Menasehati dengan Cinta 
Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar Rabbani
  Michigan, USA
   
  
Assalamu alaikum wr wb
Bismillah hirRohman nirRohim
   
Pertama, nasihat apa pun yang diberikan harus dengan niat yang benar. Tidak 
diragukan lagi bahwa nasihat yang tulus tidak muncul dari niat untuk 
mempermalukan orang yang berbuat salah. Artinya, memperbaiki kesalahan tidak 
muncul dari sikap merasa benar sendiri. 
   
  Alasannya sederhana. Jika sebuah nasihat muncul dari sikap merasa benar 
sendiri, maka nasihat itu tidak lagi tulus. Ibadah yang tulus adalah ibadah 
yang semata-mata sebagai pengabdian yang ikhlas karena Allah, bukan karena niat 
lain. Ketika seseorang merasa lebih baik dari seseorang yang berbuat salah, 
maka ketulusan pengabdian seseorang menjadi sirna, karena nasihatnya kepada 
orang lain hanya ditujukan untuk memuaskan rasa lebih unggul secara moral 
ketimbang orang lain, bukan karena Allah semata. 
   
  Ketika nasihat tersebut diberikan secara tulus, siapa pun yang dinasihati 
akan mudah menerimanya dan menggunakannya untuk memperbaiki diri. Pasalnya, 
ketulusan selalu mengiringi cinta, dan cinta hampir selalu menghasilkan 
kepatuhan. Ini hukum dalam dunia spiritual. Oleh karena itu, ketika seseorang 
yang dicintai memberikan nasihat, nasihat tersebut akan mudah diterima dan 
diikuti.  Cinta membuat orang ingin mengikuti apa yang dinasihatkan, entah 
nasihat itu diminta atau tidak. Hanya dalam suasana penuh cinta, perbaikan akan 
benar-benar diperhatikan. Hanya dalam lingkungan penuh cinta, perintah kepada 
kebaikan dan larangan terhadap kejahatan bisa efektif.
 
Di sini kita mulai memahami rahasia mengapa para sahabat bisa segera 
meninggalkan kebiasaan dan perilaku buruk mereka setelah mendengar perintah 
Nabi. Rahasianya adalah kecintaan mereka kepada Rasulullah dan kepercayaan 
mereka kepadanya. Cinta kepada Nabi saw. membuat hal itu bisa terjadi sehingga 
sikap moral mereka mengalami perbaikan.  Nabi saw. mengilhami kecintaan yang 
begitu besar kepada para pengikutnya, sehingga perintah beliau bisa bertahan 
sepanjang generasi, bahkan jauh melampaui generasi sahabat, tabiin, dan tabiit 
tabiin. Generasi mereka merupakan tiga generasi yang digambarkan Nabi saw. 
sebagai generasi-generasi terbaik. 
 
Jadi, ketika Nabi saw. bersabda, “Suruhlah orang kepada kebaikan dan laranglah 
orang dari kejahatan,” cinta dan iman menjadi kunci yang membuka hati orang 
untuk mengubah perilakunya dan mengikuti perintah Tuhan. Cinta, iman, dan rasa 
hormat harus tertanam dalam diri seseorang, jika kita menghendaki sebuah 
nasihat yang efektif. Ketika tidak ada rasa cinta dalam hati, semua upaya untuk 
memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan tidak akan berhasil.
 
Nabi saw. memberikan syarat kedua yang membatasi upaya memerintahkan kebaikan 
dan mencegah kejahatan dengan perkataannya, “hingga kamu menyaksikan orang 
jahat dipatuhi, hawa nafsu diikuti, dan dunia diutamakan.” “Orang jahat” adalah 
terjemahan dari kata “syuhh” yang berarti orang yang sangat jahat (fusûq) dan 
menyimpang, dan oleh sebab itu, menurut kategorisasi Alquran termasuk dalam 
kelompok “orang yang disesatkan”. 
   
  Orang semacam itu tidak percaya kepada Tuhan, dan tidak tunduk kepada hukum 
Tuhan, atau hukum Islam, yaitu syariat. Ketika orang jahat itu menjadi panutan, 
masyarakat benar-benar telah terjerumus ke dalam kehidupan yang menyimpang. 
Dalam kondisi semacam itu, nasihat apa pun tak akan dihiraukan. Jadi, perintah 
dalam hadis untuk “menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kejahatan” ada 
batasnya. Menurut Nabi saw., ayat Alquran tersebut menunjukkan apa yang harus 
dilakukan oleh orang beriman pada saat seperti masa kita sekarang. 
   
  Jagalah Dirimu!
   
  Hai orang-orang beriman, jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu akan 
memberi mudarat kepadamu jika kamu telah mendapat petunjuk. (Q 5:105)
 
Karena tidak mengerti dengan maksud ayat tersebut, seorang sahabat, Abû Umayyah 
al-Sya‘bânî, bertanya kepada Abû Tsa‘labah al-Khasynî, “Apa yang harus aku 
perbuat dengan ayat ini?” Lalu Abû Tsa‘labah mengunjungi Nabi saw. untuk 
meminta penjelasan tentang penafsiran ayat itu. Nabi saw. menjelaskan: Suruhlah 
orang kepada kebaikan dan larang mereka dari kejahatan, hingga engkau 
menyaksikan orang jahat dipatuhi, hawa nafsu diikuti, dan dunia diutamakan. 
(Ketika itu terjadi) setiap orang akan bangga dengan pendapatnya masing-masing 
dan tidak suka diperintah orang lain. Pada saat itu, engkau harus menjaga 
dirimu sendiri dan mengabaikan masyarakat banyak dan yang mengikuti mereka. 
   
  Karena sesungguhnya, pada hari-hari selanjutnya akan datang suatu masa yang 
menuntut keteguhan hati. Pada saat itu, siapa yang kokoh dalam kesabaran 
layaknya orang yang menggenggam bara api. Balasan mereka saat itu sebanding 
dengan balasan 50 orang yang melakukan hal serupa (saat ini).[1]
 
Ketika menafsirkan ayat di muka, Nabi memberikan nasihat penting untuk masa 
kita sekarang ini. Beliau mengingatkan kita untuk menjaga keselamatan diri 
sendiri. Inilah tanggung jawab yang telah ditetapkan Allah kepada kita. Ayat 
Alquran berikut juga menggemakan pesan yang sama: Hai orang-orang beriman, 
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah 
manusia dan batu. (Q 66:6)
 
Artinya, sebagai orang beriman, pertama-tama kita harus memikirkan nasib kita 
sendiri berkaitan dengan perbuatan kita, dan tidak perlu memikirkan perbuatan 
orang lain.  Perintah untuk memelihara diri sendiri tidak berarti bahwa kita 
tidak perlu memberi nasihat kepada orang lain. Jika tidak, maka itu akan 
bertolak belakang dengan makna yang sangat gamblang dari ungkapan, “suruhlah 
orang kepada kebaikan dan laranglah orang dari kejahatan,” yang diulang 
berkali-kali dalam Alquran. Meskipun demikian, ada beberapa faktor yang menjadi 
syarat pelaksanaannya. 
 
Menurut penjelasan Nabi, “Jagalah dirimu!” maksudnya janganlah terlibat dalam 
perselisihan tak bermanfaat, bercekcok, dan mengeluh. Ketika kamu “melihat 
orang jahat ditaati,” tidak akan ada yang berubah. Tidak akan ada orang yang 
mau mendengarkanmu, karena pada masa penuh kebingungan dan penyimpangan itu, 
hanya ada segelintir orang dalam masyarakat yang akan menerima ajakan berbuat 
baik dan larangan berbuat buruk. Orang-orang pada masa semacam itu tidak akan 
peduli dengan nasihat, dan mereka tak bisa lagi diperbaiki, seperti halnya umat 
Nabi Nûh.
 
Di samping itu, Nabi saw. juga memberi batasan terhadap upaya menyuruh kepada 
kebaikan dan melarang kejahatan dengan syarat lainnya, “hingga kamu menyaksikan 
dunia diutamakan.” Artinya, kita harus menyuruh kepada kebaikan dan melarang 
kejahatan hingga kehidupan dunia benar-benar sangat kuat pengaruhnya dan orang 
semakin mencintainya, membelakangi Tuhan, berpegang pada kehidupan dunia 
meskipun dunia akan runtuh dan binasa, dan lalai terhadap kehidupan akhirat. 
Kondisi semacam itu akan menghalangi kekuatan perintah terhadap kebaikan dan 
menciptakan dinding yang menghambat pelaksanaan perintah tersebut. Untuk 
memahami bagaimana batasan itu berlaku pada masa ini, cermatilah perbedaan 
antara masa ketika Alquran diwahyukan dan masa sekarang.
 
Pada masa Nabi, ‘Umar memberikan separuh harta miliknya kepada Nabi saw., dan 
Abû Bakr memberikan semua harta miliknya. Ketika Nabi saw. bertanya kepadanya 
tentang apa yang ia sisakan untuk keluarganya, Abû Bakr menjawab, “Allah dan 
Nabi-Nya.” Allah dan Nabi-Nya sudah cukup bagi para sahabat untuk mendorong 
kedermawanan mereka, karena mereka beribadah hanya untuk Allah semata.
 
Sikap Abû Bakr dan ‘Umar yang tidak terpedaya oleh kekayaan duniawi sangat 
bertolak belakang dengan sikap orang zaman sekarang ini yang berpegang 
erat-erat pada kekayaan mereka. Dewasa ini manusia sibuk mengejar kehidupan 
duniawi; membangun rumah yang lebih megah, menambah jumlah saldo tabungan, 
memiliki lebih banyak mobil mewah, dan sebagainya. Kini, manusia (terutama 
orang-orang kaya) tidak sudi mengeluarkan hartanya untuk disumbangkan, meskipun 
sedikit saja. Mereka bahkan lalai membayar zakat, kewajiban atas setiap muslim 
sebagai bentuk penyucian harta. Setiap orang mencintai dunia sedemikian besar 
hingga menjadikannya sebagai tujuan hidup. Sebenarnya, setiap saat dunia dapat 
musnah dan binasa.
 
Hadis di muka berlanjut dengan ungkapan, “dan hendaklah kalian mengabaikan 
masyarakat banyak dan yang mengikuti mereka.” Pada masa-masa penuh kekacauan, 
kita tidak perlu terlibat dalam kebingungan yang menjerat masyarakat. Jangan 
pedulikan berbagai organisasi, baik berlabel Islam atau bukan, yang berdebat 
dan mengkritik satu sama lain, dan hanya menciptakan persoalan baru. 
Orang-orang Islam datang ke negeri ini untuk mencari penghidupan dan 
perlindungan, bukan untuk mengacaukan masyarakat. Inilah satu-satunya jalan 
yang insya Allah bisa menyelamatkan diri kita dan orang-orang yang kita cintai.
 
Hadis tersebut juga menyebutkan, “Karena sesungguhnya, pada hari-hari 
selanjutnya akan datang suatu masa yang menuntut keteguhan hati.” Artinya, 
orang-orang kebanyakan harus memiliki kesabaran yang luar biasa. Di samping 
itu, tidak akan ada perubahan kecuali yang Allah kehendaki, seperti firman 
Allah dalam ayat berikut: Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu 
kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q 
13:11)
 
Para pemimpin Islam tidak dapat mengubah kondisi masyarakatnya karena mereka 
tidak mengabdi kepada Allah secara ikhlas. Sebaliknya, mereka justru bekerja 
untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka hanya menginginkan status pribadi dan 
kedudukan politik. Inilah kenyataan yang sedang kita hadapi saat ini di 
berbagai, jika bukan seluruh, komunitas Islam, bukan hanya di satu negara, tapi 
di seluruh dunia.
 
Meskipun demikian, hadis tersebut menawarkan kepada kita obat untuk 
menyembuhkan penyakit itu. Dikatakan, “mereka yang kokoh dalam kesabaran akan 
menjadi seperti orang yang menggenggam bara api.” Menggenggam bara api, yaitu 
berpegang teguh pada agama dan keimanan, merupakan pertanda kesehatan spiritual 
pada masa-masa seperti itu. Bara tersebut akan menghanguskan daging kita. 
Namun, ungkapan metaforis tentang hangusnya daging akibat kesabaran kita 
merupakan satu-satunya obat yang dapat menyembuhkan penyakit yang menjangkiti 
diri kita pada masa modern ini.
 
Kita mungkin masih bertanya-tanya bagaimana kita bisa sampai pada kondisi 
semacam itu. Bagaimanapun, belum terlalu lama berselang, ilmu tertinggi adalah 
pengetahuan tentang Allah, Nabi dan Kitab-Nya. Di negeri-negeri Islam, 
pendidikan terbaik adalah pendidikan tentang Islam, dan tentu kurikulum utama 
semua pendidikan adalah pengetahuan keislaman. Kondisi ini berlangsung hingga 
dua atau tiga abad yang lampau. Selama masa-masa itu, apakah orang-orang saat 
itu berbeda dengan orang-orang zaman sekarang? Apakah mereka tidak menjalani 
hidup, makan, dan minum seperti kita? Apakah mereka tidak hidup bahagia dan 
senang seperti kita sekarang? Mereka melakoni hidup hingga jangka waktu 
tertentu dan kemudian meninggal dunia seperti halnya manusia sekarang. 
   
  Semua orang akan merasakan kematian; tidak ada yang hidup kekal di dunia. 
Manusia zaman sekarang juga makan, minum, dan berkeluarga dan akhirnya 
meninggal dunia. Mungkinkah manusia menjadi ingkar kepada Tuhannya hanya karena 
kenyamanan kehidupan dunia modern; karena kran yang menyalurkan air ke dalam 
rumah, ketersediaan listrik dan pengatur udara? Lantas, apa sebenarnya yang 
berbeda antara abad ke-6 dan abad ke-21?
 
Nabi saw. menjelaskan, “setiap orang akan bangga dengan pendapatnya 
masing-masing.” Artinya, setiap orang senang dengan pendapatnya sendiri 
sehingga ia tidak mengakui bahwa pendapat orang lain mungkin juga berharga atau 
benar. Pada masa lalu, ketika seorang ulama memberikan pelajaran, tak akan ada 
seorang pun muridnya yang mengajukan protes atau mempertanyakan pelajaran yang 
diberikan. Mereka hanya akan mencatat dan mengingatnya. Mereka mungkin akan 
bertanya untuk minta penjelasan, tetapi berdebat dengan guru tidak 
diperkenankan. 
 
Bandingkan pendekatan tradisional itu dengan sistem pendidikan modern sekarang. 
Dalam setiap kelas atau pelajaran kita temukan pendapat yang berbeda sebanyak 
jumlah orang di dalam kelas. Ini berlaku bukan hanya dalam sebuah institusi 
pendidikan, namun pula pada institusi lain. Di berbagai forum, orang berkumpul 
untuk mengemukakan pendapat mereka dan terlibat dalam sebuah perdebatan, di 
mana masing-masing berkata kepada yang lain, “Anda keliru!” sambil menilai 
pendapatnya sebagai satu-satunya yang paling benar. 
   
  Orang saling berdebat, berargumen, dan akhirnya bertikai karena tak ada yang 
menyetujui sebuah pendapat yang kelihatannya akan menyingkirkan pendapatnya 
sendiri. Bahkan, seorang anak merasa bahwa dirinya lebih tahu ketimbang orang 
tuanya, dan tidak ada yang mau mengubah pendapatnya. Seorang suami tidak bisa 
menerima pendapat istrinya, dan begitu pula sebaliknya. Tak ada orang yang mau 
mendengar pendapat orang lain. Di mana-mana kita menemukan sikap keras kepala 
dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan sosial-politik.  
 
Perwujudan paling nyata dari prediksi Nabi bisa kita saksikan sehari-hari: talk 
show di televisi. Dua orang yang memiliki pendapat bertolak belakang tentang 
sebuah persoalan ditampilkan dalam sebuah perdebatan di mana para pemirsa 
diharapkan dapat sampai pada kesimpulan yang berimbang. Dengan menonjolkan 
perbedaan, bukan mencari titik persamaan, perdebatan argumentatif semakin 
meningkat, sedangkan solusi semakin menipis. 
   
  Belum lagi dengan banyaknya pandangan yang dilontarkan oleh para hadirin, 
yang semakin menjauhkan pemirsa dari kesimpulan atau kesadaran yang bermakna. 
Penyajian dua pendapat yang sangat bertolak belakang itu tidak memberi tempat 
sedikit pun bagi sebuah diskusi atau pendekatan yang masuk akal, sehingga para 
pemirsa semakin bingung dan putus asa. 
 
Cermati kembali perkataan Nabi bahwa orang “tidak suka diperintah orang lain.” 
Artinya, ketika seorang pemimpin memberi perintah, perintahnya tak akan 
diikuti. Orang justru akan menentangnya. Jika seseorang mengangkat seorang 
pemimpin atau amir, dan mengucapkan sumpah setia (baiat), tetapi kemudian tidak 
menaati perintahnya, mengapa mereka mengangkatnya sebagai pemimpin mereka? 
Mengapa mereka mengangkat seorang pemimpin dan kemudian menentangnya? Nabi saw. 
mengatakan kepada kita bahwa aturan dan perintah pemimpin akan ditolak sehingga 
masyarakat mengalami kekacauan.
   
  Tak ada lagi sikap hormat kepada pemimpin, tak ada lagi perlindungan terhadap 
hak seseorang, dan tak ada orang yang mengajukan keberatan terhadap kondisi 
tersebut. Jika seseorang merampas uang atau harta kita, kita tak bisa 
mengambilnya kembali. Jika seseorang menyerang kita, kita tak bisa melindungi 
diri. Pada saat itu, kita tak dapat mengubah keadaan yang menimpa orang-orang 
lemah dan miskin, yang papa dan tak berdaya. Tiada yang bisa dilakukan untuk 
membantu mereka, karena yang kuat menguasai yang lemah. Hukum rimba telah 
berlaku.
   
  Akhirnya, Nabi saw. berkata,  “Balasan bagi mereka yang mampu berpegang teguh 
pada kesabaran saat itu sebanding dengan balasan 50 orang yang mengikuti 
jalanku dan berbuat seperti yang aku perbuat.” Artinya, siapa pun yang dalam 
kondisi semacam itu dengan tetap menggenggam erat sunah Nabi, dan bersabar 
dalam memelihara diri dan keluarganya akan memperoleh balasan yang sebanding 
dengan ibadah 50 orang saleh; seperti salat, puasa, zakat, haji, berdoa, dan 
bekerja ikhlas karena Allah. Orang-orang Islam yang menjaga keluarga mereka 
agar tetap berada di jalan kesalehan dan tak terlibat dalam konflik sosial di 
sekeliling mereka akan memperoleh balasan seperti itu. 
   
  Kini, penafsiran Nabi terhadap ayat dari surah al-Mâ’idah itu semakin jelas 
bagi kita. Dengan sangat mengagumkan, beliau telah memprediksi situasi saat 
ini, ketika orang-orang dan ideologi yang menyimpang akan menjadi panutan. 
Beliau memprediksi bagaimana setiap orang akan sangat fanatik dengan 
pendapatnya, bagaimana aturan dan perintah pemimpin akan diabaikan, dan 
bagaimana kekacauan akan mengancam masyarakat. 
   
  Beliau memprediksi bahwa para pemimpin masyarakat Islam akan meninggalkan 
kewajiban berbuat baik, dan secara terang-terangan akan memerintahkan hal-hal 
yang dilarang Allah, atau setidaknya mencampuradukkan yang halal dan yang 
haram, sehingga semakin menambah kekacauan dalam kehidupan sosial. Jadi, ketika 
Nabi saw. bersabda bahwa akan datang suatu masa ketika orang-orang jahat 
menjadi panutan dan orang-orang akan mengikuti mereka dengan penuh semangat dan 
nafsu, kita menyaksikan bahwa sabdanya telah terbukti saat ini.
   
  Wa min Allah at tawfiq
   
  wasalam, arief hamdani 
www.mevlanasufi.blogspot.com
 

                
---------------------------------
How low will we go? Check out Yahoo! Messenger’s low  PC-to-Phone call rates.

[Non-text portions of this message have been removed]



=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke