Uraian Pak Azka bagus sekali. BTW, Pak Dana mungkin skeptik terhadap 
hadis palsu, seharusnya emang begitu. Tapi, hadis palsu ya hadis 
palsu, kita nggak bisa terus2an skeptis.

Pak Dana, hadis itu bukan asalnya 'catatan kaki Quran'. Hadis adalah 
tradisi tulis atas tradisi lisan & perbuatan Nabi dan para sahabat, 
dengan kata lain bentuk tulisan dari sunnah atau tradisi nabi. Pada 
waktu itu tradisi nabi sudah menjadi bagian integral dari tradisi 
Jazirah Arab dan sekitarnya (sanna).

Hadis baru dikodifikasi 200 tahun setelah wafat nabi karena:
- ummat Islam dilanda hadis palsu yang kebanyakan untuk 
melanggengkan tujuan2 pragmatis/sekular.
- memang selalu ada resistensi pada jaman itu untuk menuliskan 
sunnah, bahkan firman Allah sebelumnya.  Sebabnya mungkin sulit 
untuk kita mengerti: karena kata2 sebagai simbol dunia sekular tidak 
akan pernah memenuhi makna yang ingin diungkapkannya sendiri. But 
life must go on with the written tradition, right?

So kalau hadis (sahih) bisa menjadi 'sumber hukum' seperti Quran, 
kenapa tidak? Kenapa membenturkannya dengan Al-Quran? Pola pikir Pak 
Dana masih asli dikotomis, ekses akut dari sekularism.  Kita emang 
hidup di dunia sekular, tapi pola pikir kita kan nggak harus begitu, 
justru karena kebebasan berpikir.  Apabila kita mengungkungnya dalam 
dikotomi sekularism, maka sulit bagi kita untuk menemukan keragaman 
yang lain, kemungkinan-kemungkinan, imajinasi dalam relasi 
bermasyarakat.  Misalnya dalam diskusi ini, kalau ummat Islam 
menganggap hadis (tradisi tertulis sunnah Nabi) sebagai salah 
satu 'sumber hukum', kenapa tidak? Dan kok kita terus2 an 
membenturkannya ke Quran. Nggak level lagi? Yang kita bisa gugat 
adalah bagaimana kita mentafsirkan 'sumber hukum' itu, makanya saya 
kasih tanda kutip.

Mempertanyakan penafsiran 'sumber hukum' relatif dengan kondisi 
jaman sekarang, jauh lebih berguna, praktikal, pragmatis, sekaligus 
revolusioner. Revolusioner, karena akan menggugat sumber hukum dunia 
sekuler ini, sekaligus kritis terhadap pemahaman kita sendiri thd 
Quran dan Hadis.  Tapi kalo kita cuma berkutat di antara dikotomi 
hadis-Quran, apalagi melupakan aspek 'non-teks' nya, kita nggak akan 
kemana-mana cuma bingung doang.

Salam
Mia

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Dana Pamilih" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Kalau demikian, benarlah anggapan saya bahwa Hadits tidak lain cuma
> catatan kaki bagi ayat2 dalam Al-Qur'an.  Tapi koq kenapa nuansanya
> sering menganggap hadits itu sebagai sumber hukum.  Seharusnya 
hanya 
> kalimatuLlah yang menjadi sumber hukum.  Bukan catatan kaki. 
> 
> Selengkap2nya sanad dan matan suatu hadits toh itu merupakan 
persepsi
> manusia biasa (spt Anda dan saya) dan lebih rawan lagi ialah baru
> dikodifikasi 200 tahun setelah wafatnya Nabi SAW. 
> 
> Omongan almarhum kakek kita aja yg meninggal tahun lalu belum tentu
> lengkap penerimaan kita apalagi yang sudah meninggal 200 tahun yg 
lalu
> tanpa ada otentisitas hitam diatas putih.  Bukhari itu kan manusia
> biasa seperti Anda dan saya.  Omongan dan analisa bisa kita
> perdebatkan.  Namanya sesama manusia. 
> 
> Oleh karena itu bagi saya ketentuan berdasarkan hadits hanya 
bersifat
> fakultatif sedangkan menurut Al-Qur'an lebih mengikat. 
> 
> Ini logika sederhana tetapi sangat mendasar. 
> 
> --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "azka" <azkalayal@> wrote:
> >
> > Mas Dana,
> > Ada sebuah disertasi seorang Doktor lulusan Al Azhar tahun 1976 
yang
> tiba-tiba laris pada awal tahun 90-an, yaitu ketika Penerbit 
Muassasah
> Risalah Beirut menerbitkan disertasi itu menjadi sebuah buku 2 
jilid
> mewah yang diberi judul "Af'al ar Rasul wa dilaalatuha 'ala al 
ahkam
> al syar'iyyah". Saya sendiri mendapatkan buku/disertasi tersebut
> cetakan Kelima. Dan tahun 2006 yang lalu, tiba-tiba sejumlah 
kalangan
> mahasiswa Indonesia di Mesir "meributkan" kembali buku tersebut.
> Alias, mereka berebutan ingin memilikinya. 
> > Disertasi itu dianggap menarik karena untuk pertamakalinya 
mencoba
> membahas tuntas Af'al ar Rasul (Pekerjaan2 Rasul). Seperti jamak
> diketahui selama berkurun-kurun waktu yang lampau, para ulama
> kebanyakan hanya membahas Aqwal ar Rasul (Ucapan2 Rasul). 
> > Yang jelas begini: pada halaman 30 juz 1 disebutkan perdebatan 
ulama
> tentang kedudukan Al Hadits dengan Al Qur'an. Ada tiga pendapat,
> Pertama: Al Qur'an lebih utama dibanding dengan Al Hadits. Kedua: 
Al
> Qur"an sederajat dengan Al Hadits dan, Ketiga: Al Hadits lebih 
utama
> daripada Al Qur'an!!!. 
> > Yang menarik diamati tentu adalah pendapat ketiga. Disebutkan
> setidaknya ada 5 bukti yang menguatkan thesa bahwa Al Hadits lebih
> utama daripada Al Qur'an. Di antara bukti itu adalah: bahwa hadits
> "Laa washiyyata liwarits" (HR Bukhari) telah menasakh (mengganti
> hukum) surah Al Baqarah ayat 180. Nah, sesuatu yg menasakh tentu 
lebih
> utama daripada sesuatu yang dinasakh atau minimal keduanya sama
> kedudukannya. Ini ditandaskan pula dalam firman Allah pada surah Al
> Baqarah 106.
> > Begitulah Mas Dana.
> > Akan tetapi berikutnya disertasi itu menetralisir perdebatan
> tersebut melalui sejumlah bukti2 tandingan hingga kemudian (singkat
> cerita) dicapai kesimpulan bahwa "kurang tepat untuk membicarakan 
soal
> kedudukan Al Qur'an dan Al Hadits, yang lebih tepat adalah
> membicarakan fungsi Al Hadits terhadap Al Qur'an".
> > Dan kita tentu tahu bahwa di antara fungsi hadits terhadap Al 
Qur'an
> adalah:
> > 1. Sebagai penentu dari beberapa makna majaz yang dikandung Al
> Qur'an. Maksudnya, seringkali karena nilai sastra Al Quran yang 
sangat
> tinggi, maka ayat-ayat Alqur'an itu memiliki banyak makna. Nah, 
fungsi
> hadits di sini adalah sebagai penentu atas salah satu dari makna-
makna
> tersebut.
> > 2. Sebagai penjelas keglobalan makna Al Qur'an. Keglobalan ini
> mencakup sejumlah segi seperti: global dari segi pluralitas makna
> sebuah ungkapan, atau juga global dari segi mutlak tidaknya sebuah 
ayat.
> > 3. Dan fungsi terpenting adalah bahwa  Al Hadits bisa menentukan
> banyak hukum yang belum diatur oleh Al Qur'an. Contohnya: dlm Al
> Qur'an (An Nisa': 23) hanya disebutkan dua orang yang tidak boleh
> dinikahi karena hubungan radla' (persusuan) dan kemudian al Hadits
> menambahinya hingga 7 orang (HR Bukhari Muslim). Juga diharamkannya
> memakai baju berjahit utk kaum lelaki yang melakukan ihram adalah
> ditentukan oleh Al Hadits, sementara Al Qur'an tidak membahasnya.
> > 
> > Jadi saya kira, (saya kira lho), Mas Dana ndak perlu skeptis 
dengan
> Al Hadits.
> > Atau gimana...
> > 
> > Salam,
> > Layal.


Kirim email ke