Republika, Minggu, 10 Desember 2006 
<http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=275008>
<http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=275008&kat_id=49> 
<http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=275008&kat_id=49>
Ternyata tak mudah jadi orang Islam yang baik. Apalagi jadi Muslim yang 
cerdas dan cerah diri. Ilmu agama boleh setumpuk gunung, tapi praktik 
beragama tak seringan kapas. Senyum dan damai mudah ditablighkan, namun 
pengamalannya tak semudah teorinya. Lantas terjadilah paradoks, kata tak 
seindah tindakan.

Kini kaum Muslim di negeri ini memang banyak disuguhi oleh begitu banyak 
sajian keagamaan yang begitu manis dan marak. Penuh pesona keagamaan 
yang mengharu-biru. Pesona yang menghipnotis umat untuk masuk dalam 
arena keagamaan populer. Menampilkan agama ringan dan lucu, tak 
menyentuh dasar dan makna yang aktual. Agama yang memikat publik, 
sekaligus menjadi magnet para pemilik modal di dunia pasar.

Agama tampil begitu sarat simbolisme. Dzikir berjamaah. Manajemen qalbu. 
Mujahadah akbar. Islam syariah. Islam politik. Semuanya penuh dengan 
warna verbalisme. Penuh kesemarakan. Umat dibikin bergairah dan penuh 
kesyahduan. Dan itu merupakan modal penting bagi umat. Dengan Islam yang 
tampil simbolik, syariah, dan spritual maka ada bangunan elementer yang 
menjadi tumpuan.

Namun verbalisme tidaklah mencukupi. Ajaran serba simbol masih 
memerlukan lembaran ajaran yang memasuki dunia makna. Verbalisme dan 
simbolisme sekadar berhenti di tataran rukun. Berhenti di simpul-simpul 
harafiah. Dalam ranah yang paling klasik bahkan skriptural. Asalkan 
rukun sudah terpenuhi, maka ajaran tertunaikan hingga di situ. Tak perlu 
dipersoalkan bagaimana makna dan fungsi ajaran secara lebih mendalam dan 
lebih jauh.

Ambillah contoh, shalat sekadar rukun, cukuplah menjadi urusan pribadi 
dan alfabeta kewajiban, tanpa diteruskan bagaimana shalat dapat mencegah 
keburukan dan kemaksiatan. Haji pun demikian, berhenti sebatas rukun dan 
wajib, minus fungsi kemabruran.

Maka tak mengherankan manakala masih terjadi jurang dan paradoks 
beragama. Kesemarakan beragama pun masih berhenti pada ranah penuh 
kembang. Fenomena terakhir bahkan menunjukkan bentuk komoditisasi. 
Dakwah menjadi bercorak /entertainment/ yang penuh warna dan pesona. 
Juru dakwah jadi idola di ruang publik ala selebriti. Ada bagusnya tentu 
saja, tetapi selalu ada ruang kosong yakni makna-makna substantif. 
Karena kehilangan substansi, maka jangan kaget jika muncul kejutan demi 
kejutan, idola jadi cemooh publik.

Ideologisasi Islam pun menghadirkan pesona baru. Kegairahan dan 
optimisme berlebihan mengenai kehadiran Islam politik sebagai solusi dan 
alternatif dari peminggiran politik Islam santri. Namun seiring dengan 
berjalannya waktu, satu demi satu Islam ideologis kehilangan daya 
alternasinya, karena di ranah politik akhirnya sama saja dengan politik 
sekuler pada umumnya yakni berwatak pragmatik.

Verbalisme lain juga ditampilkan dari sebagian liberalis naif. Teks 
ajaran serba didekonstruksi dengan nalar positivis Gramscian. Ajaran 
agama dicurigai selalu memiliki ideologi hegemoni, seolah kehilangan 
daya autentisitasnya.

Kehilangan fungsi sakralnya. Lalu yang terjadi ekstremitas lain, 
nihilisme agama. Pada saat yang sama demokrasi, HAM, dan rasionalisme 
positivisme didewakan dan mengalami absolutisasi seolah jadi agama baru. 
Lahirlah benturan pemikiran yang sangat tajam mendekati peperangan 
antara kaum liberalis-sekuler yang radikal melawan kaum Islamis yang 
sama radikalnya.

Agama dan keberagamaan lantas kehilangan daya pencerahan. Agama menjadi 
kehilangan alternatif dari hiruk-pikuk serba ekstrem dan radikal, 
sehingga fungsi transformasionalnya menjadi redup. Para elite Muslim 
kehilangan energi aktualnya dalam mencari solusi-solusi cerdas atas 
problem-problem rumit kemanusiaan. Yang muncul banyak kembang gula 
Islam. Islam begitu meriah, tetapi kehilangan makna substantif. Islam 
tampak tangguh, tetapi sebatas kegagahan konservatisme. Islam disuarakan 
kaffah, tetapi yang muncul banyak serpihan.

Karena itu, kini diperlukan langkah lanjutan untuk memberi makna-makna 
substantif dan fungsi-fungsi aktual dari pemahaman dan gerakan Islam di 
negeri ini. Masih diperlukan gerak pencerahan ke hal-hal ajaran yang 
lebih substansial dan intelektual tanpa kehilangan rukun yang matsurah 
(sesuai Sunnah Rasul) dan autentik sebagaimana pesan utama Alquran untuk 
membawa Islam sebagai /rahmatan lil-'alamin/. Perlu ada jalan yang lebih 
cerdas tetapi autentik dalam menampilkan Islam di negeri mayoritas 
Muslim ini.

Jika berkutat pada gelora Islam yang verbal, skriptual, dan murah-meriah 
seperti sekarang ini maka yang terjadi ialah kejumudan. Sebaliknya jika 
dekonstruksi Islam pun tanpa bingkai ajaran yang kokoh, maka Islam 
menjadi lepas sekadar pemikiran-pemikiran ala Renaisans di negeri Barat 
ketika memulai modernisasi. Satu arah ke konservatisme dan Islam 
komoditi, arah lainnya Islam yang positivisme. Lalu seperti biasanya, 
yang muncul ialah konflik keras antardua kutub esktrem, sesama penganut 
radikalisme atau fundamentalisme yang radikal dengan lain baju seperti 
selama ini terjadi. Umat bukan hanya bingung, tetapi semakin terawamkan 
dan terseret pada banyak prasangka dan persengketaan teologis.

Kini diperlukan pengendapan untuk memberi ruang bagi pemikiran yang 
lebih moderat dan menawarkan solusi yang lebih substantif dan aktual. Di 
satu pihak umat mayoritas memerlukan bimbingan hidup yang lebih pasti 
tetapi juga cerdas dan mendalam, tidak seperti selama ini yang cenderung 
dibawa pada agama populer yang dangkal dan kolot. Di pihak lain umat 
juga memerlukan pemberdayaan di bidang ekonomi, pendidikan, kesadaran 
dan peran politik yang lebih rasional, dan aspek-aspek lainnya yang 
berorientasi pada kemajuan. Dengan demikian terjadi peneguhan sekaligus 
pencerahan.

Cukuplah Islam populer atau /entertainment/ sebatas obat luar yang 
memberi pelayanan massal kepada umat, selebihnya diperlukan format 
pembinaan umat yang mengajarkan Islam lebih mendalam dan berkemajuan. 
Cukuplah da'i populer mengisi ruang publik layar kaca demikian memukau 
dan memiliki daya magnet tinggi dengan topangan pemilik modal yang 
berorientasi pasar, kini diperlukan para da'i yang menajamkan mata hati 
secara berimbang dengan daya nalar. Sebab ternayata kemasan tak 
selamanya kokoh. Pesona luar akhirnya luntur pula. Bahkan kharisma tokoh 
yang menghipnotis massa populer akhirnya berakhir hambar, dengan 
apologia yang tersisa. Kini, sungguh diperlukan gerak pencerahan umat 
yang lebih autentik, mendasar, dan transformasional.

Islam populer ternyata rapuh terhadap gelombang godaan dan tantangan 
yang lebih dahsyat. Fenomena pendewaan materi, hawa nafsu, kekuasaan, 
dan popularitas telah menjebol pagar Islam simbolik nyaris tanpa daya 
tahan yang kokoh. Lebih-lebih ketika menghadapi kapitalisme yang telah 
menggurita hampir seluruh relung kehidupan umat manusia saat ini. Orang 
lalu kembali ke aslinya, ke habitatnya semula, dan topeng pun tersibak 
ke ruang publik. Pesona keagamaan ternyata ringkih, tak sekokoh dan 
seindah sebagaimana hipnotika publik.

Jangan-jangan, banyak di antara kita orang Islam selama ini terjebak 
atau terbuai dalam pesona keagamaan yang ringkih itu. Kendati dari luar 
kelihatan meriah dan memikat. Apa boleh buat. Itulah wajah Islam 
Indonesia yang warna-warna dan mungkin belum sepenuhnya akil-balig. Tak 
perlu disesali, apalagi dingkari. Kini yang diperlukan tawaran-tawaran 
Islam yang lebih mencerahkan. Islam yang autentik dan berkemajuan. Islam 
yang lebih moderat dan menawarkan jalan tengah. Bukan Islam sekadar jadi 
pemblok rasa sakit atau yang serba mengepalkan tangan penuh nada marah 
dan pertempuran. Apalagi sekadar Islam yang menghadirkan pesona 
keagamaan di panggung publik, tetapi rapuh dan ringkih.



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke