Perempuan Perkasa Bikin Suami tak Kuasa

PENELITIAN yang dilakukan Ulrich, seorang bangsa Amerika, tahun 1988,
mengungkapkan kebanyakan pria yang istrinya bekerja dan mempunyai
penghasilan lebih besar, mengaku merasa tertekan. "Ya, punya istri cantik
dan pintar cari uang rupanya tidak selalu membuat para suami bahagia," kata
Dra. Dewi Kumaladewi, M.Psi., psikolog yang juga pemerhati masalah-masalah
perempuan.

Di Indonesia sendiri, penelitian serius tentang hal tersebut belum
dilakukan. Akan tetapi, menurut Kepala Pusat Penelitian Peranan Wanita
Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Ir. Siti Homzah,
M.S., ada indikasi bahwa salah satu penyebab timbulnya kekerasan dalam rumah
tangga yang dilakukan pria terhadap istrinya disebabkan keunggulan para
perempuan itu sendiri.

"Memang belum ada penelitian khusus. Namun, dari data LSM-LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat) yang biasa menangani kasus-kasus KDRT, ditemukan salah
satu penyebab kekerasan terhadap para perempuan memang karena faktor itu
(istri memiliki kedudukan dan penghasilan lebih tinggi dari suami)," papar
Homzah.

Kasus menggemparkan terjadi beberapa saat lalu, saat seorang suami menembak
istri hingga tewas. Kejadian tersebut diduga dilakukan suami yang tertekan
karena pangkat istri yang jauh lebih tinggi.

Menurut Dewi Kumaladewi, kendati hasil akhir tentang penyebab kekerasan itu
belum jelas, tetapi jika memang kejadian tersebut terpicu akibat posisi
perempuan dalam ruang publik yang jauh lebih unggul dari suaminya, kejadian
ini sungguh ironis. Apalagi mengingat awalnya perempuan bekerja umumnya
karena niat membantu keuangan keluarga dengan tujuan membangun rumah tangga
bahagia.

"Kasus superwoman bahkan cenderung menjadi tren. Di kalangan artis misalnya,
banyak sekali terjadi, tetapi jarang sampai dibahas. Walaupun bukan bentuk
jenjang karier dalam sebuah institusi, banyak penghasilan artis jauh lebih
tinggi dibanding para suaminya yang mungkin juga punya kedudukan tinggi
dalam pekerjaannya," ungkap Dewi.

**

SECARA terang-terangan, tentu saja para suami ini tak mau mengakui tentang
ketakberdayaan mereka dihadapan para istri perkasa ini. Akumulasi rasa
rendah diri ini anehnya justru sering diwujudkan dengan bentuk kemarahan
yang tidak jelas. Sebut saja, Destini yang merasa serba salah menghadapi
suaminya. Sebagai seorang general manager pada sebuah perusahaan asing,
penghasilannya jauh lebih besar daripada suaminya yang pegawai negeri sipil.

"Sedihnya sudah capek bekerja di kantor, di rumah masih sering disindir
suami. Hobiku dari dulu kan menata rumah, kalau aku minta bantuan anak-anak,
suamiku bilang, 'Ayo anak-anak ada perintah dari ibu manajer'. Aku rasa
ucapan suamiku tidak sedang bercanda, sebab diucapkannya dengan nada sinis.
Padahal hobi menata rumah sudah aku lakukan dari dulu, saat aku belum
menjadi manajer," katanya.

Lebih parah lagi, kekerasan terjadi tidak saja secara psikis, juga dalam
bentuk fisik. Untuk sebuah kesalahan kecil, misalnya terlambat menyuguhkan
kopi, Fatmi sering mendapat tamparan telak dari suaminya yang tidak bekerja.

"Lama-lama saya tidak tahan. Saya minta cerai saja," kata Fatmi yang merasa
mempunyai jaminan hidup karena bisa mencari uang sendiri.

Lalu apa kata para laki-laki yang "kebetulan" memiliki pasangan perempuan
perkasa ini? "Awalnya sih senang dan bangga punya istri serba bisa. Tapi
lama-lama, sebal juga melihat istri saya kebablasan. Dia menjadi besar
kepala dan mengatakan apa jadinya rumah tangga kami tanpa kehadirannya?"
tutur Andri, bukan nama sebenarnya, tentang Sriati.

Kesombongan Sri dibalas dengan sikap dingin Andri. Andri mengaku malas
mendekati istrinya di malam hari. Hubungan intim mereka pun terganggu. "Saya
ingin membuat istri saya merasakan bahwa dia juga masih butuh laki-laki,"
cetus Andri.

Lalu, mengapa saat perempuan mendapati dirinya tiba-tiba menjadi "pemimpin"
ternyata menimbulkan problem baru terutama di lingkungan keluarganya? Baik
Dewi maupun Homzah sepakat, budaya timur masih menganut sistem patriarki
yang menempatkan lelaki sebagai pemimpin. Siapa yang memimpin siapa ini
membuat frustrasi kaum laki-laki.

"Nilai yang berlaku pada kita adalah lelaki sebagai pemimpin. Lalu laki-laki
menginterprestasikan pemimpin itu sebagai power atau kekuatan. Padahal,
sebagai pemimpin ada hal lain yang lebih dari sekadar power itu sendiri,
yaitu pemimpin yang punya kewajiban dan tanggung jawab," kata Homzah.

Pada beberapa pasangan yang sudah sampai pada kesepakatan saling menghargai
alias bermitra dalam kesetaraan gender, masalah pembagian kerja yang dibalik
tak menjadi masalah. Misalnya, saat suami sedang tak memiliki pekerjaan atau
penghasilannya lebih kecil dari istri, kondisi itu tak meresahkan mereka.
Mereka bisa berbagi tugas. Jika suami lebih mempunyai waktu luang, tugas
rumah banyak yang jatuh kepadanya. Sebaliknya, tugas mencari uang dilakukan
perempuan. Namun yang resah justru masyarakat. Masyarakat menganggap
laki-laki seperti itu lemah dan tak memiliki eksistensi sebagai laki-laki.

**

MINDER terhadap penghasilannya yang jauh lebih kecil dari istrinya, membuat
Sutrisno membenarkan tindakannya memiliki perempuan idaman lain alias
berselingkuh. "Istri saya tampaknya tidak butuh saya lagi, juga gaji saya.
Penghasilannya jauh lebih besar dari saya. Jadi kalau setiap bulan saya
tidak menyetor pun tidak ada pengaruhnya kok. Uang gaji saya pakai untuk
bersenang-senang saja," kata Sutrisno.

Apa yang terjadi pada Sutrisno dan istrinya, menurut Dewi banyak terjadi
pada pasangan superwoman dan "pria biasa". "Misalnya, sang istri punya
penghasilan delapan puluh juta rupiah, tentu tak terlalu merasakan manfaat
dari penghasilan suaminya yang hanya delapan ratus ribu rupiah. Mendapati
kenyataan bahwa sang istri adalah superwoman, jangan salah, suami bisa
menjelma menjadi superman di luar rumah, di hadapan perempuan lain," ujar
Dewi memperingatkan. Penghasilannya yang delapan ratus rupiah tadi ternyata
bisa membahagiakan perempuan lain. "Ternyata dengan penghasilan yang delapan
ratus ribu bisa membuat perempuan lain begitu bahagia. hal yang tidak
didapatinya dari istrinya," kata Dewi.

Sebaliknya, saat tidak mendapati figur suami yang kuat, perempuan secara
tidak sadar bisa juga menemukan figur tersebut di luar rumah alias pada
laki-laki lain yang bukan suaminya. Seperkasa apa pun, menurut Dewi,
perempuan pada dasarnya masih butuh sandaran. Ketika sandaran itu tidak
diperolehnya dari suaminya, ia bisa menemukannya dari lingkungan kerjanya
atau di luar rumahnya. Dari teman curhat, laki-laki yang ditemuinya bisa
menjadi pria idaman lain. Ya, ternyata menjadi perempuan serbabisa pun tetap
serbasalah. Jadi sebaiknya harus menjadi perempuan bagaimana ya? Jangan
bingung, simak tips di sebelah ini. (Uci Anwar)***






 © 2006 - Pikiran Rakyat Bandung





Kirim email ke