Kemiskinan Itu Seperti Apakah?

Sutrisno seorang penarik becak, tinggal di rumah kontrak di Kampung Bambu, 
Legok, Tangerang.
Penghasilannya hanya sekitar Rp.10.000 - Rp.15.000/hari.
Jumlah yang tidak banyak untuk sebuah kehidupan di pinggiran kota besar.
Dengan Sumarni isterinya, ia punya anak perempuan bernama Puji berusia 8 tahun.
Karena faktor kemiskinan, Puji belum juga bersekolah karena orang tuanya tak 
mampu membiayai.

Tapi Sutrisno masih bisa menabung lantaran Sumarni hamil anak kedua.
Ia harus memaksa diri untuk menyisihkan penghasilannya demi membiayai kelahiran 
anaknya.
Lantaran ia tidak punya akses untuk mendapatkan kartu sehat untuk orang miskin.
Bahkan upaya untuk mendapat kartu miskin dari desa juga terganjal karena 
Sutrisno belum punya
KTP Tangerang.

21 Desember 2006, air ketuban Sumarni mulai keluar. Saudara ipar Sutrisno 
membawanya ke rumah 
bidan Anifah dekat rumah kontrakan mereka.
Anifah tak sanggup menangani Sumarni karena tekanan darahnya tinggi. Bidan 
menyarankan agar
Sumarni di bawa ke Klinik MA yang peralatannya lebih lengkap dan ada dokternya.
Di klinik yang cukup besar itu tekanan darah Sumarni naik lagi tetapi jalan 
lahir bayi terus membuka.
Menjelang pukul 24.00 lahirlah bayi perempuan yang diberi nama Alfiah.

Ketika Sutrisno hendak membawa isteri dan bayinya pulang, ia terkejut karena 
tagihan biaya persalinan
sebesar Rp. 1,75 juta. Sutrisno hanya membawa Rp. 900 ribu. Lantas ia meminjam 
ke ayahnya yang 
juga penarik becak. Saudara iparnya menggadaikan teve 14 inci. Jumlah uang yang 
terkumpul hanya
Rp. 1,25 juta. Kurang Rp. 450 ribu.
Meski demikian, uang itu di bawanya ke klinik, tetapi manajemen klinik 
menyatakan biaya persalinan 
harus dilunasi baru bayi bisa di bawa pulang.

25 Desember 2006 Sutrisno yang tak lulus SD pulang ke rumah mertuanya di 
Lampung Timur untuk 
meminjam uang.
Kepergiannya cukup lama, 13 hari; karena ternyata mertuanya sudah pindah ke 
Sumatera Selatan.
Ayah mertua sampai menjual barang-barang dan meminjam pada saudaranya hingga 
terkumpul 
Rp.600 ribu.

Sayang sekali biaya persalinan dan perawatan bayi membengkak menjadi Rp. 4.3 
juta. Sirnalah sudah
angan-angan Sutrisno untuk melunasi biaya tersebut.

Selama  Sutrisno mencari uang untuk pelunasan, bayi Alfiah disandera klinik. 
Sumarni menahan duka.
Payudaranya mulai mengecil karena  hampir 21 hari tak ia gunakan untuk menyusui 
bayinya. 
Payudaranya yang penuh air susu sering terasa sakit, bahkan ia sering merasa 
'meriang'; sehingga 
ia harus sering memompa ASInya keluar. ASI yang sangat dan penting dibutuhkan 
bayinya pun 
terbuang sia-sia.

Drama penyanderaan ini berakhir pada 24 Januari 2007 setelah suatu pihak teve 
swasta turut campur 
bersama Sekjen Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengajak 
Sutrisno dan isteri 
menemui pengelola klinik.
Humas Klinik MA belakangan mengaku hanya meminta Sutrisno mencari kartu miskin 
agar klinik 
bisa membebaskan dari semua biaya.

Setelah kasus diatas, beberapa hari kemudian di Tangerang terjadi lagi kisah 
penyanderaan serupa 
yang dilakukan oleh seorang bidan. Bahkan lebih lama,  hampir 3 bulan.
[Sumber : Televisi dan Suratkabar ]
----------------------------------------------------------
l.meilany
280107







[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke