Sedih sekali membaca cerita ini. Insya Allah, sang suami lah yang bertanggungjawab 100% atas apa yang terjadi dalam keluarga itu. Dan karena memang suami adalah pemimpin dalam keluarga, maka dia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya itu. Sedangkan untuk si isteri, bila keputusannya ini merupakan baktinya pada suami, insya Allah, Allah akan memberinya tempat kembali yang sebaik-baiknya di sisi-Nya. Semua yang sudah terjadi adalah Qodho dari Allah SWT yang seharusnya diterima dengan tawakal. Inna lillaahi wa inna ilaihi rooji'uuna. Aisha : apa iya begitu berkuasanya laki-laki dalam Islam sehingga berhak untuk memutuskan berapa jumlah anaknya tanpa peduli kesehatan dan kemampuan istrinya? Laki-laki dalam Islam punya tanggungjawab untuk menjadi pemimpin dalam keluarganya. Dan tanggungjawab selalu berdampingan dengan hak (responsibility comes with authority). Jadi, dalam segala hal urusan keluarga, memang suami yang punya final say. Dalam process pengambilan keputusan itu lah, tentunya seorang suami selayaknya mempertimbangkan banyak hal. Dalam hal anak, misalnya, kondisi isteri dan aspirasi/kesulitan isteri harusnya menjadi pertimbangan dia. Bukankah Islam mengajarkan untuk tidak meninggalkan generasi yang lemah ? Artinya, bila ingin memproduksi generasi baru, produksilah generasi yang tangguh, cerdas, kuat, dst. Isteri harus difasilitasi, kesehatannya harus diperhatikan, gizinya dicukupi sehingga memang generasi-generasi tangguh lah yang nanti akan ditinggalkan di dunia. Jadi, menurut pemahaman saya, BENAR bahwa laki-laki punya hak untuk membuat keputusan akhir saat planning jumlah anak (actualnya kan qadha-nya ALlah), tapi laki-laki juga HARUS mempertimbangkan semua aspek, sehingga tidak malahan meninggalkan generasi yang lemah. Aisha : Apakah betul dalam Islam, wanita itu tidak punya hak untuk memutuskan kapan dia siap untuk hamil dan menunda kehamilan? Dalam Islam, wanita diberi hak untuk mengemukakan pendapatnya, kepada siapa saja, termasuk kepada suami. Termasuk masalah planning untuk menambah anak, membeli rumah, membeli mobil, belanja, dst. Seorang wanita saat mengajukan pertimbangan-pertimbangannya saat planning untuk menambah anak, tentunya harus menggunakan pertimbangan-pertimbangan yang syar'i, misalnya ingin melengkapkan persusuan, dsb. Suami dalam hal ini tetap yang memberikan keputusan akhir, dan nantinya akan menanggung segala akibat dari keputusan itu, termasuk juga dimintai pertanggungjawabannya di akhirat atas keputusannya itu. Bukan si wanita. Aisha : Apakah di Islam ada kewajiban agar setiap keluarga punya anak laki-laki?
Tidak ada kewajiban ini sama sekali. Bahkan suatu keluarga yang memiliki 3 anak wanita, dan bersabar, serta bisa mendidik 3 anak wanitanya ini menjadi wanita yang shalehah, maka akan diganjar dengan Syurga. Subhanallah. Wallahu'alam bishowab. Wassalaam, -Ning ________________________________ From: wanita-muslimah@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Aisha Sent: Thursday, February 15, 2007 6:09 PM To: wanita-muslimah@yahoogroups.com; keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Subject: [wanita-muslimah] Hak Memproduksi Anak Temans, Saya menemani ibu ke rumah duka, temannya ibu kehilangan anak dan cucunya. Dengan mata sembab akibat menangis, ibu itu menceritakan penyebab kematian anaknya. Anaknya ini sudah punya 3 anak yang berumur 5 tahun, 3 tahun dan 1 tahun. Semuanya perempuan, lalu suaminya ngotot minta istrinya hamil lagi karena ingin anak laki-laki (padahal dia bukan laki-laki Batak atau China yang kata orang sangat menghargai anak laki-laki). Istrinya tidak mau hamil lagi karena kondisi ekonomi mereka buruk dan kecapean mengurus 3 anak-anaknya tanpa pembantu. Tapi suaminya ngotot dengan alasan bahwa dia sebagai kepala rumah tangga adalah seorang pemimpin yang dalam agama berhak menentukan jumlah anak dan kalau tidak nurut suami maka istrinya dilaknat, masuk neraka terbawah atau apa gitu, ucapan ibu itu tidak jelas karena dia cerita sambil menangis. Jadi ceritanya si istri nurut, hamil lagi, tapi ternyata pas melahirkan kondisi tubuhnya lemah, kurang gizi dan mungkin terlalu lelah karena hamil sambil mengurus 3 balita tanpa pembantu. Dia bisa melahirkan bayi perempuan (lagi), tapi lalu meninggal dan tidak lama kemudian bayinya juga meninggal. Sambil memandang 2 jenazah yang ditutup kain batik, ibu dan bayinya itu, saya merenung, apa iya begitu berkuasanya laki-laki dalam Islam sehingga berhak untuk memutuskan berapa jumlah anaknya tanpa peduli kesehatan dan kemampuan istrinya? Apakah betul dalam Islam, wanita itu tidak punya hak untuk memutuskan kapan dia siap untuk hamil dan menunda kehamilan? Apakah di Islam ada kewajiban agar setiap keluarga punya anak laki-laki? salam Aisha [Non-text portions of this message have been removed]