Filosofi Sunnah Sosial

Tidak ada ciptaan Tuhan yang tidak bermakna. Jika Tuhan menciptakan
hukum-hukum (sunnatullah) yang berlaku pada benda, tumbuh-tumbuhan,
hewan dan manusia, baik manusia sebagai individu maupun hokum Tuhan
pada manusia sebagai makhluk social dan pelaku sejarah, pastilah
dibalik itu bukanlah tanpa maksud; robbana ma kholaqta hadza bathila
(Q/2:…) Adanya sunnatullah itu dapat difahami filosofinya sebagai
berikut:

1. Dengan adanya hukum alam, manusia yang mengetahuinya bisa
mengoptimalkan pemanfaatan alam bagi peningkatan kualitas kehidupan
manusia. Tuhan menciptakan alam dengan segala fasilitasnya memang
diperuntukkan bagi kehidupan manusia; wa sakhkhara lakum ma fis
samawati wama fil ardli jami`an (Q/45:13)

2. Dengan hukum social dan hokum sejarah yang adil, manusia
bisa membimbing kehidupannya dengan peradaban yang tinggi,
bermartabat dan berkeadilan, apa yang sekarang disebut dengan nama
masyarakat madani, diilhami dari konsep al Madinah al Munawwarah;
artinya, kota dimana penduduknya berperadaban tinggi, disinari oleh
kebenaran ilahiyyah.

3. Dengan hukum social dan hokum sejarah yang adil, manusia
bisa diarahkan hidupnya pada prinsip tanggung sebagaimana amanat
manusia sebagai khalifatullah di muka bumi. Sebagai khalifah Allah,
manusia dibekali akal sebagai problem solving capacity, hati sebagai
alat untuk memahami realita, syahwat sebagai penggerak tingkah laku,
hawa nafsu sebagai elemen penguji dan nurani sebagai alat control
diri yang kesemuanya didesain Tuhan untuk memikul amanah dalam
kehidupan yang berkeadilan dan bermartabat.

4. Adanya sunnatullah dalam kehidupan social dan sejarah
memungkinkan manusia menyelaraskan kehidupannya secara harmonis
antara dimensi horizontal dengan dimensi vertical. Secara horizontal
manusia bisa memaksimalkan makna kehadirannya di pentas kehidupan,
secara vertical bisa menggapai kecerdasan spiritual yang membuatnya
berbahagia lahir dan batin.

Realita Kehidupan
Meski secara konsepsional manusia bisa menjadi makhluk yang
bermartabat, realita kehidupan menunjukkan bahwa manusia harus
berjuang keras untuk menjadikan dirinya bermartabat. Manusia
memiliki tabiat kerjasama dan tabiat bersaing sekaligus. Untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya manusia biasa kerjasama untuk memperoleh
hasil yang lebih optimal bagi kesejahteraan hidup bersama. Namun
demikian, tabiat bersaing sering menggoda manusia untuk bersaing
secara tidak sehat. Manusia memiliki naluri untuk menjadi yang
terbaik, menjadi orang nomor satu, padahal kursi nomor satu ya hanya
satu.

Banyaknya peminat yang menuju ke kursi nomor satu menjadikan jalan
menuju kesana sempit dan manusia berdesakan. Dalam suasana
psikologis berdesakan itulah manusia sering tergoda untuk menginjak
orang lain agar dirinya bisa naik keatas. Medan persaingan menuju ke
atas itu biasa disebut dunia politik. Ada orang yang menomorsatukan
target politik, sehingga segala cara meski tak bermartabat dilakukan
demi mencapai target "martabat" politik itu. Hal ini biasanya
berlangsung di forum2 kongres, musda atau pilkada. Ada juga yang
memandang politik sebagai ilmu dimana dengan ilmu politik ia bisa
menyusun desain politik yang benar, tepat dan logic.

Di sisi lain ada yang memandang politik sebagai game dan seni
sehingga dalam perkelahian politik sekalipun ia tetap mematuhi
koridor game dan seni sehingga dunia politik menjadi sesuatu yang
indah ditonton dan indah dirasakan. Ada pemain politik yang mampu
mengendalikan jalannya politik, tetapi ada politisi yang justeru
dipermainkan oleh politik yang dijalankannya. Ada orang yang duduk
di singgasana politik tetapi tidak memiliki kekuasaan, sebaliknya
ada orang yang berada diluar system politik tetapi ia justeru
menjadi pengendali kekuasaan politik.

Persaingan tidak akan melahirkan permusuhan hanya jika manusia
bersaing dalam bidang kebajikan. Orang yang taat kepada Tuhan tidak
pernah merasa tersaingi oleh orang lain yang lebih taat. Orang yang
suka menolong orang lain secara ikhlas tidak pernah merasa tersaingi
oleh orang lain yang melakukaanya secara lebih banyak dan lebih
baik. Tetapi jika bersaing dalam hal yang bersifat rendah (harta dan
jabatan atau gengsi), di dalam masjid sekalipun mereka bermusuhan,
berebut menjadi imam, khatib atau pengurus.

Wassalam,
agussyafii
http://mubarok-institute.blogspot.com









Kirim email ke