Mas Irwank, Ini mungkin relevan dng pembahasan amandemen UU Perkawinan ya, yg memang sedang diperjuangkan kelompok perempuan lewat JKP3 (Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan). Dalam lebih dari satu dasawarsa (dihitung sejak 1998, setidaknya) kita memang dlm suasana perubahan ato reformasi. Dan 'rumus' umum yg dipakai dalam melakukan perubahan, kalo menurut mary hischock (kalo gak salah nyebut, maklum gw suka lupa nama orang :P): change in law + education of user = change. Yg saya 'revisi' dng nambah satu elemen lagi: incentive (dlm arti luas, gak cuma reward & punishment) Alatnya: hukum/perUUan --secara jargon "rule of law" sudah lazim dipake sbg jurus reformasi gitu lho. Makanya gak heran, sejak 1998, kita mengalami topan badai perUUan baru (yg berdampak ke perubahan dan penciptaan institusi baru). To some extend, pola yg sama yg hendak dipakai oleh kelompok perempuan dlm mengatasi masalah. Target nomor satu: UU nya dulu.
Tapi kalau mau berteori, niru2 mas wikan hehe, mungkiiiiin kali ini yg harus dikeluarkan adl teori social conflict. Intinya mah, balik ke pelajaran no 1 (eh nomor berapa ya? :P) di WM, tidak ada yg bergerak dlm ruang yg vakum. Pertama, it is indeed a battle field. Gak semudah itu meng-gol-kan amandemen UU Perkawinan yg mengubah poligami jadi monogami (dari saya pribadi, menimbulkan pertanyaan soal 'transisi' hukum. Kalau perubahan itu dilakukan, bagaimana dng nasib istri2 beserta anak2nya yg sudah dipoligami sebelum UU itu lahir. Ini yg masih perlu dijawab). Belum lagi kompleksitas beragam sistem 'hukum' yg ada dalam masyarakat. ('hukum' saya beri tanda kutip, karena ketika kita bicara soal 'hukum' tidak saja hukum yg ada dalam pusat2 alat kekuasaan negara, tapi hukum dlm pengertian para antropolog or sosiolog hukum, hukum yg ada dalam setiap kelompok masyarakat yg sangat beragama dan satu sama lain kadang saling bersinggungan). Kedua, kalaupun toh itu 'gol', belum tentu juga dijalankan sesuai aturan yg baru. Kenapa? karena relasi kekuasaan dalam struktur masyarakat kita yg masih yah.. kaya gitulah :). Pada kenyataannya nanti, 'aktor2' utama yg masih punya pengaruh yg seringkali menentukan sendiri bagaimana 'institusi' baru ini dijalankan. Ini yg menjelaskan kenapa beberapa reformasi menjadi 'mandeg' dan bahkan menimbulkan masalah baru. Perubahan yg dirumuskan sebelumnya, baru bisa berjalan, dalam kondisi kalau semua2nya baru. Organisasinya baru, orangnya baru, sistemnya baru, termasuk "ideologi"nya pun juga baru. Tapi lagi2, spt yg diungkap mbak Mia, mengubah 'persepsi poligami' tidak semudah menggoreng telur (maap, lagi mikir mau goreng telur buat sarapan :P). Menurut saya, 'solusi' yg ditawarkan WM, bisa mengakomodir ini, meski mungkiiiin ada kritik juga dari kelompok perempuan. Tapi duluuuu, saya pernah ngobrol2 sekilas soal solusi WM ttg poligami ini dng mbak Ratna Batara Munti dari LBH Apik, dlm situasi informal. Udah lama, kali dia udah lupa :) Karena menurut gw, sayang aja kalo diskusi disini cuma sekedar diskusi doang menuh2in kapasitas di yahoogroups :) Saya rasa, fauzan, rye woo, janoko, dll gak tau sejauh mana kita sudah diskusi dan merumuskan solusi utk poligami. Siapa bilang kita mencoba mengeliminasi ketentuan poligami? Gini aja deh, mulai dulu dari bahwa ada lhoooo poligami (dan argumen pro-poligamors) yg memang justru jadi bumerang buat mereka sendiri mengenai poligami (poligami =libido tinggi, Rasul yg berpoligami = libido tinggi, poligami = lebih baik dari zina ---padahal zina ya gak boleh, titik. No escape clause :P) "Pemikir2" WM dlm hal ini justru yg lebih komprehensif dalam menangkap dan mengulas poligami. Cuma memang, ya itu tadi.... banyak orang2 yg cuma mau ngomong doang, posting ayat ini itu.. sekedar nunjukin kontra pendapat... tapi tidak mau mendengar, apalagi mencerna dan berargumentasi dng baik thd pemahaman dan pembacaannya -dia sendiri maupun lawan diskusinya (gak empati, kalo kata mbak Mia). Salah kaprah soal taqlid buta. Maap kalau bahasanya sedikit ajaib, mungkin karena belum sarapan :) salam, herni --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, IrwanK <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Apa gak capek bersitegang terus? Apa gak ada titik temu? Kalaupun misalnya polygami tiba" dilarang (baca: diharamkan), what's next? Enough is enough.. isn't it? CMIIW.. Wassalam, Irwan.K