukan tidak 
memiliki dana, betapapun kecilnya, tapi karena masuknya masing-masing elemen 
warga yang merasa jadi seniman dikarenakan didorong oleh syahwat kekuasaan. 
Maka jika saya bicara tentang DKM sebagai suatu wujud dan mesti memiliki 
komitmen moral sehingga benar-benar bisa bukan hanya dianggap sebagai institusi 
organis, tapi memang harus dan benar-benar organis di dalam dinamika kehidupan 
lingkungannya: dirinya bukan hanya berbicara tentang gagasan yang dari 
kepalanya saja. Lebih dari itu, dan yang paling penting bagaimana menjadikan 
dirinya jembatan. Secara ringkas, pengelola DKM merupakan sosok-sosok 
fasilitator, seorang organizer yang meletakkan dirinya sebagai simpul dan 
mengembangkan simpul itu kepada simpul lainnya dan menjadikan institusi itu 
sebagai jaringan internal dan yang akan diluaskan kepada jaringan kehidupan 
kesenian dan kebudayaan di wilayah lainnya. 
Sehingga dengan demikian DKM bukan hanya bicara atas nama pribadi pengurusnya, 
tapi sebagai jembatan dari kehidupan senibudaya yang ada dilingkungannya. 
Selama ini kita dihadapi oleh berbagai problema dewan kesenian lantaran 
pengelola dewan kesenian hanya bekerja untuk diri dan kelompoknya. Hal semacam 
itu harus dibabat, disingkirkan, agar cara dan sikap berpikir kita lepas dari 
kepentingan yang bersifat primordial. Dengan kata lain, pengelola DKM itu 
adalah sosok yang menyiapkan dirinya sebagai networker yang bergerak dari 
tingkat praktis sampai dengan konseptual, dari yang paling visioner sampai 
dengan yang kini dihadapinya secara sehari-hari, dari penguasaan soal informasi 
sebuah grup teater atau grup jenis-bentuk kesenian lainnya sampai dengan tahu 
dan memahami sejarah serta konsep-konsep suatu jenis-bentuk khasanah senibudaya 
yang ada di wilayahnya. 
Pengelola DKM juga mestilah orang yang bukan hanya bicara dari kepentingan 
politik-ekonomi praktis belaka. Jika dia bicara tentang politik-ekonomi mesti 
mengaitkannya bukan dengan kepentingan dirinya, tapi dengan suatu komitmen dan 
perspektif bahwa ada kaitan kuat antara misalnya kehidupan tradisi - 
maju-mundurnya, timbul-tenggelamnya, dan makin tersingkirnya, 
termarjinalisasikannya kehidupan itu lantaran adanya suatu bentuk 
politik-ekonomi yang tidak berpihak kepada kehidupan khasanah tradisi yang ada 
di wilayahnya. 
Dengan kata lain, dia mestinya menjadi jurubicara dan pembela bagi kehidupan 
para pengemban khasanah tradisi. Sebab, kita tahu secara kasat mata, selama ini 
khasanah tradisi dan para pelakunya hanya dijadikan bahan pidato, lip service 
dari kalangan birokrat negeri dan swasta, dan para pengemban khasanah tradisi 
dijadikan sapi perahan; jika diperlukan mereka dipuja-puji, dan setelah itu 
mereka ditinggalkan, habis manis sepah dibuang. Hal itu terjadi selama beberapa 
dekade, dan telah membawa khasanah dan kehidupan pengemban tradisi ke dalam 
sikap apatis dan pesimistik. 
Saatnya kini kita membalikan secara radikal cara pandang dan sikap seperti itu, 
dan meletakkan diri kita sebagai jembatan untuk meraih kondisi yang lebih 
berkeadilan. Hal itu bisa kita lakukan jika kita benar-benar menerapkan 
komitmen secara riil dan dengan dilandasi oleh etika, moral yang berangkat dari 
tatanan nilai dan pandangan hidup (filsafat) yang datang dari lingkungan kita 
yang memandang manusia sebagai insan yang sederajat, sebagaimana Sang Pencipta 
Kehidupan memandang dan meletakkan manusia sebagai ciptaannya yang sama.
DKM yang secara ideal sebagai institusi organis meletakkan posisi dan fungsi 
para pengemban khasanah tradisi yang kebanyakan hidup di wilayah pinggiran, 
pedesaan, bukanlah sebagai abdi DKM, bukan pula sebagai obyek dari kegiatan 
senibudaya. DKM mesti meletakkan posisi dan fungsi pengemban khasanah tradisi 
sebagai rekan sederajat, dan bahkan lebih dari itu, kemestian bagi DKM 
meletakkan posisi-fungsi para pengemban khasanah tradisi itu sebagai sumber 
inspirasi, nara sumber sejarah lokal, nilai-nilai serta model bagi pengembangan 
khasanah tradisi untuk generasi berikutnya. 
Dari hal itu, saya pikir, maka DKM mestilah menjadikan kehidupan rumah tangga 
para pengemban tradisi beserta lingkungannya sebagai laboratorium khasanah 
tradisi, sebagai wilayah di dalam usaha kita melacak kembali secara radikal 
akar kehidupan yang menjadikannya serta melacak gerak, dinamika pertumbuhan 
yang pernah dilintasinya. Dengan demikian kita bisa mengetahui secara mendalam 
apa, mengapa, dan bagaimana suatu kehidupan bisa tumbuh dan berkembang, dan 
kenapa pula terjadi proses penyurutan dalam gerak yang pernah ada itu, misalnya 
kenapa proses pembangunan justru menyingkirkan dan menciptakan kondisi 
degradatif posisi dan fungsi khasanah tradisi? 
Secara ringkas saya ingin menekankan bahwa DKM sebagai jembatan di dalam 
pengelolaan kehidupan senibudaya juga mesti menyiapkan diri dalam arah serta 
gerak perubahan jaman yang ada. Di sini kita membutuhkan bentuk-jenis 
laboratorium yang lainnya, yang satu sama lain saling berkaitan, saling mengisi 
secara dialogis-kritis dan berkesinambungan: suatu laboratorium yang bersifat 
eksperimental. Kita bisa meletakkan laboratorium ini misalnya ke dalam 
kehidupan sanggar-sanggar atau grup kesenian yang arah serta orientasinya 
bersifat garapan, yang rencana kerjanya diletakkan kepada usaha dan proses 
penafsiran terhadap nilai-nilai yang dikandung dari khasanah tradisi. 
Dari hal itu, konsekuensi logis dari sanggar atau grup yang dijadikan 
laboratorium eksperimental senibudaya itu tentulah dan semestinya bukan hanya 
sekedar mengetahui tapi juga lebih dari itu memahami secara mendalam sejarah, 
tatanan nilai, serta dinamika dari khasanah tradisi yang digelutinya. Jika 
sebuah grup atau sanggar mengetahui hal itu secara mendalam, maka dirinya bisa 
dan mampu menciptakan karya-karya dengan bentuk, isi serta ekspresi yang baru, 
yang biasanya kita sebut kontemporer. 
Jenis-bentuk laboratorium ini kita butuhkan sebagai usaha kita menyadari dan 
memahami pertumbuhan serta gerak jaman dan tuntutan kebutuhan dari warga kaum 
muda. Dan kita memang mesti meletakkan kaum muda sebagai pemilik sah masadepan 
sebagai bagian terpenting di dalam pengelolaan kehidupan senibudaya. Sebab, 
kita mengetahui bagaimana kini kaum muda menjadi sasaran empuk dari proses 
globalisasi yang identik dengan kekuasaan dan kekuatan kebudayaan yang datang 
dari luar. Untuk itu perlu bagi kita melakukan penguatan dasar-dasar serta 
penanaman akar baru dalam gaya, sikap serta cara berpikir kaum muda. 
Dalam kaitannya dengan hal itu, antara kehidupan kaum muda dan khasanah tradisi 
serta proses eksperimental, maka lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai 
menengah dan perguruan tinggi sangat perlu dilibatkan. Sistem pendidikan lokal, 
khususnya dari sekolah dasar sampai dengan menengah atas perlu mengadakan 
muatan lokal khasanah tradisi dalam berbagai jenis-bentuknya melalui suatu 
perencanaan yang luas dan mendalam. 
Secara teknis dan praktis, hal ini bisa dan dapat menciptakan suatu bentuk 
ekspresi kebanggaan bagi pelaku tradisi yang selama ini ter/di-marjinalisasikan 
oleh proses modernisasi pembangunan; dan pada sisi lainnya secara 
sosial-ekonomis akan mengangkat kehidupan para pengemban tradisi itu ke dalam 
tahapan yang lebih baik. Yang terpenting dari semua hal itu adalah bahwa kita 
memang benar-benar memiliki akar, dan akar itu bukan sekedar dijadikan hiasan 
yang menempel di sebuah dinding rumah birokrat. Tapi sebuah kehidupan yang 
datang dan bersumber dari hati yang menyadari bahwa khasanah tradisi merupakan 
inspirasi, untuk masadepan, setelah kita melakukan dialog kritis secara 
kontinyu dan mempertimbangkannya dengan bijaksana. 
Untuk itu, maka PKKNM atau AM dan laboratorium yang saya lontarkan di sini dan 
telah didiskusikan oleh berbagai kalangan di Tinambung dan Polewali membutuhkan 
bukan hanya political will dari kalangan eksekutif dan legislatif, tapi juga 
cultural will. Jika hal itu dipertimbangkan dan dimasukkan ke dalam agenda 
kerja, maka saya ingin menyatakan: syukur alhamdulillah, hidup memang penuh 
dengan berkah, dan Mandar di wilayah Sulbar bisa menjadi model bagi daerah 
lain.****


Paris, Oktober 2006.
---------------------------
JJ. Kusni


[Bersambung......]




[Non-text portions of this message have been removed]



=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke