KEADILAN
Wabah Itu Bernama Poligami 

Oleh : Lily Zakiyah Munir 

Sumber : Swara, Kompas, 11 Desember 2006

Sebersit angin segar kembali berembus membawa keadilan bagi 
perempuan Indonesia. Pemerintah, melalui Menteri Negara Pemberdayaan 
Perempuan dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam 
Departemen Agama, cepat tanggap menangani wabah baru maraknya 
poligami. 

Sebelum itu, saya miris membaca berita demi berita tentang perilaku 
poligami para tokoh publik. Lebih miris lagi karena dalih yang 
dikemukakan hampir selalu "daripada berzina...." 

Selemah itukah lelaki Muslim? Mereka begitu "perkasa" dalam 
menyubordinasi perempuan, tetapi begitu lemah dalam mengontrol 
nafsunya sendiri. Saya kira banyak lelaki Muslim "sejati" yang teguh 
dalam mengontrol diri tersinggung oleh alasan ini. 

Saya ngeri membayangkan seandainya tidak ada upaya menghentikan 
wabah poligami, jangan-jangan Indonesia menjadi seperti negerinya 
Taliban, Afganistan. Di negeri di mana saya pernah bekerja itu, 
budaya poligami berurat berakar. Kolega saya, seorang mullah elite, 
memiliki empat istri dan anak lebih dari empat puluh. Mereka hidup 
di bawah satu atap dalam satu rumah besar. 

Seorang calon presiden di Afganistan yang berkampanye jika terpilih 
nanti akan membuka kesempatan memperdebatkan poligami langsung 
dicekal penguasa. Dia dianggap menghina syariat Islam yang merupakan 
dasar konstitusi negara. Tentu bukan budaya seperti ini yang kita 
inginkan, demi keadilan perempuan di negeri kita. 

Nabi dan monogami 

Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibnu 
Majah, dilaporkan Nabi Muhammad SAW marah ketika beliau mendengar 
putrinya, Fatimah, akan dipoligami suaminya, Ali bin Abi Thalib. 

Beliau bergegas menuju masjid, naik mimbar, dan menyampaikan 
pidato, "Keluarga Bani Hashim bin al-Mughirah telah meminta izinku 
untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Thalib. Saya tidak 
mengizinkan, sekali lagi saya tidak mengizinkan, sekali lagi saya 
tidak mengizinkan sama sekali, kecuali Ali menceraikan putri saya 
terlebih dulu." 

Kemudian, Nabi Muhammad SAW melanjutkan, "Fatimah adalah bagian 
dariku. Apa yang mengganggu dia adalah menggangguku dan apa yang 
menyakiti dia adalah menyakitiku juga," (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 
162, hadis nomor 9026). Akhirnya, Ali bin Abi Thalib tetap monogami 
hingga Fatimah wafat. 

Mungkin orang akan bertanya bagaimana dengan kenyataan Nabi sendiri 
berpoligami? Bahkan, ini sering dijadikan alasan lelaki berpoligami, 
yaitu ittiba' (mengikuti) Rasul. 

Kalau kita menyimak perkawinan Beliau, dapat disimpulkan pada 
hakikatnya Nabi monogami selama sebagian besar masa perkawinannya. 
Beliau menikah selama lebih dari 30 tahun, dan 28 tahun di antaranya 
dihabiskan hanya dengan Khadijah dalam perkawinan yang sukses dan 
membuahkan putra-putri. 

Beliau sangat mencintai Khadijah dan setia kepadanya sehingga tahun 
Khadijah wafat disebut 'am al-hazn (tahun berduka). Dua tahun 
setelah Khadijah wafat, baru Nabi berpoligami. Dari sekian istri 
hanya Aisyah yang gadis. 

Kekerasan psikologis 

Poligami menyimpan banyak problem. Salah satunya, membisukan suara 
hati perempuan. Selama ini poligami hampir selalu dilihat dan 
didefinisikan dari perspektif lelaki. Apa definisi adil dan siapa 
mendefinisikan? Apakah mencakup keadilan batiniah dan seksual atau 
sebatas keadilan lahiriah dan material? Apa pembenaran teologis atau 
sosiologisnya? Perempuan nyaris tak didengar suaranya. 

Poligami bisa menjadi sumber penderitaan perempuan. Sebagai manusia 
utuh, seperti lelaki, perempuan memiliki harga diri, integritas 
diri, dan emosi. Poligami membuat mereka merasa dikhianati dan 
direndahkan, serta menjadikan mereka merasa tak berdaya. Inilah 
bentuk nyata diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. 

Indahnya perkawinan yang dibina bersama dengan penuh cinta kasih 
tiba-tiba runtuh. Perempuan yang sudah mengorbankan identitas dan 
integritas diri demi menopang suami dalam meniti tangga menuju 
status sosial lebih tinggi tiba-tiba dipinggirkan. Usia produktif 
untuk mengembangkan diri dikorbankan demi suami tercinta. Kini pada 
usia senja, dengan ketergantungan emosional dan finansial terhadap 
suami, dia harus menerima kenyataan pahit itu. 

Banyak perempuan memilih bercerai daripada dipoligami. Tetapi, lebih 
banyak yang memutuskan tetap berada dalam perkawinan. Berbagai 
alasan dikemukakan, seperti demi anak, stigma sosial terhadap janda, 
ketergantungan finansial, dan sebagainya. Perempuan ini mesti 
memendam berbagai rasa seperti cemburu. 

Seorang istri yang dipoligami, ketika saya wawancara baru-baru ini, 
mengatakan dengan getir, "Kebahagiaan dalam perkawinan tidak dapat 
dibagi. Semua bentuk perhatian, cinta, kasih sayang dari suami 
terhadap istri, tidak dapat diukur dengan materi. Seorang suami 
tidak mungkin bisa adil kepada para istrinya. Jadi, poligami adalah 
bagian dari ketidakadilan. Tetapi, memperdebatkan poligami di tengah 
masyarakat patriarkis tidak ada gunanya." 

Poligami juga menjadi alat melegitimasi kekerasan psikologis 
terhadap perempuan. Istri pertama seorang dai kondang yang baru saja 
berpoligami, ketika ditanya apakah dia cemburu, menjawab ya, dan itu 
tanda cinta. Namun, dia tegar mendampingi sang suami menjelaskan 
perkawinan keduanya. Siapa tahu perasaan dan gejolak dalam hati? 
Hanya yang bersangkutan dan Allah semata. 

Problem penafsiran 

Perbedaan penafsiran ayat poligami (QS An-Nisa/4:3) sudah banyak 
diwacanakan. Inti utama perbedaan adalah pandangan tentang 
keabsolutan institusi poligami. Ayat poligami turun setelah Perang 
Uhud, di mana banyak sahabat wafat di medan perang. 

Ayat ini memungkinkan lelaki Muslim mengawini janda atau anak yatim 
jika dia yakin inilah cara melindungi kepentingan mereka dan 
hartanya dengan penuh keadilan. Jadi, ayat ini bersifat kondisional. 
Kini kaum Muslim cenderung melupakan motif ini dan menganggap 
poligami "hak" lelaki Muslim secara absolut. 

Ayat selanjutnya (4:129) secara kategoris menyatakan, tidak mungkin 
seorang lelaki dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, betapapun 
dia menginginkan. Ayat ini dapat disimpulkan, Islam pada dasarnya 
agama monogami. Namun, pendukung poligami justru berpendapat 
sebaliknya. 

Karena tidak mungkin seorang lelaki berlaku adil lahiriah dan 
batiniah kepada para istri, maka sikap adil itu hanya sebatas 
kemampuan mereka sebagai manusia. Inilah lokus perdebatan itu. 

Bagaimana menyikapi ini semua? Marilah kita berpikir jernih. Salah 
satu misi utama Islam adalah membebaskan mereka yang tertindas dan 
membawa keadilan bagi mereka. 

"Revolusi" yang dibawa Islam adalah peningkatan status perempuan 
menjadi sepenuhnya setara dengan lelaki, baik sebagai hamba Allah 
maupun sebagai wakil-Nya di bumi. Apakah poligami yang sedang 
mewabah ini telah mencerminkan keadilan tersebut? Allah Mahatahu. 

Lily Zakiyah Munir Direktur Center for Pesantren and Democracy 
Studies (Cepdes), Jakarta 


Kirim email ke