Mohammad Nasih mengutip Fazlur Rahman:
1.ortodoksi Islam belum mempunyai kemampuan intelektual untuk melahirkan
konsep bahwa Alquran adalah firman Tuhan dan secara bersamaan merupakan
perkataan Nabi Muhammad (both the Word of God and the word of Muhammad)
2. juga mengutip Mohammed Arkoun, Rethinking Islam:
-----------------------------------------------
HMNA:
Silakan baca tantangannya Seri 623 utk Fazlur Rahman dan Seri 727, 728  utk
Muhammad Arkoun dan Seri 729 untuk yang keranjingan hermeneutika di bawah.

************************************************************************

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
623. Intelektual Muslim yang Keranjingan Hermeneutika

Istilah hermeneutika berkaitan dengan mitos dewa Yunani Kuno yang bernama
Hermes, yang memiliki kebiasaan "memintal". Mitos memintal ini mengungkap
dua hal dalam hermeneutika, yaitu: pertama, memastikan maksud, isi suatu
kata, kalimat, dan teks, kedua, menemukan instruksi-instruksi dibalik
simbol. Hermeneutika tidak terlepas dari asumsi-asumsi dan adanya
purbasangka (prejudice) spekulasi intelektual.

Ada asumsi spekulasi intelektual dari Fazlur Rahman, gurunya Nurcholis
Madjid, yaitu bahwa Al Quran adalah "both the Word of God and the word of
Muhammad". Asumsi ini bernuansa hermeneutika filosofis. Asumsi ini berpijak
pada paradigma (kerangka dasar) bahwa Al Quran bukanlah teks yang turun
dalam bentuk kata-kata aktual secara verbal, melainkan merupakan spirit
wahyu yang disaring melalui Nabi Muhammad SAW dan sekaligus diekspresikan
dalam tapal batas intelek dan kemampuan linguistiknya. Nabi Muhammad SAW
sebagai penerima wahyu diposisikan sebagai "pengarang" Al Quran. Fazlur
Rahman tidak faham perbedaan antara Al-Quran dengan Hadits Qudsyi. The Word
of God adalah Al-Quran dan both the Word of God and the word of Muhammad
adalah Hadits Qudsyi. Inilah latar belakang mengapa ada sementara kaum
intelektual Muslim yang "keranjingan" hermeneutika untuk mengkaji Al Quran,
dengan bertitik tolak dari sikap "meragukan" mushhaf (teks) Al Quran Rasm
(ejaan) 'Utsmaniy.

Dalam 24 jam, sekurang-kurangnya 17 kali ummat Islam bermohon kepada Allah:
-- AHDNA  ALSHRATH  ALMSTQYM (S. ALFTht, 1:5), dibaca: ihdinash shira-thal
mustaqi-m (s. alfa-tihah), artinya: Tunjukilah kami kepada Jalan yang Lurus.
Allah SWT menjawab permohonan hambaNya itu dengan:
-- A-L-M . DZLK  ALKTB  LA RYB  FYH  HDY  LLMTQYN (S. ALBQRt 2:1-2), dibaca:
alif, lam, mim . dza-likal kita-bu la- rayba fi-hi hudal lilmuttaqiyn (s.
albaqarah), artinya: Alif, lam, mim . Itulah Al Kitab tiada keraguan di
dalamnya petunjuk bagi para muttaqin.

Ayat (2:1) alif-lam-mim adalah kode matematis

                    Tabel Alif, Lam, Mim
  No.    Nama                           Jumlah huruf
Surah   Surah        Mim   Lam    Alif  Alif+Lam+Mim
    2   alBaqarah    2195  3204   4592      9991
    3   Ali 'Imraan  1251  1885   2578      5714
    7   alA'raaf       1165  1523   2572      5260
   13   alRa'd          260    479     625      1364
   29   al'Ankabuwt347    554     784       1685
   30   alRuwm       318    396     545      1259
   31   Luqmaan     177    298     348        823
   32   alSajadah     158   154     268        580
             Jumlah     5871 8493 12312    26676  = 1404 x 19

Dalam ayat (2:2) ada tanda tiga titik (seperti titik pada huruf 'tsa' dan
'syin') terletak diatas kata "RYB" dan "FYH". Tanda tiga titik diatas dua
kata tsb dalam ayat (2:2) menunjukkan mu'jizat lughawiyah, yaitu ayat (2:2)
dapat bermakna dua yg keduanya mempunyai keutamaan masing-masing. Ada dua
cara dalam membaca ayat (2:2) tersebut, yaitu dapat berhenti pada kata RYB,
dan dapat pula berhenti pada kata FYH. Kedua cara bacaan tersebut
menghasilkan penekanan dalam bobot yang berbeda, namun yang satu dengan yang
lain saling bersinergi, saling mengisi.

Mari kita baca ayat (2:2):

Cara yang pertama, berhenti pada kata RYB: Dza-likal kita-bu la- rayba,
berhenti sebentar kemudian dilanjutkan dengan fi-hi hudal lil muttaqi-n.
Kalau kita membaca serupa ini maka maknanya ialah: Itulah Al Kitab tiada
keraguan, pernyataan tegas dari Allah bahwa Al Kitab tiada keraguan
sumbernya dari Allah SWT, kemudian dilanjutkan dengan: di dalamnya
mengandung petunjuk bagi para muttaqin. Jadi cara membaca yang pertama ini
bobotnya pada penegasan dari Allah SWT bahwa tiada keraguan bahwa Al Kitab
bersumber dari Allah SWT.

Apa itu Al Kitab ? Dalam bahasa aslinya Kitab akarnya dari Kef-Ta-Ba artinya
tulis. Artinya Al Kitab itu adalah Teks. Jadi cara membaca yang pertama ini
adalah penegasan dari Allah SWT bahwa tiada keraguan Teks itu bersumber dari
Allah SWT. Tabulasi penjabaran ayat (2:1), yaitu alif-lam-mim sebagai al
muqaththa'aat (potongan-potongan huruf) persekutuan dari 8 surah menunjukkan
pula bahwa Teks itu bersumber dari Allah SWT, sebab mana mungkin Teks itu
dapat dikarang oleh manusia.

Alhasil paradigma bahwa Al Quran bukanlah teks yang turun dalam bentuk
kata-kata aktual secara verbal, melainkan merupakan spirit wahyu yang
disaring melalui Nabi Muhammad SAW yang diekspresikan dalam tapal batas
intelek dan kemampuan linguistik beliau, ditolak oleh ayat (2:1-2). Maka
tersungkurlah juga asumsi spekulasi intelektual dari Fazlur Rahman yang
bertumpu pada paradigma itu, yaitu asumsi bahwa Al Quran adalah "both the
Word of God and the word of Muhammad".

Al Quran, baik makna maupun teksnya adalah dari Allah SWT. Nabi Muhammad saw
hanyalah sekedar menyampaikan, dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu
yang diterimanya. Posisi Nabi Muhammad SAW dalam menerima dan menyampaikan
wahyu adalah pasif, hanya sebagai 'penyampai' apa-apa yang diwahyukan kepada
beliau.

***

Cara membaca ayat (2:2) yang kedua, berhenti pada kata FYH: Dza-likal
kita-bu la- rayba fi-hi, berhenti sebentar kemudian dilanjutkan dengan hudal
lil muttaqi-n. Cara membaca yang kedua ini bermakna: Itulah Al Kitab tiada
keraguan di dalamnya, menunjukkan bahwa tiada keraguan merupakan alat ukur
bagi orang-orang taqwa dalam potongan ayat yang selanjutnya: petunjuk bagi
para muttaqin. Jadi bobot cara pembacaan kedua ini ialah "tiada keraguan"
adalah "alat ukur" mengenai ketaqwaan kita. Kita dapat mengukur ketaqwaan
diri kita sendiri secara gradual haqqa tuqaatih (sebenar-benarnya taqwa)
seberapa jauh qalbu kita istiqamah (konsisten, taat asas), setiap kita
menghadapi suatu masalah, tidak terkecuali masalah "keranjingan"
hermeneutika untuk mengkaji Al Quran dalam kalangan kaum intelektual Muslim,
yang celakanya, bertitik tolak dari sikap "meragukan" mushhaf (teks) Al
Quran Rasm 'Utsmany. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 2 Mei 2004
   [H.Muh.Nur Abdurrahman]
========================================

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
727 Virus Hermeneutika yang Ditebarkan oleh Orientalis

Marilah kita timba dengan mengkopi bagian-bagian yang relevan saja dari
situs Answering Islam dan milis debat_islam-kristen yang mengkritisi
Al-Quran. Dengan menggunakan hermeneutika yaitu alat biblical criticism
sejak abad ke-19, para orientalis telah membuat berbagai teori baru mengenai
sejarah Al-Quran, seperti yang diformulasikan para Orientalis seperti Ignaz
Goldziher, (m. 1921), mantan mahasiwa al-Azhar, Mesir, Theodor Nildeke (m.
1930), Friedrich Schwally (m. 1919), Edward Sell (m. 1932), Gotthelf
Bergstresser (m.1933), Leone Caentani (m. 1935), Alphonse Mingana (m. 1937),
Otto Pretzl (m. 1941), Arthur Jeffery (m. 1959), John Wansbrough (m. 2002)
dan muridnya Prof Andrew Rippin, serta Christoph Luxenberg (nama samaran),
dan masih banyak lagi yang lain,

Inilah antara lain buku-buku yang menebarkan virus hasil hermeneutika itu.

A. Mingana and A. Smith (ed.), Leaves from Three Ancient Qurans, Possibly
Pre-'Othmanic with a List oftheir Variants, Cambridge, 1914;
G. Bergtrasser, "Plan eines Apparatus Criticus zum Koran", Sitrungsberichte
Bayer. Akad., Munchen, 1930;
O. Pretzl, "Die Fortfuhrung des Apparatus ('riticus zum Koran",
Sitzungsberichte Bayer. Akad., Miinchen, 1934;
A. Jeffery, The Qur'an as Scripture, R.F. Moore Company, Inc., New York,
1952. Christoph Luxenberg (ps.) Die syro-aramaeische Lesart des Koran ; Ein
Beitrag zur Entschlüsselung der Qur'?nsprache. Berlin, Germany : Das
Arabische Buch, First Edition, 2000.
Ternyata Jefferylah yang paling banyak menguras tenaga dalam menebarkan
virus hermeneutika tsb.

Mereka mengadopsi metodologi Bibel dengan alat (tool) hermeneutika ketika
mengkaji al-Quran. Pendeta Alphonse Mingana menulis bahwa sudah tiba masanya
untuk melakukan kritik teks terhadap al-Quran sebagaimana telah kita lakukan
terhadap Bibel Yahudi yang berbahasa Ibrani-Aramaik dan kitab suci Kristen
yang berbahasa Yunani."

Dengan menggunakan hermeneutika, Jeffery mengedit Al-Quran secara kritis,
sebagaimana dilakukan terhadap Bibel. Ia menyimpulkan sebenarnya terdapat
berbagai mushhaf tandingan terhadap mushhaf Uthmani. Arthur Jeffery
menyatakan Al-Quran tidak memuat Al-Fatihah, Al-Nass dan Al-'Alaq, karena
surah-surah tersebut tidak ada dalam mushhaf Abdullah ibn Mas'ud. Arthur
Jeffery juga menyatakan mushhaf Ubayy ibn Ka'b mengandung dua surah ekstra.
Inilah antara lain kata-kata nyeleneh Arthur Jeffery:
Sura I of the Koran bears on its face evidence that it was not originally
part of the text, but was a prayer composed to be placed at the head of the
assembled volume, to be recited before reading the book, a custom not
unfamiliar to us from other sacred books of the Near East [The Muslim World,
Volume 29 (1939), pp. 158-162. The Text of the Qur'an Answering Islam Home
Page]

Pada tahun 1977, John Wansbrough menerapkan hermeneutika literary, source
dan form criticism ke dalam studi Al-Quran. Wansbrough berpendapat
kanonisasi teks Al-Quran terbentuk pada akhir abad ke-2 Hijrah. Oleh sebab
itu, semua hadits yang menyatakan tentang himpunan Al-Quran harus dianggap
sebagai informasi yang tidak dapat dipercaya secara historis. Semua
informasi tersebut adalah fiktif yang punya maksud-maksud tertentu. Semua
informasi tersebut mungkin dibuat oleh para fuqaha' untuk menjelaskan
doktrin-doktrin syariah yang tidak ditemukan di dalam teks, atau mengikut
model periwayatan teks orisinal Pantekosta dan kanonisasi Kitab Suci Ibrani.
Semua informasi tersebut mengasumsikan sebelum wujudnya standar (canon) dan
karena itu, tidak bisa lebih dahulu dari abad ke-3 Hijriah. Menurut
Wansbrough, untuk menyimpulkan teks yang diterima dan selama ini diyakini
oleh kaum Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang belakangan yang direkayasa
oleh kaum Muslimin. Teks Al-Quran baru menjadi baku setelah tahun 800 M.

Pemikiran para Orientalis itu mempengaruhi para pengecer antara lain
Mohammed Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zayd. Melacak sejarah Al-Quran, Mohammed
Arkoun sangat menyayangkan jika sarjana Muslim tidak mau mengikuti jejak
kaum Yahudi-Kristen. Akibat menolak metode hermeneutika sebagai alat dalam
biblical criticism, maka dalam pandangan Arkoun, studi Al-Quran sangat
ketinggalan dibanding dengan studi Bibel. Ia berpendapat metodologi John
Wansbrough yang menerapkan hermeneutika, memang sesuai dengan apa yang
selama ini memang ingin ia kembangkan. Arkoun mengusulkan supaya
membudayakan pemikiran liberal (free thinking).

Seirama dengan Mohammed Arkoun, Nasr Hamid berpendapat teks Al-Quran
terbentuk dalam realitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Oleh sebab
itu, Al-Quran adalah 'produk budaya' (muntaj thaqafi). Disebabkan realitas
dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa manusia, maka Nasr Hamid juga
menganggap Al-Quran sebagai teks bahasa (nas lughawi). Realitas, budaya, dan
bahasa, merupakan fenomena historis dan mempunyai konteks spesifikasinya
sendiri. Oleh sebab itu, Al-Quran adalah teks historis. Dengan berpendapat
seperti itu, Nasr Hamid menegaskan bahwa teks-teks agama adalah teks-teks
bahasa yang bentuknya sama dengan teks-teks yang lain di dalam budaya. Nasr
Hamid menyalahkan penafsiran yang telah dilakukan oleh mayoritas mufassir
yang selalu menafsirkan Al-Quran dengan muatan metafisis Islam.

Di Indonesia virus hermeneutika menjangkiti para pengecer yang bergabung
dalam kelompok yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal (JIL). Pengecer
Luthfi Asysyaukani, dosen Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Paramadina,
Jakarta, dan Editor JIL, yang menjiplak tulisan para orientalis, menulis
antara lain:
"Al-Quran kemudian mengalami berbagai proses "copy-editing" oleh para
sahabat, tabi'in, ahli bacaan, qurra, otografi, mesin cetak, dan kekuasaan.
Kaum Muslim yang meyakini bahwa Al-Quran yang mereka lihat dan baca hari ini
adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus
tahun silam, adalah keyakinan yang sesungguhnya lebih merupakan formulasi
dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama
sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam."

Di Makassar ini virus itu menjangkit pula dalam diri pengecer Taufik Adnan
Amal, dosen di IAIN Alauddin Makassar (nama yang dahulu, sekarang
Universitas Islam Makassar), aktivis JIL, juga menjiplak pemikiran para
orientalis, antara lain menulis:
"Bagi rata-rata sarjana Muslim, "keistimewaan" Mushhaf 'Utsmani merupakan
misteri ilahi dan karakter kemukjizatan al-Quran. Tetapi, pandangan ini
lebih merupakan mitos."

Firman Allah:
-- ANA NhN NZLNA ALDzKR WANA LH LhFZHWN (S. ALhJR, 15:9), dibaca:
-- inna- nahnu nazalnadz dzikra wainna- lahu- laha-fizhu-n, artinya:
-- Sesungguhnya telah Kami turunkan Al Dzikr (Al Quran) dan sesungguhnya
Kami memeliharanya.

Dalam nomor berikutnya akan dipaparkan bagaimana caranya Allah memelihara
keaslian Al-Quran dan menunjukkan Arthur Jeffery memfitnah Abdullah ibn
Mas'ud dan Ubayy ibn Ka'b dan kesia-siaan upaya John Wansbrough. WaLlahu
a'lamu bisshawab.

*** Makassar 14 Mei 2006
   [H.Muh.Nur Abdurrahman]
===================================

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
728. Melawan Virus Hermeneutika dengan Ejaan

Hasil metode hermeneutika yang process oriented tersebut akan saya babat
dengan metode numerik yang output oriented.

Adapun cara Allah memelihara Al-Quran yaitu:

Pertama, Allah memberikan kemampuan bagi sejumlah ummat Islam yang dapat
menghafal Al-Quran. Lagi pula sejak zaman Nabi SAW hingga sekarang ini dan
insya-Allah hingga hari kiamat, setiap bulan Ramadhan di Masjid Al-Haram di
Makkah dalam shalat Tarwih ditammatkan Al Quran. Sehingga perubahan mustahil
akan bisa terjadi. Terjadi perubahan/kesalahan ucapan imam, maka langsung
akan dikoreksi oleh makmum.

Kedua, ialah secara numerik:
-- 'ALYHA TS'At 'ASyR (S. ALMDTSR, 74:30), dibaca:
-- 'alayha- tis'ata 'asyara, artinya
-- padanya 19.

Allah SWT memberikan kepada kita alat kontrol berupa sistem keterkaitan
matematis angka 19, disingkat dengan "sistem-kontrol angka 19". Yang
dikontrol adalah jumlah bilangan dalam Surah, ayat, bahkan huruf.

Dalam Seri ybl dijelaskan bahwa Arthur Jeffery menyatakan Al-Quran tidak
memuat Al-Fatihah, Al-Nass dan Al-'Alaq, karena surah-surah tersebut tidak
ada dalam mushhaf Abdullah ibn Mas'ud. Arthur Jeffery juga menyatakan
mushhaf Ubayy ibn Ka'b mengandung dua surah ekstra. Jumlah Surah dalam
Al-Quran yaitu output mushhaf 'Utsmani, 114 = 6 x 19. Kalau Al-Quran tidak
memuat Al-Fatihah, Al-Nass dan Al-'Alaq, maka jumlah Surah hanya 111 tidak
bisa dibagi 19. Alat kontrol sistem 19 menunjukkan jumlah Surah 114, yang
output mushhaf 'Utsmani adalah asli. Kalau Al-Quran mengandung dua Surah
ekstra, berarti jumlah Surah akan menjadi 116, ini juga tidak bisa dibagi
19. Alhasil Jefri mefitnah Ibn Mas'ud dan Ibn Ka'b. Arthur Jeffery samada
memungut mushhaf Ibn Mas'ud dan Ibn Ka'b yang palsu, atau Jeffery berdusta
mengada-ada memungut dari yang tidak ada. Karena bukankah semua mushhaf dan
tulisan sepenggal-sepenggal dari para sahabat telah dimusnahkan?

Selanjutnya marilah kita kaji ejaan yang dipakai dalam output yang kita
dapati sekarang berupa output mushhaf 'Utsmaniy, kata-kata seperti berikut:

[1]-- Dalam Surah Al-Fatihah, ayat 1, kata bismi dieja pakai pakai 3 huruf:
Ba-Sin-Mim
Dalam Surah Al-'Alaq, ayat 1, bismi dieja pakai 4 huruf: Ba-Alif-Sin-Mim

[2]-- Dalam Surah 2,3,7,10,13,29,30,31,32, kata shalat dipakai ejaan
Shad-Lam-Waw-Ta. Dalam Surah Al-Maa'uwn, ayat 5, kata shalat dipakai ejaan
Shad-Lam-Alif-Ta.

[3]-- Pada waktu Jibril datang kepada Nabi Muhammad SAW membawa ayat 69 dari
S. Al-A'raaf, Jibril menginstuksikan kepada Nabi Muhammad SAW agar menyuruh
tulis Bashthatan dengan huruf Shad walaupun sebenarnya barus dibaca dengan
bunyi sin, dan untuk itu harus dibubuhkan huruf Sin kecil di atas huruf
Shad. Kata yang sama artinya dituliskan dengan Sin pada Basthatan dalam
surah alBaqarah ayat 247, karena memang harus dibaca kata itu dengan bunyi
Sin.

Perbedaan ejaan untuk kata yang sama, merupakan hal yang rawan untuk diubah
menjadi sama ejaannya, namun tetap dibiarkan tetap berbeda dalam output
Mushhaf 'Utsmaniy menunjukkan bahwa tidak pernah terjadi perubahan dalam
Mushhaf 'Utsmaniy sepanjang waktu.

Apa rahasia dibalik perbedaan ejaan untuk kata sama tersebut? Itu dijawab
secara numerik:

[1]-- Bismi dieja pakai 3 huruf dalam S. Al-Fatihah ayat 1
(1)Ba, (2)Sin, (3)Mim, (4)Alif, (5)Lam, (6)Lam, (7)Ha, (8)Alif, (9)Lam,
(10)Ra, (11)ha, (12)Mim, (13)Nun, (14)Alif, (15)Lam, (16)Ra, (17)ha, (18)Ya,
(19)Mim, jumlahnya 19.
BSM sangat rawan untuk diubah menjadi BASM, karena memang Bismi itu
sesungguhnya terdiri atas bi + ismi (B + ASM). Huruf Alif dari sononya
sampai sekarang dan seterusnya dicopot dari BASM. Namun sungguhpun demikian
tidak ada tangan gatal yang mengubah menjadikan seragam ejaan Bismi (BSM)
menjadi 4 huruf (BASM). Kalau dipakai ejaan 4 huruf BASM, maka jumlahnya
menjadi 20 huruf. Sistem kontrol angka 19 menunjukkan keaslian dengan ejaan
3 huruf BSM dalam S. Al-Fatihah ayat 1.

Bismi dieja pakai 4 huruf Surah Al-'Alaq, ayat 1
Ayat-ayat yang mula-mula turun yaitu ayat 1 s/d 5 dari S. Al-'Alaq). Kelima
ayat tersebut termasuk sangat penting, sebab itu merupakan SK pengangkatan
Muhammad yang Basyar menjadi Nabi dan Rasul Allah. Perhatikan tabel di
bawah:

no. ayat           jumlah kata       jumlah huruf
   1                  5                18
   2                  4                14
   3                  3                14
   4                  3                13
   5                  4                17
              -----------------------------------
         jumlah  19     Jumlah 76 = 4 x 19

Kalau ada tangan gatal yang mengubah ejaan 4 huruf BASM dalam S. Al-Alaq
menjadi seragam 3 huruf BSM seperti dalam S. Al-Fatihah ayat 1, maka ayat 1
dalam S. Al-'Alaq hanya akan terdiri 17 huruf, sehingga jumlah huruf dalam
kelima ayat di atas, hanya akan terdiri 75 huruf tidak bisa dibagi 19.
Sistem kontrol angka 19 menunjukkan keaslian dengan ejaan 4 huruf BASM dalam
S. Al-Alaq 1. Dalam menghitung jumlah huruf itu haruslah pada Al-Quran
hadiah dari Raja Fahd yang memakai Rasm (Mushhaf) 'Utsmani, di mana insan
dituliskan 4 huruf: Alif, Nun, Sin, Nun, tidak seperti dalam Al Quran
cetakan Indonesia yang pakai 5 huruf: Alif, Nun, Sin, Alif, Nun.

[2]-- Perhatikan ketiga Surah yang di bawah
Jumlah huruf dalam sebuah Surah yang dinyatakan oleh Al-Muqaththa'aat
(potongan-potongan huruf) yang membuka Surah itu, adalah kelipatan 19

Surah al-A'raaf (7) dibuka dengan Alif, Lam,Mim,Shad
Alif   Lam   Mim   Shad  Alif+Lam+Mim+Shad
2572   1523  1165  98    5358 = 19 x 282
*******
Surah Yuwnus (10) dibuka dengan Alif, Lam,Ra
Alif   Lam    Ra   Alif+Lam+Ra
1319   913   257   2489 = 19x131
*******
Surah al-Ra'd (13) dibuka dengan Alif, Lam,Mim,Ra
Alif   Lam   Mim     Ra   Alif+Lam+Mim+Ra
625    479   260    137  1501 = 19 x 79
******
Kalau ada tangan gatal menyeragamkan ejaan kata shalat pakai Alif setelah
Lam, maka jumlah Alif akan lebih besar dari 2572+1319+625,  karena akan
kelebihan Alif, berhubung ejaan shalat dalam ke-3 Surah itu dituliskan Waw
sesudah Lam. Alat kontrol 19 menunjukkan keasliannya output ejaan Utsmani.

[3] -- Akhirnya kata yang sama ditulis berbeda; basthatan dan bashthatan.
Perhatikan ketiga Surah yang punya Al-Muqaththa'ah persekutuan huruf Shad di
bawah:

Nama Surah         Jumlah huruf Shad
  al-A'raaf            98
  Maryam             26
  Shad                  28
            Jumlah   152 = 8 x 19.

Kalau ada tangan gatal menyamakan ejaan kedua kata itu dengan pakai huruf
Sin pada huruf kedua, karena memang kedua kata itu pada huruf kedua berbunyi
Sin, maka jumlah huruf Shad dalam S. Al-A'raf akan menjadi 97, sehingga
jumlah huruf Shad dalam ketiga Surah tersebut, akan susut menjadi 151, yang
tidak bisa dibagi 19. Sistem komtrol angka 19 menunjukkan bahwa huruf-huruf
itu asli.

Khatimah:
Tidak ada tangan-tangan gatal mengubah ejaan Mushhaf 'Utsmani, sehingga para
orientalis yang telah membuat berbagai teori baru mengenai sejarah Al-Quran
dengan memakai hermeneutika, telah terbabat, karena sampai-sampai pada
hurufpun tidak ada tangan gatal yang mengubahnya. Sedangkan terkhusus hasil
pendekatan hermeneutika Arthur Jeffery yang menyimpulkan terdapat berbagai
mushhaf tandingan terhadap mushhaf Utsmani  dan pujaan Mohammed Arkoun yaitu
John Wansbrough yang menelurkan teori bahwa Teks Al-Quran baru menjadi baku
setelah tahun 800 M, itu semuanya telah saya babat. Mengapa? Karena
pendekatan numerik di atas itu menunjukkan bahwa tidak mungkin ada manusia
hingga tahun 800 M, bahkan sampai kiamatpun yang mampu menyusun redaksinal
teks yang terkait dengan sistem kelipatan 19 itu. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 21 Mei 2006
   [H.Muh.Nur Abdurrahman]
======================================

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
729. Apa itu Binatang yang Disebut Hermeneutika

Sebermula, Seri 729 ini direncanakan masih lanjutan jihad intelektual yang
saya emban (execute) melawan serangan-serangan para orientalis terhadap
Al-Quran, yaitu jihad lanjutan melawan serangan seorang orientalis yang lain
lagi yang bernama samaran Luxenberg. Namun karena banyaknya deringan telepon
yang saya terima yang menanyakan, yang salah seorang di antaranya memakai
ungkapan: Apa itu "binatang" yang disebut hermeneutika," maka jihad melawan
Luxenberg ini insya-Allah nanti dalam Seri 730 yang akan datang.

Hermeneutika lagi bertrend terutama buat yang berpaham liberal. Istilah
hermeneutika berkaitan dengan mitos dewa Hermes yang memiliki kebiasaan
"memintal" (spin), yang dalam realistasnya menurut Sayyid Hussain Nasr
adalah Nabi Idris AS, karena konon dewa Hermes dalam mitologi Yunani
tersebut menyampaikan pula warta para dewa kepada manusia, bahkan bukan
hanya sekadar menyampaikan, namun juga memberikan tambahan berupa ulasan.
Mitos ini mengungkap dua hal, pertama: memastikan maksud, isi suatu kata,
kalimat, teks,  kedua: menemukan instruksi-instruksi dibalik simbol.

Secara harfiah, kata ini pernah digunakan oleh Aristoteles (384-322) SM,
dalam karyanya: Peri Hermeneias, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin dengan De Interpretatione; dan baru kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dengan On the Interpretation. Sebelumnya, al-Fârabi
(870?-950) M, telah menterjemahkannya ke dalam bahasa Arab: Fi al-'Ibârah,
dan memberi komentar karya Aristoteles tersebut. Hermeneias yang dikemukakan
Aristoteles, hanya untuk membahas fungsi ungkapan dalam memahami pemikiran,
serta pembahasan tentang satuan-satuan bahasa, seperti kata benda, kata
kerja, kalimat, ungkapan, dan lain-lain yang berkaitan dengan tata-bahasa.
Ketika membicarakan hermeneias, Aristoteles tidak mempersoalkan teks,
ataupun mengkritik teks. Yang menjadi topik pembahasan Aristoteles adalah
interpretasi itu sendiri, tanpa mempersoalkan teks yang diinterpretasikan.

Binatang hermeneutika ini ibarat ulat bermetamorphosis menjadi kupu-kupu,
dimulai sejak para theolog Yahudi dan Kristen berusaha mengembangkan metode
dan aturan yang dapat memandu penafsiran dan mengevaluasi kembali teks-teks
dalam Bible yang sudah hilang teks aslinya yang dalam bahasa Hebrew Kuno
(Al-'Ibriyyah Al-Qadimah) untuk Perjanjian Lama dan bahasa Aram
(Al-'Ibriyyah Al-Jadidah) untuk Injil(*). Kemudian selama tahun-tahun
pertama abad ke sembilan belas, metode itu ibarat kupu-kupu malam(**)
terbang melebar menjadi hermeneutika umum oleh filosof dan theolog
Protestan, Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Perkembangan hermeneutika
sangat berkaitan dengan filologi, alegori yang juga sebagai sistem
penafsiran terhadap teks.

Demikianlah hermeneutika itu bermetamorphosis lebih lanjut dari konteks
theologi ke dalam konteks filsafat yang telah dibidani oleh Friedrich
Schleiermacher tersebut. Maka tatkala hermeneutika itu ibarat kupu-kupu
malam telah terbang melebar bermetamorphosis ke filsafat, menjamurlah
serba-neka aliran yang menciutkan posisi hermeneutikanya Schleiermacher
menjadi hanya sebagai salah satu aliran hermeneutika yang ada. Selain
hermeneutikanya Schleiermacher, ada hermeneutikanya Emilio Betti
(1890-1968), seorang sarjana hukum Romawi berbangsa Itali; ada
hermeneutikanya Eric D. Hirsch (1928- ?) seorang kritikus sastra berbangsa
Amerika; ada hermeneutikanya Hans-Georg Gadamer (1900- ?) seorang filosof
dan ahli bahasa, dan lain-lain aliran-aliran, dsb.

Arkian, perkembangan hermeneutika mencapai puncaknya yang ekstrem keliwat
batas, yaitu menerobos masuk wilayah epistemologis. yaitu penafsiran
terhadap teks yang dibangun berdasarkan teori epistema (dari bhs Yunani Kuno
episteme), yang menyangkut tentang parameter pengetahuan berupa:
-- asal-usul,
-- anggapan,
-- karakter,
-- cakupan,
-- kecermatan,
-- keabsahan.

Hermeneutika epistemologis yang ekstrem ini digunakan oleh pengecer Mohammad
Arkoun dalam Rethinking Islam, (Kayfa na'qilu l-Islama, Bagaimana kita
mengakali Islam). Saya dapat menimba dalam debat saya vs Ulil Absar Abdalla
di cyber space, yang panglimanya komunitas yang menamakan diri Islam
Liberal, bahwa komunitas ini memakai hermeneutika epistemologis, yaitu
menurut mereka ayat-ayat Makkiyah bermuatan nilai universal, namun ayat-ayat
Madaniyah diciutkan posisinya oleh parameter cakupan menjadi hanya bermuatan
local, dan inilah yang menjadi paradigma yang dipakai oleh meraka dalam
pendekatan kontekstual. Seperti contohnya khimar (telekung) panjang menutupi
dada, itu bermuatan lokal, hanya wajib untuk daerah Arab yang
berpadang-pasir dan berdebu, yang secara kontekstual tidak cocok bagi negeri
seperti Indonesia ini. Karena hermeneutika epistemologis cakupan muatan
lokal tersebut, mereka tidak lagi mengenal ayat-ayat Qath'i. Ayat tentang
wajibnya khimar panjang yang qath'i sudah menjadi relatif.

-- WLYDHRBN  BKHMRHN  'ALY  JYWBHN  (S. ALNWR, 24:31), dibaca:
-- walyadhribna bikhumurihinna 'ala- juyu-bihinna (s. annu-r).
WLYDHRBN - walyadhribna dalam ayat (24:31) terdapat Lam Al Amr (Lam yang
menyatakan perintah), maka kata tersebut berarti: Diperintahkan kepada
mereka menutupkan, sehingga ayat (24:31) terjemahannya adalah:
-- Diperintahkan kepada mereka menutupkan khumur mereka ke atas dada mereka.
(Khumur adalah bentuk jama' = plural dari khimar, artinya tutup kepala, yang
di Indonesia ini tutup kepala yang dipanjangkan menutup dada itu disebut
"jilbab", padahal dalam bahasa Al-Qur'an: jalabib, bentuk jama' dari jilbab
adalah baju longgar yang panjang sampai mata-kaki yang menutupi lekuk-lekuk
tubuh).

Hermeneutika epistemologis dengan parameter anggapan memperanakkan paradigma
tritunggal: sekularisme - liberalisme - pluralisme, yang di atas paradigma
ini, komunitas yang menamakan diri Islam Liberal ini mengadakan pendekatan
kontekstual bahkan mengkritisi ayat-ayat Al-Quran. Seperti disebutkan di
atas itu, tidak ada lagi ayat Qath'i, ayat-ayat itu dijadikannya relatif.
Jadi terjadi pergeseran nilai, yaitu ayat-ayat Al-Qur'an direlatifkan,
sedangkan paradigma berupa parameter epistemologis yang ukuran akal itu,
dijadikannya mutlak. Wahyu menjadi relatif, akal dimutlakkan. Penggunaan
hermeneutika terhadap Al-Quran sudah merusak aqidah, karena akal sudah
mengungguli wahyu. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 28 Mei 2006
   [H.Muh.Nur Abdurrahman]
-------------------
(*)
Injil = Perjanjian Baru minus Surat-surat Paulus
(**)
Kupu-kupu malam sayapnya senantiasa melebar, berbeda dengan kupu-kupu siang
yang kalau hinggap sayapnya menguncup.

==========================================


*********************************************************************



----- Original Message ----- 
From: "Ambon" <[EMAIL PROTECTED]>
To: "wanita-muslimah" <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Sent: Friday, October 13, 2006 03:44
Subject: [wanita-muslimah] Membebaskan dari Budaya Arab


SUARA MERDEKA
Jumat, 13 Oktober 2006

Membebaskan dari Budaya Arab
  a.. Oleh Mohammad Nasih
  b..
Tugas intelektual muslim adalah terus menggali universalitas ajaran Alquran
yang telah telanjur terkurung dalam nuansa kearaban yang sangat kental.
Tegasnya bisa dikatakan bahwa harus dibedakan antara pesan universal Alquran
( Islam) dan budaya lokal Arab, sebab antara keduanya tidaklah sama. Mungkin
bisa dikatakan bahwa hanyalah sebuah "kebetulan" sejarah, Islam dengan kitab
Alquran sebagai kitab pegangan, hadir dalam komunitas masyarakat Arab

ALQURAN bukanlah kitab atau buku yang difax oleh Tuhan dari langit. Ia tidak
hadir dalam keadaan terisolir, melainkan merupakan bagian dari suatu gerakan
sosial untuk me-nentang penindasan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat
yang kuat dan sombong (mustakbirin) atas kelompok masyarakat lain yang lebih
lemah (mustadl'afin) di Arab kala itu. Lalu Alquran mendorong kepada
kebebasan, kesetaraan, dan keadilan.

Dalam beberapa ayat disebutkan bahwa Alquran disampaikan secara verbal,
bukan sekadar makna atau ide-ide saja. Cara penerimaan ini sering
disalahpahami oleh Barat maupun sebagian muslim sendiri, sehingga melahirkan
konsep eksternalitas wahyu Nabi dari efek pemahaman bahwa Malaikat Jibril
adalah sebuah agen yang sama sekali eksternal, sehingga cara penyampaian
Alquran dalam alur pemikiran ini adalah semata-mata melalui telinga.

Menurut Rahman, ortodoksi Islam belum mempunyai kemampuan intelektual untuk
melahirkan konsep bahwa Alquran adalah firman Tuhan dan secara bersamaan
merupakan perkataan Nabi Muhammad (both the Word of God and the word of
Muhammad) (Fazlur Rahman, Islam).

Dari sini terlihat bahwa telah terjadi partnership antara Tuhan dan manusia
( nabiNya) dalam menulis sejarah (partnership of God and man in history).
Pandangan ini lahir karena Rahman menggunakan hermeneutika sebagai basis
intelektual dalam memahami Alquran. Konsepsi ini sesungguhnya sangat kokoh
karena beberapa ayat Alquran sendiri mendukungnya. "Ruh yang terpercaya
telah membawanya turun ke hatimu agar engkau menjadi salah seorang di antara
orang-orang yang memberi peringatan" (26: 194).

"Katakanlah: Barangsiapa memusuhi Jibril, maka sesungguhnya Jibril itu telah
menurunkan Alquran ke dalam hatimu dengan seizin Allah" (2: 97). Kedua ayat
ini menyatakan bahwa Alquran diturunkan ke dalam hati Nabi Muhammad. Dengan
demikian, tidak mungkin Alquran bersifat eksternal dari diri Nabi Muhammad
sendiri. Dengan kata lain, Fazlur Rahman hendak mengatakan bahwa Alquran
bukanlah teks yang turun dalam bentuk kata-kata aktual secara verbal,
melainkan merupakan spirit wahyu yang ditangkap oleh Nabi Muhammad Saw,
sekaligus diekspresikan dalam batas intelek dan kemampuan linguistiknya.

Nabi Muhammad Saw sebagai penerima wahyu diposisikan sebagai "pengarang"
Alquran. Dengan basis hermeneutika, kandungan Alquran dapat dipilah dari
partikularitas yang menjadi kerangkanya sehingga dapat ditangkap pesan
universalnya.

Menggapai Universalitas

Nilai-nilai ajaran di dalamnya sesungguhnya adalah nilai-nilai ajaran yang
bersifat universal. Tidak hanya terdapat dalam ayat-ayat yang bersifat
perintah, tetapi juga dalam ayat-ayat cerita atau kisah masa lalu.
Kisah-kisah tersebut tidak dimaksudkan untuk sekadar bercerita, melainkan
memberikan pelajaran moral bahwa di masa lalu Tuhan telah memberikan balasan
buruk kepada orang-orang yang berlaku jahat dan sebaliknya.

Namun karena ia diturunkan kepada seorang Nabi yang tinggal di Arab, maka
ajaran-ajaran Alquran mau tidak mau harus menyesuaikan dengan kondisi sosial
masyarakat Arab.

Solusi yang ditawarkan oleh Alquran sebagian adalah solusi yang secara
praktis hanya cocok untuk masyarakat Arab. Dalam konteks inilah
universalitas pesan Alquran terperangkap dalam budaya lokal Arab.
Keterperangkapan macam inilah, yang menurut Derrida, membuat tak ada teks
yang dapat ditotalisasikan tanpa melibatkan signifikasi: selalu ada sesuatu
yang terabaikan, sebuah aspek atau dimensi teks yang tereduksi, terlewatkan,
terberangus, atau terdiamkan (Peter Beilharz, Social Theory: A Guide to
Central Thinkers, hal. 78).

Karena itu tugas intelektual muslim adalah terus menggali universalitas
ajaran Alquran yang telah telanjur terkurung dalam nuansa kearaban yang
sangat kental. Tegasnya bisa dikatakan bahwa harus dibedakan antara pesan
universal Alquran ( Islam) dan budaya lokal Arab, sebab antara keduanya
tidaklah sama. Mungkin bisa dikatakan bahwa hanyalah sebuah "kebetulan"
sejarah, Islam dengan kitab Alquran sebagai kitab pegangan, hadir dalam
komunitas masyarakat Arab.

Banyak hal yang menjadi bukti telah terjadi proses Arabisasi dalam Alquran.
Tidak hanya konteks yang telah membuatnya telah menjadi bernuansa Arab.
Bahkan nama-nama nabi yang berasal dari luar Arab dan telah tertera dalam
kitab-kitab suci agama-agama sebelumnya juga mengalami Arabisasi.

Nama-nama para nabi dalam Perjanjian Lama mengalami Arabisasi terutama
melalui bahasa Suriah, misalnya Nuh dari Noah, dan Yunani, misalnya Ilyas
dari Elias, Yunus dari Jonah, bukan langsung dari bahasa Ibrani. (Philip K.
Hitti, History of the Arab, hal. 157).

Dekonstruksi

Philip K. Hitti melihat bahwa Alquran menjadi kitab yang sangat penting
karena ia menjadi pilar Islam dan memiliki otoritas tertinggi dalam
persoalan spiritual dan etika (hal. 159). Namun tentu saja Alquran tidak
bisa menjadi pilar yang sempurna apabila ia dipandang sebagai buku yang
taken for granted. Karena itu diperlukan dekonstruksi terhadap teks-teks
Alquran. Dekonstruksi, menurut Derrida, dapat mendorong kepada keterbukaan
interpretasi dan responsif kepada yang lain (Peter Beilharz, Social Theory:
A Guide to Central Thinkers, hal. 78). Interpretasi baru inilah yang akan
membuat ktiab suci itu terus dapat memberikan konstribusi bagi pemecahan
problem kemanusiaan kontemporer.

Dalam melakukan dekonstruksi untuk menemukan spirit baru al-Qurían di era
kemodernan sekarang ini, Arkoun menganggap penting untuk memahami secara
sosiologis-histories dengan cara melibatkan aspek ruang dan waktu untuk
dapat memahami Alquran agar mendapatkan pemahaman yang tepat.

Yang dimaksud ruang dan waktu di sini adalah muatan lokal partikular, yakni
lokalitas Arab berikut budayanya pada masa Alquran hadir. Karena itu untuk
memahaminya dalam konteks ruang dan waktu yang telah berubah, umat muslim
perlu keberanian untuk mendekonstruksi struktur pemahaman yang telah mapan
yang terbangun oleh kultur masyarakat sebelumnya dalam bentuk
doktrin-doktrin yang telah kokoh sedemikian rupa. Jika analisis
historis-sosiologis terhadap Alquran tidak dilakukan, maka Alquran akan
kehilangan atau terputus dari konteks dan relevansi historisnya, sehingga
Islam akan tampil sebagai paket yang telah final dan tidak fleksibel dengan
perubahan zaman. (Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions,
Uncommon Answer, Oxford: Westview Press, 1994).

Dekonstruksi dapat dicapai dengan menggunakan metode hermeneutika. Sayang,
metode ini dicurigai oleh sebagian besar kalangan intelektual muslim sebagai
metode yang sangat berpotensi mendistorsi ajaran Alquran hanya karena metode
ini dipopulerkan oleh pemikir-pemikir sosial kritis dari Barat.

Seharusnya kecurigaan berlebihan ini dieliminir karena sebenarnya tradisi
intelektual Islam pun sudah memiliki perangkat yang secara substansi adalah
sama, hanya saja disebut dengan nama yang berbeda. Dalam tradisi intelektual
Islam klasik sudah dikenal asbab al-nuzul untuk mengetahui latar belakang
sebuah ayat hadir, dan asbab al-wurud untuk mengetahu latar belakang sebuah
hadis diucapkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad.

Umat Islam perlu mengembangkan sikap terbuka kepada perangkat-perangkat baru
untuk membuat teks-teks sumber keagamaan Islam menjadi lebih kontributif
dalam zaman yang sudah mengalami banyak perubahan dan semakin rumit
ini.(11).

--- Mohammad Nasih MSi, presidium Masika Nasional ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim Se-Indonesia), mhs Program Doktor Ilmu Politik UI

__________________________________________________
Apakah Anda Yahoo!?
Lelah menerima spam?  Surat Yahoo! memiliki perlindungan terbaik terhadap spam  
http://id.mail.yahoo.com 



=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke