Sugeng, Mbak Mei.

Saya hanya ingin meluruskan saja bahwa tahlilan 1-7 hari, 40 hr, 100 hr dan 
1000 hari itu bukanlah pengaruh Hindu dan Buddha. Selamatan seperti itu tidak 
dijumpai di negeri-negeri Hindu dan Buddha. Lalu, dari mana selamatan seperti 
itu?

Itulah aslinya ajaran JAWA. Dalam konsep sangkan paraning dumadi, orang Jawa 
menyadari bahwa pada akhirnya manusia harus bisa kembali ke pangkuan Tuhan 
dengan selamat (rahayu). Nah, agar jiwa tidak kesasar dalam perjalanan 
spiritualnya (spiritual journey-nya), maka orang-orang Jawa melakukan sot atau 
doa agar jiwa orang yang mati itu bisa meneruskan perjalanannya dan tidak 
mandek sebagai roh gentayangan. 

Jika amaliah orang itu baik, tentu jiwanya akan dengan mudah melanjutkan 
perjalanannya. Namun, dalam konsep bermasyarakat, tolong-menolong termasuk 
dalam hal spiritual merupakan ajaran JAWA. 

Nah, ketika Hindu dan Biddha masuk Jawa, ya akhirnya harus menyesuaikan diri 
agar bisa diterima. Makanya sampai hari ini, orang Hindu Bali pun tetap 
melakukan "nyepi" yang merupakan ajaran Jawa, dan sama sekali tak ada di India!

Wassalam,
chodjim
  
  ----- Original Message ----- 
  From: L.Meilany 
  To: keluarga-sejahtera@yahoogroups.com ; wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Saturday, January 27, 2007 1:25 PM
  Subject: [wanita-muslimah] Re: [keluarga-sejahtera] Pengajian setelah kematian


  'Agama baru' itu bisa diterima kalo bisa mengadopsi tradisi, kebiasaan2 yg 
sudah turun temurun berlaku.
  Kalo dekat dengan Muhammadiyah dilarang peringatan2 tahlilan :-)
  Dulu waktu ayah saya meninggal, guru2 kami di muhammadiyah berdatangan,
  bukan sekedar untuk bertakziah saja, tapi kasih instruksi; jangan lakukan 
peringatan2 apapun juga.
  Tapi lingkungan kami kan banyak NU, yg dibilang islam tradisional; jadi 
slamatan juga meski niatnya 
  sedekah. Cuma sampai hari ke 7.
  Hari ke 40, 100, setahun dana untuk slamatan itu di sedekahkan ke masjid.
  Tahlilan itu pengaruh agama Hindu- Budha.
  Jika di makam saya juga nggak pernah memakai tenaga pembaca doa bayaran.
  Nggak ngerti mereka ngomong apa?

  Dimasa sekarang tahlilan sering jadi konsumtif, dipaksakan. 
  Tahlilan itu juga sebagai bentuk bermasyarakat. Di tempat saya ada tetangga 
yg kurang bergaul; ketika
  anaknya meninggal, dia mengadakan tahlilan, diundang semua tetangga, ahli 
tahlil dari masjid. Kitapun berkenalan;
  ngobrol2....akhirnya iapun ikut kegiatan warga.
  Di Bali kegiatan/upacara2 orang2 Hindu yg banyak pernik2nya adalah bagian 
dari ibadah mereka; yg kaya yg miskin tetap juga 
  melaksanakannya. Jadi namanya ritual keagamaan tergantung dari mana 
melihatnya.
  Kalo dibikin mahal ya jadi mahal. Kan nggak usah undang ustadz bayaran yg 
terkenal, bikin buku kenangan, 
  pesan makanan kotak.

  Saya sih bisa ngerti kalo ada yg berlaku aneh untuk masalah kematian ini.
  Bikin tenda, kasih rangkaian bunga2 abadi - yg terbuat dari kain/plastik.
  Di komplek pemakanan yg suka kena banjir; pernah suatu ketika mayat yg 
tinggal tulang belulang itu ter-apung2.
  Kemudian oleh ahli warisnya jasad itu dimaksukkan ke peti besi :-)
  Jika kita ditinggalkan oleh orang2 yg paling dekat, akan selalu berperasaan 
mereka hanya 
  pindah 'rumah'. Mungkin selama sebulan, setahun akan terkenang-kenang terus.
  Tahlilan, membagusi makam, ziarah itu adalah bentuk rasa akan memiliki 
kenangan mendiang semasa hidup.
  Pemakaman orang Tionghwa sering berada di bukit karena katanya supaya lebih 
dekat ke langit/Tuhan
  Di adopsi oleh raja2 Islam Jawa di bukit Imogiri, tangganya berjumlah 1000 
untuk mencapai komplek pemakaman.

  Waktu ortu saya meninggal, saya memberesi 'hartabenda' yg tertinggal, baju2, 
buku, foto2
  Yg jika terpandang terus bikin sedih. Kata ustadz banyak kirim doa, ya 
caranya tahlilan itu.
  Katanya semakin banyak yg berdoa, maka Allah akan lebih mendengar, mungkin 
jadi brisik, kali gitu :-)
  Konon waktu2 itu adalah proses perjalanan menuju alam barzah. Dan doa2 yg 
dilantunkan banyak orang itu 
  memudahkannya.

  salam 
  l.meilany

  ----- Original Message ----- 
  From: Aisha 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Cc: keluarga-sejahtera@yahoogroups.com 
  Sent: Friday, January 26, 2007 5:48 AM
  Subject: [keluarga-sejahtera] Pengajian setelah kematian

  Alhamdulillah, terima kasih ya Mba Rini, semakin jelas sekarang bahwa memang 
mengirimkan al Fatihah untuk orang yang sudah meninggal ini memang tidak ada 
aturannya dan termasuk bid'ah.

  Dan saya tertarik dengan tulisan ke 3 yang dikirimkan mba Rini tentang 
mengupah qari untuk orang yang meninggal. Saya pernah bengong melihat kebiasaan 
di satu suku ketika orang meninggal, di kuburannya selama 40 hari diupah orang 
mengaji, untuk melindungi dari hujan atau angin di atas kuburan dipasang tenda 
dan supaya tidak gelap, dipasang lampu petromax juga. Keluarga kaya yang bisa 
melakukan acara tersebut karena yang ngaji itu harus diupah. 

  Jika tadinya obrolan ini tentang kirim al Fatihah untuk yang sudah meninggal 
atau transfer pahala menurut mba Ning, atau kirim 'amalan bacaan' menurut mba 
Lina, sekarang saya ganti dengan judul pengajian setelah kematian. Ada 
kebiasaan pengajian di rumah almarhum/ almarhumah di hari ke3, ke7, ke 40, ke 
100, ke 1000, dst. Atau dari hari pertama kematian sampai hari ke 7, dll. Ini 
saya pikir mirip dengan mengupah qari, hanya saja ini dilakukan di rumah dan 
yang datang banyak, mereka tidak diupah uang tapi diupah dengan dus makanan dan 
di hari ke 40 malah diberi kotak yang berisi biasanya sajadah, kue bolu, ikan 
sarden kalengan, minyak goreng, gelas, piring, tasbih, dll (tergantung 
kebiasaan). Khusus untuk kiai yang memimpin pengajian ini juga harus disediakan 
honor dalam bentuk uang. Saya tidak tahu apakah ini kebiasaan di Indonesia 
karena kebiasaan adat di suku-suku tertentu atau ada pengaruh ritual 
agama-agama lain sebelum Islam datang di Indonesia?

  Yang menyedihkan adalah untuk pengajian itu membutuhkan biaya besar, ini yang 
menjadi obrolan hangat saya dan ayah saya dengan keluarga besar, karena banyak 
yang menganggap bahwa ini satu keharusan atau wajib hukumnya, maka keluarga 
yang ada anggotanya meninggal berusaha dengan berbagai cara untuk bisa 
melakukan, mungkin dengan pinjam uang. Bayangkan jika ini terjadi pada keluarga 
miskin yang pencari nafkahnya hanya si ayah lalu ayah ini meninggal, anak 
istrinya mencari hutang untuk membiayai pengajian setelah kematian.

  salam
  Aisha
  ----------
  From: Rini Setyowati
  Semoga penjelasan di bawah ini bermanfaat bagi kita semua..
  wassalam
  -Rn-
  BACAAN AL-FATIHAH ATAS ORANG YANG TELAH MENINGGAL
  Oleh
  Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

  Membacakan Al-fatihah atas orang yang telah meninggal tidak saya dapatkan 
adanya nash hadits yang membolehkannya. Berdasarkan hal tersebut maka tidak 
diperbolehkan membacakan Al-Fatihah atas orang yang sudah meninggal. Karena 
pada dasarnya suatu ibadah itu tidak boleh dikerjakan hingga ada suatu dalil 
yang menunjukkan disyari'atkannya ibadah tersebut dan bahwa perbuatan itu 
termasuk syari'at Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dalilnya adalah bahwasanya Allah 
mengingkari orang yang membuat syari'at dan ketentuan dalam agama Allah yang 
tidak dizinkanNya.

  Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

  "Artinya : Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang 
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah. Sekiranya tak ada 
ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan 
sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang amat pedih" 
[Asy-Sura : 21]

  Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya belaiu 
bersabda.

  "Artinya : Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintahnya 
dari kami maka amalan tersebut tertolak"[1]

  Apabila tertolak maka termasuk perbuatan batil yang tidak ada manfaatnya. 
Allah berlepas dari ibadah untuk mendekatkan diri kepadaNya dengan cara 
demikian.

  Adapun mengupah orang untuk membacakan Al-Qur'an kemudian pahalanya diberikan 
untuk orang yang telah meninggal termasuk perbuatan haram dan tidak 
diperbolehkan mengambil upah atas bacaan yang dikerjakan. Barangsiapa mengambil 
upah atas bacaan yang dilakukannya maka ia telah berdosa dan tidak ada pahala 
baginya, karena membaca Al-Qur'an termasuk ibadah, dan suatu ibadah tidak boleh 
dipergunakan sebagai wasilah untuk mendapatkan tujuan duniawi.

  Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

  "Artinya : Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya 
kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna 
dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan" [Huud : 15]
  [Nur 'Alad Darbi, Juz I, I'dad Fayis Musa Abu Syaikhah]
  -----
  BACAAN AL-FATIHAH UNTUK KEDUA ORANG TUA
  Oleh
  Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

  Membacakan surat Al-Fatihah untuk kedua orang tua yang telah meninggal atau 
yang lain merupakan perbuatan bid'ah karena tidak ada dasarnya dari Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya Al-Fatihah boleh dibacakan untuk 
orang yang meninggal atau arwah mereka, baik itu orang tuanya atau orang lain. 
Yang disyariatkan adalah mendo'akan bagi kedua orang tua dalam shalat dan 
sesudahnya, memohonkan ampunan dan maghfirah bagi keduanya dan sejenisnya yang 
termasuk doa yang bisa bermanfaat bagi yang sudah meninggal.
  [Nur 'Alad Darbi, Juz III, I'dad Fayis Musa Abu Syaikhah]
  ----
  MENGUPAH QARI' UNTUK MEMBACA AL-QUR'AN
  Oleh
  Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

  Mengupah seorang qari' untuk membacakan Al-Qur'an bagi orang yang telah 
meninggal termasuk bid'ah dan makan harta manusia dengan tidak benar. Karena 
bila seorang qari' membacakan Al-Qur'an dengan tujuan untuk mendapatkan upah 
atas bacaannya, maka perbuatannya termasuk kebatilan, karena ia menginginkan 
harta dan kehidupan dunia dari perbuatannya tersebut. Allah Subhanahu wa Ta'ala 
telah berfirman.

  "Artinya : Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya 
kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna 
dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak 
memperoleh di akhirat, kecuali Neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang 
telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan" 
[Huud : 15-16]

  Perkara ibadah -termasuk membaca Al-Qur'an- tidak boleh dilakukan dengan 
tujuan duniawi dan mencari harta, akan tetapi harus dilakukan dengan tujuan 
untuk medekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

  Seorang qari' yang membaca Al-Qur'an dengan diupah, maka tiada pahala 
baginya, dan bacaannya tidak akan sampai kepada orang yang telah meninggal. 
Harta yang dikeluarkan merupakan harta yang sia-sia, tidak bermanfaat. Kalaulah 
harta itu digunakan untuk suatu sedekah atas nama orang yang meninggal, sebagai 
ganti dari mengupah seorang qari', maka inilah perbuatan yang disyariatkan dan 
bisa mendatangkan suatu manfaat bagi orang yang telah meninggal.

  Maka menjadi kewajiban bagi para qari untuk mengembalikan harta yang telah 
mereka perolah dari manusia sebagai upah atas bacaan yang mereka lakukan atas 
orang yang telah meninggal, karena menggunakan harta tersebut tergolong makan 
harta manusia dengan cara tidak benar. Dan hendaknya mereka takut kepada Allah 
Subhanahu wa Ta'ala dan memohon kepadanya untuk memberikan rizki kepada mereka 
dengan cara selain cara yang haram tersebut.

  Bagi setiap muslim hendaknya tidak makan harta manusia dengan cara yang tidak 
disyariatkan sedemikian ini. Benar bahwa membaca Al-Qur'an termasuk salah satu 
ibadah yang utama, barangsiapa membaca satu haruf dari Al-Qur'an maka akan 
mendapatkan suatu kebaikan, dan suatu kebaikan mendapatkan balasan sepuluh kali 
lipat. Tapi itu bagi orang yang niatnya benar dan hanya menginginkan keridhaan 
Allah semata serta tidak menginginkan suatu tujuan duniawi.

  Mengupah seorang qari untuk membacakan Al-Qur'an bagi orang yang telah 
meninggal : Pertama : Termasuk perbuatan bid'ah, karena tidak ada dari para 
salaf shalih yang melakukannya. Kedua : Bahwa perbuatannya termasuk memakan 
harta manusia dengan cara tidak benar, karena suatu ibadah dan ketaatan tidak 
boleh mengambil upah karenanya.

  [Nur 'Alad Darbi, Juz III, I'dad Fayis Musa Abu Syaikhah]

  [Disalin dari kitab 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur'an edisi Indonesia 70 Fatwa 
Tentang Al-Qur'an, Penulis Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerjemah Ahmad 
Amin Sjihab, Penerbit Darul Haq
  Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action= . p;bagian=
  ---------- 
  From: musa_008 

  [Non-text portions of this message have been removed]

  [Non-text portions of this message have been removed]



   

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke