Surat Mawar Merah Café Bandar:
HALIM HD MASIH SEORANG PEMIMPI SETIA 9. Berikut adalah lanjutan dari artikel Halim HD tentang kebudayaan Mandar. Mandar dalam Strategi Budaya hingga Terorisme Ekologi (8) PENGEMBANGAN SANGGAR KESENIAN Oleh: Halim HD. Pekerja Budaya Jika kita membicarakan soal perkembangan kesenian, maka salah satu hal yang perlu kita perhatikan adalah sejauh manakah pertumbuhan, perkembangan, dinamika sanggar-sanggar atau grup kesenian yang ada di daerah yang bersangkutan, disamping sudah tentu keluarga-keluarga pengemban khasanah tradisi yang menjadi kekuatan dan dasar dari kehidupan kesenian yang ada. Dalam tulisan ini saya ingin menekankan kepada sanggar/grup yang ada yang secara kebetulan saya pernah menyaksikannya di Polman secara intensif maupun selintas. Grup teater dan musik-puisi Flamboyant yang berbasis di Tinambung yang saya kenal selama belasan tahun bisa dimasukan ke dalam agenda pilot proyek model pengembangan suatu sanggar kesenian di Polman. Hal itu didasarkan kepada daya hidupnya yang sampai kini bertahan, walaupun sudah melintasi dua puluhan tahun. Kita memang perlu juga menilai secara kritis, bahwa Flamboyant sebagai sebuah grup dan bahkan hampir identik dengan kehidupan komunitas kesenian itu juga pernah mengalami pasang surut dan bahkan mungkin pernah pula mengalami jeda waktu yang panjang akibat berbagai masalah internal yang dihadapinya. Di antara berbagai soal internal yang dihadapinya, saya masih menangkap spirit dan usaha para aktivis maupun alumni Flamboyant untuk terus berusaha. Yang kita tunggu dan harapkan dari Flamboyant semoga dengan silaturahmi yang secara intensif yang akan mereka lakukan pada setiap bulan dalam kaitannya dengan penggalian dan pelacakan khasanah tradisi itu mereka bisa kembali menghimpun enerji dan spirit yang pernah mereka dapat pada tahun 1990-an dan awal 2000-an. Dalam kaitan dengan hal itu, maka Flamboyant sebagai sebuah grup model perlu merumuskan dan menegaskan diri ke dalam agenda kerja yang secara praktis dijalankan secara kontinyu dan dibarengi dengan re-generasi. Jika saya membicarakan perlunya suatu model, agar grup yang bersangkutan bisa lebih menancapkan diri ke dalam kontinyuitas kerja dan kegiatan, dan juga bisa menjadi bahan perbandingan, komparasi bagi grup-grup lainnya. Sebab bukan tidak mungkin di wilayah Polman memiliki berbagai sanggar, namun tidak pernah berkembang apalagi bertahan selama belasan tahun. Jadi, jika suatu grup pernah melintasi waktu sampai dua puluhan tahun, kita perlu melakukan pelacakan, faktor-faktor apakah yang melatarbelakangi grup itu sehingga bisa bertahan sekian lama, betapapun pernah mengalami situasi-kondisi yang ringkih dan kurang kondusif. Dan kaitannya sebagai model itu, kita tidak cukup hanya membiarkan Flamboyant berjalan sendirian. Grup itu membutuhkan dukungan berbagai pihak agar bisa mengembangkan dan menancapkan dirinya dilingkungannya, dan sebagai jembatan citra: seperti kita ketahui grup itu telah menjadi semacam duta kesenian dari wilayah Mandar melalui berbagai event tingkat nasional yang dihadirinya selama satu dekade terakhir ini. Secara praktis di sini saya ingin menekankan bahwa untuk mengembangkan grup yang telah tahan uji itu ke dalam bentuk sebuah grup model diperlukan dukungan untuk pengembangan berikutnya misalnya melalui berbagai lokakarya dalam bidang teknis dan manajerial (dari manajemen panggung, manajemen grup, sampai dengan manajemen jaringan yang lebih luas), dan sudah tentu sangat diperlukan lokakarya komposisi musik serta berbagai konsep perkembangan teknis musikal yang ada. Sebab, perkembangan dunia musik demikian pesatnya, dan di situ pula suatu tantangan bagi suatu daerah agar bagaimana khasanah tradisi lokal bisa menjadi inspirasi dalam penyusunan suatu lagu atau komposisi, sebagaimana juga dilakukan oleh berbagai grup di Solo, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Padang, Medan dan kota-kota lainnya yang demikian giat, intensif mencari berbagai bentuk ekspresi melalui khasanah tradisi, misalnya Kua Etnika, Sonoseni Ensembel, Golden Water untuk menyebut beberapa contoh yang saya kenal dengan baik. Soal yang kita hadapi adalah, bagaimana komparasi itu bisa dipertemukan dalam suatu lokakarya sehingga suatu konsep yang mungkin mengalami stagnan bisa dibantu melalui pengalaman grup dan hadirnya musisi-komposer daerah lain. Lokakarya semacam ini sangat diperlukan dalam kaitannya dengan perkembangan dunia musik yang ada di nusantara dan sekaligus sebagai proses pembentukan grup model yang kita harapkan. Seperti yang kita ketahui Flamboyant juga adalah sebuah grup teater, dan untuk itu diperlukan kembali menggali kapasitas dirinya dalam bidang keaktoran (acting), penyutradaraan (directing), penataan panggung dan lampu (stage & lighting design), penataan kostum (dressing design), pengolahan tubuh, vokal, pernafasan dsbnya. Dan lokakarya teater juga bisa dikaitkan dengan lokakarya tari. Sebab, ada banyak titik temu misalnya dalam pengolahan tubuh, pernafasan, tata kostum, make up, tata panggung, tata lampu. Perlu juga ditekankan pada khususnya sanggar tari seperti Sanggar Beru-Beru di Polman untuk secara intensif melakukan lokakarya dalam semua bidang. Kita tahu bahwa Sanggar Beru-Beru nampak banyak melakukan karya garapan yang berangkat dari tradisi, dan untuk itu sanggar ini membutuhkan penggalian, pelacakan tradisi dengan pola komparatif: mengundang koreografer atau ahli tari tradisi yang telah berpengalaman yang bisa memberikan berbagai khasanah dalam pengembangan bidang koreografi. Dari pengalaman saya menyaksikan Sanggar Beru-Beru yang terasa sekali memiliki basis social-ekonomi yang baik, namun ketika tampil di rujab Bupati Polman pada tanggal 10 Agustus 2006, pembukaan sarasehan kebudayaan, terdapat kelemahan pada aspek koreografi, yang terasa masih sangat sederhana. Menurut saya, Sanggar Beru-Beru yang saya dengar memiliki kaitan kuat dengan lingkungan birokrasi dan selalu diundang dalam berbagai acara resmi sudah semestinya melakukan peningkatan kualitas artistik-estetikanya yang berangkat dari khasanah tradisi maupun pengembangan berdasarkan komparasi melalui lokakarya. Sebab, jika sebuah sanggar yang memiliki basis sosial-ekonomi yang sudah lumayan, dan tidak lagi harus memikirkan nafkah, konsekuensi logisnya dirinya harus lebih bisa, mampu secara kontinyu melakukan pengembangan diri. Selama ini saya banyak menyaksikan grup yang hanya berkegiatan "dalam rangka": jika ada upacara lalu latihan, tidak menyiapkan diri secara matang; tidak memiliki rencana kerja kesenian yang kontinyu. Sementara itu secara visual penonton telah diajarkan oleh berbagai jenis-bentuk tontonan yang dihantarkan oleh media teve yang makin canggih; dan sementara itu perkembangan grup-grup tari di daerah lain sudah demikian pesatnya. Untuk itu, kita berharap pemda Polman (dan juga pemda lainnya di Sulbar) c/q Kantor Kebudayaan & Pariwisata hendaknya tidak membiarkan sebuah sanggar hanya bermain dan tampil pada proyek "dalam rangka". Kita membutuhkan suatu cara kerja yang sistematik dalam proses penggalian dan pemahaman yang lebih mendalam dan luas agar perkembangan kesenian di daerah yang bersangkutan melalui sanggar berkembang dan mampu mengangkat citra, seperti yang selama ini dikerjakan oleh Flamboyant yang membutuhkan rekan kerja dalam pembentukan dan pengembangan citra wilayah Sulbar. Hal semacam itu bukanlah suatu kemustahilan! Yang kita tunggu adalah langkah politic & cultural will dari kalangan eksekutif dan legislative. Mandar dalam Strategi Budaya hingga Terorisme Ekologi (9) TRADISI MANDAR & FESTIVAL SULAWESI: Usulan Kepada Pemda Polman Oleh: Halim HD. Pekerja Budaya Jika ada halangan, seperti informasi yang pernah saya dengar, Departemen Senibudaya & Pariwisata pusat akan menggelar sebuah program khusus di Makassar pada pertengahan September 2006 dalam kaitannya dengan pengembangan khasanah kesenian di Sulawesi dan informasi dunia kepariwisataan. Anggap saja rencana kerja itu akan berjalan, dan dalam kaitannya dengan hal itu saya ingin menyampaikan gagasan dan usulan kepada pemda Polman c/q. Kantor Kebudayaan & Pariwisata Polman. Tapi, sebelum saya menguraikan lontaran gagasan dan usulan ini, saya ingin menegaskan satu hal bahwa betapa perlunya pemda Polman menyusun dan merumuskan suatu strategi pengembangan khasanah tradisi sebagai pelatuk strategis dalam penciptaan citra dalam kaitannya dengan hadirnya propinsi Sulbar sebagai suatu propinsi baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, selama ini banyak sekali dinas kebudayaan-pariwisata tidak atau kurang memiliki rumusan kerja yang menyangkut kepentingan pembentukan citra, cultural image, dan selalu masuk ke dalam bentuk kerja yang pragmatisme. hal itu bukan hanya dikarenakan dinas tersebut tidak memiliki data dan informasi yang akurat tapi lebih dari itu disebabkan oleh cara kerja yang serampangan, asal jadi. Akibatnya bentuk-jenis kesenian yang dibawa juga tanpa persiapan yang baik, dan ironisnya selalu saja yang itu-itu juga yang ditampilkan dalam berbagai event. Saya menganggap bahwa Kantor Kebudayaan & Pariwisata Polman mempunyai potensi keterbukaan kepada gagasan dan berkeinginan melakukan kerjasama dengan stake holder kebudayaan, dan dari situ pula kita harapkan mendapatkan masukan yang baik, sehingga arah dan orientasi dalam pengembangan dan pembentukan citra, cultural image, bisa lebih terasa dan ada gaungnya. Hal ini tentu berkaitan bukan hanya sekedar rumusan dan penyusunan konsep di atas kertas belaka. Sangat penting pihak pengelola mengetahui dengan pasti dan akurat suatu ruang sosial, ruang peristiwa yang akan kita masuki itu agar kehadiran dan penyajian khasanah tradisi atau bentuk-jenis kesenian apapun yang akan dibawa bisa hadir secara maksimal. Saya ingin belajar dari pengalaman visual saya ketika menyaksikan acara di rujab bupati Polman pada tanggal 10 Agustus 2006, pembukaan sarasehan kebudayaan. Pada malam itu tampil secara mengejutkan para mpu pengemban khasanah tradisi, yang menurut pengalaman saya yang selama ini hanya mengenal beberapa jenis khasanah tradisi kembali bisa menyaksikannya. Saya merasa bersyukur, dan saya lontarkan kritik saya kepada beberapa rekan seniman muda yang kini masih kuliah di Makassar yang menangani acara itu. saya bisa menyadari keinginan para seniman muda yang berusaha untuk membuat suatu "eksperimentasi kolaboratif" yang menggabungkan bentuk-jenis khasanah tradisi seperti silat Mandar, kacapi, calong, parawana dan grup Flamboyant serta sanggar Beru-Beru yang menyajikan tari garapan yang berangkat dari khasanah etnis namun kurang maksimal, tiada greget dan hanya sekedar berlenggak-lenggok kehadapan hadirin. Ketika saya melontarkan kritik kepada salah seorang seniman muda asal Tinambung, Sahabuddin, yang menjadi penanggungjawab acara "eksperimentasi" itu dalam pertemuan di Hotel Ratih, setelah dia meminta komentar, bagi saya apa yang disajikan itu terasa dipaksakan. Dalih yang disampaikan oleh Sahabuddin bahwa tiada waktu yang cukup panjang untuk mengolah berbagai bentuk-jenis tradisi yang akan disajikan. Saya kembali mempertanyakan, kenapa pula jika tiada waktu yang cukup lalu melakukan garapan menjadi bentuk yang tidak dikuasainya? Argumentasi Sahabuddin bagi saya mirip seperti yang selalu saya temui: lip service. Belajar dari hal itulah maka saya ingin melontarkan usulan dan gagasan, bahwa sebaiknya jika membawa dan menyajikan khasanah tradisi dimanapun juga, dan hal ini perlu dilakukan oleh siapapun juga, adalah bahwa kita membutuhkan benar pemahaman kepada ruang sosial, ruang peristiwa yang ingin dijadikan ajang bagi kita dalam sajian khasanah tradisi itu. Kehendak melakukan "eksperimentasi kolaboratif" bukan suatu hal yang jelek. Tapi, jika tidak memahami makna khasanah tradisi secara mendalam, dan ditambah kesadaran kepada ruang sosial ruang peristiwanya, maka yang akan terjadi suatu bentuk "medley" yang mentah, dan bisa menjadikan khasanah tradisi itu berada pada posisi disfungsional. Secara psikologis, seperti yang disampaikan oleh pak Tombo, mpu Calong dan Keke dari desa Oting, Balanipa, dalam suatu obrolan dirumahnya, dia merasa kurang afdol, tidak ada greget dan merasa tidak memiliki rekan untuk berekspresi. Hal itu karena tak memiliki pasangan yang cocok ketika dirinya berada di atas panggung. Hal yang sama juga disampaikan oleh pak Madang, mpu silat Mandar dari desa Renggeyang, yang merasa kurang ekspresif akibat "direktur artistik" hanya sekedar mengundang orang tanpa memberikan suatu pemahaman ruang dan makna pasangan untuk tampil dihadapan penonton. Untuk hal itu saya ingin menyampaikan usulan sebagaimana saya sampaikan pada bagian depan tulisan ini, bahwa sebaiknya pemda Polman c/q. Kantor Kebudayaan dan Pariwisata bisa memilih khasanah tradisi Mandar, termasuk di antaranya yang ada di wilayah Mamasa. Dan pilihan itu, sudah tentu bukan sekedar khasanah itu tampil ala kadarnya saja. Perlu suatu persiapan yang bagus, dan juga menyiapkan ruang yang pas bagi penyajian khasanah itu. Dalam hal ini sangat diperlukan seseorang yang bukan hanya paham khasanah itu secara baik, tapi juga orang tersebut memahami tata ruang sosial yang akan dipindah-alihkan ke dalam tata panggung yang pas pula, ketika tampil dalam suatu event. Sebab, menurut pengalaman yang pernah saya saksikan di berbagai daerah, begitu banyak pemda dari berbagai daerah ketika menyajikan khasanah tradisi yang dibawanya bersifat asal memanggungkan saja, tanpa memperhitungkan kebutuhan para penyaji. Sesungguhnya, jika saja kita mau berusaha sederhana namun cermat, khasanah tradisi itu tidak membutuhkan hal-hal yang tetek-bengek. Cukup dengan tata ruang yang sederhana namun pas, maka khasanah itu akan bisa menyatakan dirinya dengan baik. Dana penyajian yang baik, menarik, akan banyak dikenang dan menjadi bahan pembicaraan, opini yang positif, dan bukan tidak mungkin akan dipilih, suatu ketika oleh berbagai pihak dalam kaitannya dengan event berikutnya. Saya berharap pemda Polman bisa melakukan suatu pilihan yang cermat, dan bukan asal memilih yang cantik dan glamour, mewah, namun tanpa ekspresi yang genuine, yang berasal dari dalam dirinya. Secara singkat saya ingin mengusulkan kepada pemda Polman agar dalam event di Makassar yang akan digelar pada pertengahan September 2006 itu hendaknya tidak ragu-ragu memilih khasanah tradisi seperti Maka Cammana, pak Tombo, pak Musa, Abana Fatima, mak Maryamah bersaudara, sebagai usaha kembali kita memberikan rasa hormat yang mendalam kepada tradisi kita. Saya pikir, usulan ini semoga jadi bahan pertimbangan, dan syukur alhamdulillah jika bisa diwujudkan. Sebab, siapa lagi yang mau dan bisa mendukung dan menghadirkan tradisi kita sendiri, jika bukan diri kita. Semoga semuanya ter/di-wujud-kan. Insya Allah! Paris, Oktober 2006. --------------------------- JJ. Kusni [Bersambung......] [Non-text portions of this message have been removed] ======================= Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/