http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=feature%7C-29%7CX

Selasa, 2 Januari 2006
Bila Kulit Putih dan Bibir Tipis menjadi Ukuran 
Oleh: Iwu Dwisetyani Utomo

Mengapa kecantikan perempuan Indonesia selalu diukur dari kulit putih sempurna, 
badan yang langsing-kurus, bibir tipis, dan vagina yang rapet? Coba simak 
iklan-iklan di TV, koran, majalah, dan tabloid wanita yang beredar. Banyak 
sekali iklan yang ditujukan untuk perempuan yang erat kaitannya dengan 
kecantikan fisik. Iklan tersebut selalu berkaitan dengan berbagai cara untuk 
memutihkan kulit, menghilangkan selulit, menipiskan bibir, membesarkan 
payudara, mempersempit vagina, menurunkan berat badan—hanya beberapa yang 
mengiklankan tentang cara untuk menambah berat badan, dan banyak juga iklan 
yang memberikan jasa untuk jimat-jimat agar disayangi suami/pacar atau bos. 
Banyak juga ragam iklan yang tujuannya untuk mempercantik perempuan secara 
fisik. 

Mengapa ukuran kecantikan perempuan hanya dilihat dari keadaan fisik? 

Bukankah seorang perempuan juga mempunyai hati nurani, intelegensia, 
kepribadian dan ‘inner beauty’ yang dapat menjadikannya mempunyai kecantikan 
yang abadi? 

Tidak semua perempuan dilahirkan cantik sebagaimana image yang sudah 
dikonstruksikan secara sosial. Apakah perempuan yang dilahirkan dengan tidak 
membawa kecantikan tersebut harus hidup dengan perasaan rendah diri dan mencoba 
untuk ‘mengkonstruksikan kecantikannya’ dengan berbagai cara yang mungkin saja 
dapat merugikan kesehatannya? 

Ambil contoh bintang film, pemain sinetron dan bintang iklan Indonesia. Umumnya 
yang dapat dikatakan berhasil, terus dipakai dan dijadikan idaman penonton 
adalah perempuan Indonesia yang berwajah ‘kebarat-baratan’ alias blasteran. 
Mereka adalah perempuan yang berkulit putih, hidung macung dan mempunyai badan 
yang tinggi semampai. Demikian juga dengan ratu atau puteri Indonesia, yang 
memang selalu saja mempunyai kriteria fisik seperti di atas. Jarang sekali 
perempuan yang mempunyai wajah asli Indonesia dapat meraih mahkota yang 
dipertandingkan. 

Ukuran kecantikan perempuan Indonesia adalah sesuatu yang sangat subjektif dan 
berbeda dari orang ke orang. Namun, dapat dikatakan bahwa laki-laki Indonesia 
umumnya akan mengatakan bahwa perempuan cantik adalah kalau kulitnya kuning 
langsat atau putih, berbadan langsing dan tinggi, hidung mancung, rambut 
panjang dan tebal, dan sebagainya. Bagi laki-laki yang sudah menikah, seorang 
isteri yang ideal juga harus pintar melayani suami di ranjang dan mempunyai 
vagina yang tetap seperti perawan, sempit, kering dan tidak berlendir serta 
perat walaupun sudah melahirkan anak. Nah, semua ini sebenarnya adalah 
konstruksi sosial yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi dan 
dimanfaatkan oleh industri dan media massa untuk mengeruk keuntungan. 

Sebenarnya ukuran kecantikan seorang perempuan dan ketampanan seorang laki-laki 
adalah satu bentuk konstruksi sosial yang kita pelajari sejak kecil dan 
diturunkan dari generasi ke generasi. Peran sosial budaya yang diasosiasikan 
dengan peran gender ini disosialisasikan oleh orangtua, keluarga, famili, 
tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat, juga oleh pendidikan melalui 
sekolah dan guru-guru serta negara. Tanpa kita sadari konstruksi sosial 
tersebut sudah merasuk ke dalam pikiran, tata nilai yang ada dalam diri dan 
aliran darah kita. 

Karena konstruksi sosial tersebut kita pelajari, apakah mungkin untuk 
“unlearnt” atau menetralisasi konstruksi sosial yang berlaku dalam masyarakat 
dan ada dalam pikiran kita? Seharusnya jawabannya adalah simple, yaitu “tentu 
saja bisa”. Peran-peran gender yang sudah mengkristal di masyarakat dan dalam 
diri kita seharusnya dapat diubah, tetapi karena yang terkonstruksi dengan 
nilai, tradisi dan kebiasaan gender adalah bukan saja diri kita, tetapi seluruh 
penduduk yang tinggal di Indonesia, dan tentunya juga negara lain maka untuk 
mengubah tatanan itu tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Untuk 
menetralisasi atau unlearnt peran atau nilai gender yang sudah dikonstruksikan 
tersebut akan memakan waktu yang lama. Laki-laki dan perempuan harus juga mau 
mengubah kebiasaan serta perilaku yang dapat mengurangi ketimpangan antara 
laki-laki dan perempuan dalam usaha untuk meredefinisikan pengertian gender 
dalam masyarakat. 

Menurut seorang pakar feminis Indonesia Julia Suryakusuma dalam seminar tentang 
bukunya yang berjudul Sex, Power and Nation Revisited yang diadakan di 
Indonesian Study Group, Australian National University, Canberra, memang 
sepertinya tidak mungkin untuk menetralkan hal-hal tersebut, apakah itu nilai 
atau ideologi yang sudah mendarah daging dalam diri kita, terutama yang 
berhubungan dengan gender. Ambil saja contoh yang diberikan oleh Julia, 
seumpamanya Julia mempunyai seorang suami yang berfungsi sebagai house husband 
dan berperan sebagai bapak rumah tangga, sementara Julia harus membanting 
tulang di luar rumah untuk membiayai keluarga, maka ia akan tidak bahagia. Hal 
ini disebabkan gender rules yang ia pelajari adalah peran suami bertanggung 
jawab terhadap kelangsungan ekonomi keluarga, walaupun perempuan boleh saja 
mengembangkan kariernya dan secara mandiri menambah kesejahteraan ekonomi 
keluarga. Tetapi, menurutnya, bisa saja seorang laki-laki Indonesia menjadi 
seorang feminis dan mempunyai sifat egaliter terhadap tugas-tugas keluarga yang 
berhubungan dengan pekerjaan domestik rumah tangga seperti memasak, cuci piring 
dan lain sebagainya. 

Bagaimana dengan keadaan lainnya, misalnya nilai-nilai yang sudah diterima oleh 
masyarakat bahwa laki-laki boleh berselingkuh, mempunyai simpanan isteri muda 
dan tetap mempertahankan perkawinannya dengan isteri yang pertama? Apakah peran 
yang demikian juga akan dapat diterima oleh masyarakat jika seorang perempuan 
menginginkan pacar atau suami yang jauh lebih muda, atau hanya menginginkan 
part time partner/husband dalam hubungan percintaannya sebagai layaknya 
laki-laki mempunyai isteri simpanan? Apakah hal ini dapat diterima oleh 
masyarakat dan kalangan religius? Jawabannya, tentu saja, tidak. Hal ini sangat 
bertentangan dengan konstruksi sosial yang sudah diturunkan oleh nenek moyang 
kita sejak berabad-abad yang lalu. Sehingga nilai yang berlaku adalah laki-laki 
boleh poligami, mempunyai banyak hubungan affairs, menjalin hubungan seksual 
atau percintaan dengan gadis yang jauh lebih muda, sedangkan hal tersebut tidak 
dapat ditoleransi bila terjadi pada perempuan. 

Demikianlah kekompleksan konstrusi sosial dan oleh karena itu akan sulit untuk 
diubah. Akan tetapi, menurut saya, karena konstruksi sosial adalah sesuatu yang 
dipelajari, maka saya sangat percaya bahwa konstruksi sosial tersebut dapat 
diubah dan dinetralkan kembali atau – ‘unlearnt’ agar hubungan antara perempuan 
dan laki-laki lebih egaliter dan tidak terjadi ketimpangan status sosial 
ekonomi atara perempuan dan laki-laki. Tentunya upaya itu akan memakan waktu 
lama. Konstruksi sosial yang ‘baru’ harus dimulai dari rumah, di mana ibu dan 
ayah tidak membeda-bedakan tugas rumah tangga dan tanggung jawab yang diberikan 
pada anak laki-laki maupun perempuan. Selain itu, pendidikan kesetaraan antara 
laki-laki dan perempuan harus juga dimasukkan dalam kurikulum sekolah seperti 
yang telah mulai dilakukan di beberapa Sekolah Menengah Atas di Jakarta. 

Kalangan bisnis baik industri besar maupun kecil, media cetak, TV dan radio 
melalui advertensi-advertensi yang dipaparkan secara terus menerus telah 
memanfaatkan peran dan definisi gender yang berlaku di negeri kita untuk 
mempropagandakan berbagai produk yang berhubungan dengan kecantikan dan 
kesehatan perempuan. Sedemikian ahlinya mereka sampai membuat banyak kaum hawa 
menjadi korban iklan dan produk yang menjanjikan jaminan kecantikan bagi 
pemakainya tersebut, biarpun tanpa menghiraukan dampak kesehatan yang mungkin 
dapat ditimbulkan dari produk dan jasa yang dipasarkan. 

Coba tinjau iklan-iklan yang berbunyi: Anda ingin kulit putih seperti Michael 
Jackson, kulit putih sempurna, putih bersih, lebih putih-lebih PeDe, tampil 
cantik seputih anganku, bibir tipis, hidung mancung, membesarkan payudara, 
puting susu warna merah jambu, menguruskan badan, meninggikan badan, vagina 
rapet seperti perawan dan sebagainya. Bukankah kulit putih seperti Michael 
Jackson sudah merupakan sesuatu yang tidak normal dan ‘penyakit’—karena kulit 
Michael Jackson aslinya adalah hitam pekat? 

Sudah banyak berita yang mempublikasikan tentang kegagalan operasi kecantikan 
yang dilakukan di salon-salon kecantikan, ada juga pengguna jasa operasi 
kecantikan yang berakhir dengan keadaan yang cukup fatal. Masih ingat operasi 
payudara di salon kecantikan yang membawa maut, atau operasi hidung yang gagal 
karena bukan ditangani oleh dokter? Contoh di atas adalah upaya yang banyak 
dilakukan oleh perempuan Indonesia dari berbagai status ekonomi yang dapat 
membahayakan kesehatannya. Mereka rela mengorbankan kesehatannya demi 
kecantikan fisik yang artifisial. 

Hal yang memprihatinkan juga adalah merebaknya medikalisasi praktik gurah 
vagina dan operasi vagina yang ditangani oleh tenaga-tenaga medis. Memang dalam 
hal ini bila dikerjakan oleh tenaga medis tentunya lebih terjamin prosedurnya. 
Tetapi apakah hal-hal ini perlu untuk dilakukan? Bukankan ini justru akan 
melegitimasi konstruksi sosial yang sudah berlaku dan semakin memperkuat 
nilai-nilai sosial bahwa vagina yang rapet, peret dan kering akan memberi 
kepuasan seksual yang optimal pada laki-laki? Nilai keperawan seorang gadis 
sangat menentukan hubungan perkawinannya tetapi tidak demikian dengan 
keperjakaan. Buktinya merebaknya klinik-klinik dokter spesialis yang memberikan 
pelayanan operasi pemulihan selaput keperawanan. Padahal, dampaknya dapat saja 
sangat merugikan perempuan. 

Banyak studi yang sudah dilakukan di luar negeri mengatakan bahwa vagina yang 
kering dapat memperbesar kemungkinan terjadinya goresan-goresan pada vagina 
yang dapat memperbesar kemungkinan perempuan tertular SDTs/HIV/AIDS. 
Perkumpulan ginekologi Amerika juga menganjurkan perawatan vagina secara 
natural dan sederhana, di mana perempuan harus menjaga kebersihan dan keadaan 
kering/tidak basah di sekitar vagina dan mencucinya dengan air dan bila 
menggunakan sabun sebaiknya menggunakan sabun dengan kadar ph yang rendah. 
Vagina secara alami mempunyai mekanisme untuk menjaga kebersihan dan 
kesehatannya. Bahan-bahan, produk-produk atau jamu-jamuan yang digunakan 
langsung pada vagina dan daerah sekitarnya justru dapat merusak mekanisme 
alamiah ini.* 


Dr. Iwu Dwisetyani Utomo adalah staff peneliti dan dosen pascasarjana di 
National Centre for Epidemiology and Population Health serta di Demography and 
Sociology Program, Australian National University, Canberra, Australia. Beliau 
mengajar Gender and Population serta Social Research Design dan meneliti dalam 
bidang kesehatan reproduksi serta gender, kesehatan reproduksi remaja dan 
kesehatan sexual di Asia Tenggara. Hubungan korespondensi dapat ditujukan 
melalui e-mail, [EMAIL PROTECTED] 
 
           



=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke