Revolusi Gagal
dalam Perjalanan Manusia
  Oleh Eep Saefulloh Fatah
   
  Kebanyakan kita adalah korban sensor politik Orde Baru. Celakanya, sebagai 
korban, kadang-kadang kita gagal keluar dari jebakan secara sigap.
   
  Saya adalah salah satu korban semacam itu. Saya lahir (1967) ketika Pejabat 
Presiden Jenderal Soeharto sudah mulai berkuasa, masuk Sekolah Dasar (1978) 
ketika Orde Baru sudah merasa beroleh legitimasi dari Pemilu (non-demokratis) 
pertama yang mereka adakan, masuk SMP (1984) ketika hasil booming minyak bumi 
sudah memperkaya rezim Orde Baru dan membuatnya bisa mengelola berbagai proyek 
pembangunan.
   
  Dalam usia itulah saya mulai berkenalan dengan sastra, setidaknya mengakses 
kesusateraan melalui perpustakaan sekolah. Di situlah sensor politik itu mulai 
bekerja, membunuh setiap kemungkinan untuk mengakses karya-karya yang dipandang 
berbahaya oleh kekuasaan. Maka, sebagaimana pemahaman akan sejarah, pemahaman 
akan peta dan dinamika sastra yeng bisa dibangun oleh seorang siswa semacam 
saya, nyaris sepenuhnya mesti sejajar dengan kemauan dan tekanan mereka yang 
menang dan berkuasa.
   
  Sama halnya dengan sejarah yang biasanya ditulis oleh mereka yang menang, 
sastra pun senantiasa mesti disajikan lewat dapur para pemenang. Maka, 
karya-karya sastra tersaji dalam daftar menu yang serba terbatasi. Karya-karya 
Pramoedya Ananta Toer, sekadar menyebut satu misal yang paling representatif, 
tak ada di daftar menu itu.
   
  *****
  Tapi, itulah, saya tak bisa dibilang berhasil keluar dari jebakan itu secara 
sigap. Sampai dengan lulus SMA, saya masih ”steril” dari buku-buku, karya-karya 
sastra, terlarang. Baru, secara sangat terlambat, mulai masa kuliah, saya 
berkenalan dengan karya-karya yang dipandang berbahaya itu. Dan sempat 
mengalami masa asyik masyuk dalam fase perkenalan itu.
   
  Maka, bagi saya, masa-masa perkuliahan adalah masa awal perkenalan dengan 
tuturan sejarah dan sastra ”dari seberang kekuasaan”. Dan perkenalan ini 
berlanjut dengan amat leluasa ketika Soeharto jatuh di penghujung Mei 1998 dan 
membuka kran kebebasan politik tanpa tertahan. Di tengah kebebasan – yang 
tiba-tiba menjadi barang gratis setelah puluhan tahun sebelumnya begitu mahal 
dan terbeli ini – sejarah dan satra dirumuskan dan disajikan ulang.
   
  Semestinya – sekali lagi, semestinya – perkembangan baru ini membikin kita 
dan masyarakat kita lebih sehat. Bukankah masyarakat yang hidup di tengah 
keragaman pilihan akan jauh lebih sehat secara sosial ketimbang mereka yang 
hidup di tengah pemasungan dan keterbatasan (apalagi ketiadaan) pilihan?
   
  Begitulah. Karya-karya tuturan sejarah serta sastra dari ”seberang 
kekuasaan”, termasuk dari kalangan pelarian, ikut memperkaya kita belakangan 
ini. Karya-karya ini tak saja menambah panjang deretan panjang sumber-sumber 
literer untuk memahami kemarin dan hari ini, tetapi juga mengasah kemanusiaan 
kita dengan caranya sendiri.
   
  Saya, secara pribadi, terus terang saja, lebih tertarik dengan karya-karya 
realistis yang memposisikan manusia secara layak di tengah pergulatan zamannya. 
Saya lebih suka pendekatan yang menempatkan manusia-manusia sebagai 
noktah-noktah kecil yang mesti berjuang di tengah pusaran sejarah yang 
kadang-kadang tak sepenuhnya mereka pahami. Bagi saja, sastra atau sejarah, 
yang memposisikan manusia apa adanya semacam itu, jauh lebih jernih dan 
menyentuh.
   
  Atas alasan itulah saya tak terlalu menggandrungi ”Arus Balik”-nya Pram yang 
memposisikan Wiranggaleng sebagai seorang pahlawan besar yang seolah-olah 
mengusung dan membawa sejarah nyaris sendirian. Saya lebih terpesona oleh 
tetralogi ”Bumi Manusia”-nya Pram yang memposisikan Minke sebagai satu butir 
pasir di tengah pusaran sejarah modern Indonesia.
  
*****
   
  Maka, saya bukan saja merasa terhormat dan berbahagia bisa membaca naskah 
karya Asahan Aidit ini, sebelum diterbitkan. Lebih dari sekadar itu, saya 
seperti menemukan kisah seorang manusia dalam sebuah perjalanan panjang dengan 
segenap romantikanya, termasuk romantika sebuah revolusi yang gagal.
   
  Lewat “novel memoar” ini Asahan tak mempahlawankan siapa pun dan tak 
mensimplifikasi sejarah sekadar hikayat orang besar. Lebih dari sekadar itu, 
Asahan juga berhasil menggambarkan secara hidup bagaimana komunisme bekerja 
dalam sistem yang sesungguhnya tak seragam: Vietnam, RRC, Uni Soviet. Lalu, 
yang membuatnya menjadi hidup adalah dijadikannya ”pergulatan manusia” sebagai 
unsur utama cerita.
   
  Dalam bahasa sederhana, sebagaimana terwakili oleh judul yang dipilih Asahan, 
inilah perjalanan syukur seseorang yang ”masih manusia meskipun revolusi telah 
gagal hancur.” Bersama  dengan sejumlah karya sejenis yang belakangan ini 
memperkaya khasanah kesusatraan kita, novel ini mengasah kemampuan kita untuk 
menghargai kemanusiaan melintasi sekat zaman dan kungkungan ideologi. Selamat 
membaca dan mengapresiasi.
   
  -----------------------------
   
  catatan:
   
  esainya eep sf ada dalam buku "alhamdulillah", karya terbaru dari asahan 
aidit, yang akan terbit dalam waktu dekat ini.
   


      
http://www.geocities.com/herilatief/
  [EMAIL PROTECTED]
  http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 
  Informasi tentang KUDETA 65/Coup d'etat '65 
Klik: http://www.progind.net/   

   




 
---------------------------------
Need a quick answer? Get one in minutes from people who know. Ask your question 
on Yahoo! Answers.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke