Quote:
"..
Poligami bukanlah suatu yang sentral dalam Islam. Dia bukan merupakan
kewajiban, dan di sisi lain bukan suatu yang haram.

Bagi para pendukungnya, poligami juga tidak bisa dilihat secara
eksklusif di ruang kosong. Meski diperbolehkan, poligami tidak bebas
dari ajaran dan hukum Islam yang lain: hukum waris perempuan dan anak,
pengakuan sosial, konsep Islam tentang keadilan dan seterusnya.

Menurut saya, tidak bisa seorang lelaki melakukan poligami hanya
dengan dalih "agama membolehkan" atau "karena Nabi melakukannya".
Banyak lelaki Islam secara manipulatif mengatakan bahwa poligami
adalah ibadah, mengikuti sunnah Nabi. Ini ngawur dan jahat.
.."

Contoh dialog soal Poligami yang 'berbobot'.. :-)
Saya sepakat dengan Bang Farid, khususnya soal 'ngawur dan jahat'nya
pihak yang melulu berdalih soal dibolehkan agama dan Nabi melakukannya..
Artinya, (ajaran) agama menjadi instrumen penekan kalangan lain yang berbeda
pandangan/penafsiran.

Sikap gentle-man amat diperlukan dalam mengambil tindakan.. dengan segenap
argumen pembelaan yang logis dan ksatria..  Stop 'menggunakan' Tuhan sebagai

beking secara serampangan.. Yang mengakibatkan pihak lain malah menjadi
antipati terhadap Tuhan dan ajaran agama itu sendiri..

CMIIW..

Wassalam,

Irwan.K

---------- Forwarded message ----------
From: Farid Gaban
Date: Feb 18, 2007 4:50 PM
Subject: Re: Berpoligami di Hari Kasih Sayang (buat Ida)


Ida,

Perkawinan (poligami atau monogami) adalah KONTRAK, sebuah perjanjian.
Dia merupakan instrumen perempuan atau lelaki untuk mencapai
kebahagiaan.

Saya setuju, ada banyak penafsiran tentang teks dalam Al Quran dan
Hadist yang hegemonik laki-laki. Penafsiran-penafsiran seperti ini
layak dibongkar.

Keberdayaan perempuan, menurut saya, dicerminkan oleh kemampuannya
untuk secara independent memilih, termasuk memilih setuju poligami.

Perempuan berhak memilih pekerjaan, memilih suami, memilih model
keluarga ideal dan seterusnya. Semua faktor (sosial, ekonomi, hukum,
politik, budaya) yang menghalangi perempuan untuk memilih secara
independent perlu diperjuangkan untuk dihilangkan.

Perempuan yang terpaksa menjual tubuhnya karena himpitan ekonomi
(tidak hanya hanya pelacur pinggir jalan, tapi juga model iklan dan
sales promotion girls), misalnya, adalah juga perempuan yang tidak
independen. Faktor ekonomi seperti kemiskinan juga harus diperjuangkan
untuk dihilangkan untuk mencegah munculnya "penjualan dan eksploitasi
perempuan".

Masdar Mas'udi adalah salah satu yang berusaha membongkar
penafsiran-penafsiran sempit yang hegemonik itu. Dia mendukung
penafsiran bahwa seorang perempuan boleh memimpin (ketika banyak orang
Islam mengharamkan Megawati Soekarnoputri jadi presiden); dia juga
setuju perempuan memperoleh waris sama besar dengan lelaki. Dalam hal
itu, saya sependapat dengannya.

Tidak ada toleransi yang tulus dari perempuan, jika tidak ada
toleransi yang sama dari kaum lelaki.

Saya bukan suami yang baik, dan bukannya tidak pernah membuat
kesalahan. Tapi, saya selalu berusaha untuk menghormati istri saya,
termasuk pilihan-pilihannya, bahkan dalam soal praktek beragama. Saya
tidak pernah meminta, apalagi memaksa, istri saya memakai jilbab atau
membaca teks-teks yang mendukung poligami. Saya membolehkan dia pergi
ke mana suka, meski tanpa izin saya, dan menjalankan kegiatannya
secara independent, atau mencari ilmu setinggi-tingginya.

Hegemoni tidak hanya muncul dari penafsiran sempit terhadap agama,
tapi juga konvensi-konvensi sosial, termasuk bahkan konstruksi sosial
yang dipromosikan kaum feminis di Barat.

Kritik orang terhadap poligami justru meletakkan poligami seolah-solah
merupakan isu sentral dalam Islam. Padahal poligami nampaknya juga bukan
merupakan isu yang menjadi kepedulian mayoritas Muslimah.

Lihat hasil studi Gallup Poll ini:
http://media.gallup.com/WorldPoll/PDF/PerspectivesOfWomenInTheMuslimWorld.pdf

Ketika perempuan muslim ditanya, dalam pertanyaan terbuka, tentang apa
saja yang menjadi kerisauan mereka yang utama, jawaban mereka: "a lack
of unity among Muslim nations, violent extremism, and political and
economic corruption."

Saya kira hasil studi ini menunjukkan adanya gap besar antara
pandangan kaum feminis di Barat dengan kaum Muslimah yang katanya
ingin mereka perjuangkan hak-haknya. Isu tentang jilbab atau poligami
yang sering dipandang sebagai simbol penindasan terhadap perempuan
Islam tidak secara signifikans muncul dalam studi itu.

[Studi ini tidak dengan sendirinya bisa menjadi dalih menolak semua
bentuk perjuangan kaum feminis untuk pemberdayaan perempuan. Soalnya
adalah prioritas: mana yang harus didahulukan, dan pemberdayaan
seperti apa yang dibutuhkan].

Poligami bukanlah suatu yang sentral dalam Islam. Dia bukan merupakan
kewajiban, dan di sisi lain bukan suatu yang haram.

Seperti perkawinan normal, dia hanya merupakan salah satu
sarana/instrumen bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan. Bahkan jika
seorang perempuan memilih hidup sendiri, tanpa kawin tapi bahagia,
biarlah itu menjadi pilihannya.

Bagi para pendukungnya, poligami juga tidak bisa dilihat secara
eksklusif di ruang kosong. Meski diperbolehkan, poligami tidak bebas
dari ajaran dan hukum Islam yang lain: hukum waris perempuan dan anak,
pengakuan sosial, konsep Islam tentang keadilan dan seterusnya.

Menurut saya, tidak bisa seorang lelaki melakukan poligami hanya
dengan dalih "agama membolehkan" atau "karena Nabi melakukannya".
Banyak lelaki Islam secara manipulatif mengatakan bahwa poligami
adalah ibadah, mengikuti sunnah Nabi. Ini ngawur dan jahat.

Nabi Muhammad melakukan banyak hal, tidak cuma poligami, yang tidak
sepenuhnya bisa kita tiru. Seorang lelaki harus menimbang banyak
faktor, menimbang nalar dan perasaan, termasuk perasaan pasangannya.

Perkawinan dalam Islam (monogami atau poligami) pada dasarnya adalah
kontrak, sebuah akad. Ini merupakan perjanjian, yang dilakukan dua
pihak dan disaksikan orang lain (dimensi sosial). Perkawinan/hubungan
gelap, yang tanpa saksi, justru sering membuat perempuan dan anak-anak
ada dalam posisi yang lebih vurnerable baik secara hukum maupun finansial.

Islam yang saya pahami sangat terbuka terhadap kecenderungan manusia.
Agama ini tidak hanya membolehkan poligami, tapi juga perceraian.

Jika dua pihak tidak lagi sepakat, jika perkawinan justru menjadi
neraka, kenapa harus dipertahankan hanya karena agama tidak
membolehkan penganutnya bercerai?

Seorang suami, menurut saya, harus menghormati istrinya jika misalnya
sang istri menginginkan membuat perjanjian di awal perkawinan bahwa
suami tidak akan berpoligami. Dan jika perjanjian dilanggar, akad
(perkawinan) dua pasangan ini sudah gugur dengan sendirinya.

Perkawinan (poligami atau monogami) adalah KONTRAK. Dia merupakan
instrumen perempuan atau lelaki untuk mencapai kebahagiaan. Pilihan
ada di tangan masing-masing.
salam,
fgaban

--- In , "idakhouw" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Bung Farid,
> Kalau wacananya kebahagiaan, yah, case closed lah... apa yang bisa
> diperdebatkan dari tema yang sangat subjektif demikian?
>
> Syukurlah kalau Bung Farid memiliki seorang istri yang sangat toleran.
> Ini jadi masuk persoalan pribadi lagi, tapi saya ingin sedikit
> komentar: sikap submisive perempuan memang tidak selalu berhubungan
> dengan tingkat pendidikan/intelektualitas. Dalam hal tema poligami
> sikap submisive itu terkait dengan menghegemoninya ideologi patriarki
> dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal tafsir atas teks2
> suci (saya tidak berani lebih jauh membahas ini, semoga ada diantara
> milisers yang mengerti tafsir patriarkis atas teks2 suci Islam yang
> bersedia mencerahkan).
>
> Saya bukan hendak berpolemik, hanya ingin berpendapat dari sudut orang
> luar: terus terang, praktek poligami oleh para muslimin, dirayakannya,
> dukungan atasnya, membuat buruk wajah Islam (yah saya mengerti kalau
> dikatakan halal, tapi toh juga ada resistensi dari kelompok Islam lain).
>
> Sekedar contoh: ada seorang gadis Kristen yang ditentang keras orang
> tuanya ketika hendak dipersunting seorang muslimin. Alasannya ternyata
> bukan pertama2 karena perbedaan agama, sang ayah berujar: "soalnya
> lelaki Islam itu kan boleh punya istri empat".
>
> Akhirnya mereka bisa menikah dan, Alhamdulillah, mereka rukun2 saja
> sebagai suami-istri sampai sekarang (masing2 tetap dengan agamanya:
> istri tetap Kristen, suami tetap Islam).
> Saya hanya berharap, maraknya poligami semoga tidak membuat sang suami
> terinspirasi mencari istri muda.
>
> Wassalam,
> Ida Khouw
>
>
> --- In , "Farid Gaban" <faridgaban@> wrote:
> >
> > Ida,
> >
> > Pada akhirnya bukan poligami atau tidak, tapi apakah kita bisa hidup
> > bahagia dalam keluarga.
> >
> > Ada banyak keluarga poligami berakhir seperti dalam "Raise The Red
> > Lantern", film China yang dibintangi Gong Li. Tapi, ada juga orang
> > yang menemukan kebahagiaan dalam poligami.
> >
> > Maaf, Ida, saya termasuk yang setuju poligami dengan syarat istri
> > pertama harus mengizinkan secara tulus dan istri kedua mau menjadi
> > teman yang pertama. Yang ketiga? Lho, yang kedua aja belum....
> >
> > Dan karena saya bukan tokoh atau pejabat publik, berarti saya boleh
> > suatu ketika kelak berpoligami, 'kan?
> >
> > Di rumah, saya dan istri saya sering secara rileks saja membicarakan
> > isu poligami ini, yang kita perdebatkan di sini secara menegangkan.
> > Istri saya juga menerima konsep poligami.
> >
> > Setahu saya dia bukan perempuan bodoh dan inferior. Dia perempuan yang
> > independent dari segi apapun, dengan tingkat pendidikan lebih baik
> > dari saya. Begitu pula secara finansial.
> >
> > Dia juga rileks membicarakan perempuan lain. Jika nonton MetroTV dan
> > kebetulan Rahma Sarita membawakan acara, misalnya, dia selalu
> > berteriak. "Mas... Mas! Ada Rahma Sarita!" Ini gara-gara saya pernah
> > bilang "Waduh! Sintal dan cantiknya orang ini...."
> >
> > Dia pula yang suka menggoda anak kami yang masih duduk di Sekolah
> > Dasar: "Ulya mau nggak punya ibu baru?" Dan kami akan ketawa karena
> > jawaban Ulya: "Punya satu ibu saja sudah pusing... apalagi dua!"
> >
> > Meski tahu istri saya akan mengizinkan, saya tidak mau memutuskan
> > masalah seperti ini dengan gampangan. Dari banyak aspek, so far, saya
> > sendiri menganggap diri saya non-eligible untuk menerima konsekuensi
> > hidup berpoligami.
> >
> > Ini tentu saja pengalaman pribadi yang tidak bisa digeneralisasi.
> > Tapi, intinya:
> >
> > Tidak selalu poligami berarti menindas perempuan atau membuat satu
> > pihak tidak happy. Saya punya setidaknya satu teman yang berpoligami
> > karena inisiatif si istri; dan satu teman lagi yang dua istrinya bisa
> > menjadi kawan karib (istri keduanya orang Barat, orang Amerika yang
> > pernah bekerja di beberapa perusahaan Silicon Valley).
> >
> > Tapi, agar fair, saya juga melihat ada beberapa keluarga poligami yang
> > benar-benar berantakan. Suami yang seenak perut sendiri kawin
> > berkali-kali tanpa mempertimbangkan perasaan istri dan kewajiban
keluarga.
> >
> > Saya punya teman yang berpoligami tanpa memberitahu dan meminta izin
> > istri, bahkan dia memalsukan surat izin sang istri. Dalam keluarga
> > poligami yang lain, isinya hanya intrik dan pertengkaran, sama seperti
> > yang digambarkan dalam "Raise The Red Lantern".
> >
> > Keluarga poligami, seperti juga keluarga normal, bisa menjadi neraka
> > atau surga di dunia. Islam memberi jalan untuk poligami. Tapi, manusia
> > lah yang memilih.
> >
> > Pada akhirnya bukan poligami atau tidak, tapi apakah kita bisa hidup
> > bahagia dalam keluarga.
> >
> > salam,
> > fgaban
> >
> >
> > --- In , "idakhouw" <idakhouw@> wrote:
> > >
> > > Bung Farid,
> > > Saya sengaja tidak berkomentar apa2 dan tidak menuntut apa2 menyangkut
> > > kehidupan privat Bung Ade (sikap yang sama juga ketika menyangkut Aa
> > > Gym. Silakan Anda cek komentar2 saya) baik di milis ini maupun di
milis lain.
> > >
> > > Kalau saya menyayangkan, itu benar. Saya menganggap Bung Ade (dan juga
> > > Bung Masdar) sebagai penulis yang mencerahkan dari kelompok Islam,
> > > namun terus terang dengan kenyataan poligami ini, walaupun lagi2 saya
> > > tidak mau mencampuri kehidupan privat mereka, membuat respek saya
berkurang.
> > >
> > > Akhirul kata, bolehkah saya mendoakan semoga Anda tidak hanya berucap
> > > "belum berpoligami", tapi juga bertekad "tidak akan berpoligami" ?
:-))
> > >
> > > Ida.
.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke