Halo pak Janoko :), Pak Janoko ini jadi mengingatkan saya ma seseorang yg duluuu katanya demen ma saya karena 'status' saya yg anak yatim. Niatnya sih baik, karena agama menganjurkan utk melindungi anak yatim, apalagi yg perempuan. Cuma, saya agak 'lucu' mendengarnya. Kesannya kok saya merana banget deh. Tapi emang gitu. Dari kecil, teman2 ibu kalau melihat saya kaya melihat anak yg merana, padahal sayanya alhamdulillah gak merasa merana2 banget. Paling kangen ma bapak, kadang2. Soalnya, kalo kata ibu sosial saya, orang itu harus selalu bersyukur, sesedikit apapun. Syukur-syukur ntar nikmatnya ditambah, hehehe... kalo ma Tuhan kan pasti ada pamrihnya. Jarang orang berdoa dan berbuat amal kagak ada maunye, ya gak? :P.
Di sisi lain, perempuan2 'anak yatim' sekarang, ada juga yg mandiri. Mungkin karena perempuan sekarang udah punya pilihan. Mau ambil jalur 'mainstream', melindungi dirinya lewat perkawinan. Atau, jalur 'alternatif', memandirikan dirinya. Atau bisa aja, menggabungkan dua jalur tadi, kawin sambil memandirikan diri sendiri, hehe. Bukan lantas jalur yg satu lebih 'mulia' atau lebih 'tinggi' dibanding lainnya. Itu masalah pilihan pribadi aja (menurut saya). Sama hal dng pilihan utk membiayai perkawinan sendiri, misalnya. Penyelenggaraan pernikahan yg mewah dan mahal itu kan tradisi, yg bisa dilawan :) Yg mainstream2 emang kadang2 perlu dilawan (menurut gue, hehehe..) Sementara yg emang gak memiliki uang yg banyak utk menikah mewah, sekarang banyak model2 perkawinan sederhana. Yg penting, sah secara agama (bagi mereka yg masih memandang ini perlu dan emang hukum perkawinan di negara kita masih menjadikan ini sbg syarat), dicatat oleh negara, asas publisitasnya dipenuhi. Jangan kaya Angel Lelga yg demen nikah sirri, apalagi sama bapak2 yg mapan, meski punya istri/keluarga (abis emak gw dari kemarin ngomongin si Angel mulu :P Dasar emak2 korban infotainment :P). Soal waris ya demikian juga. Pada dasarnya, waris kan masuk hukum privat -yg memang membuka peluang utk memilih sistem hukum privat yg mana yg akan dipilih, asal konsisten agar tidak terjadi yg namanya forum shopping (yg tau soal ini, mohon dibenarkan). Prakteknya pun bervariasi, ada yg menggunakan lembaga2 resmi yg disediakan negara, ada yg berdasarkan kesepakatan di antara mereka. Kalau ada yg protes, ya harus diajukan ke pengadilan. Karena memang masuk wilayah privat. Spt halnya pernikahan. Meski negara sudah menyediakan institusinya, toh masih banyak yg nikah sirri. Bedanya kan di kekuatan hukumnya. Kalau dilegalisasi sama institusi negara ya jelas lebih kuat. Ini tindakan antisipatif aja utk mengatasi permasalahan yg mungkin muncul di kemudian hari. Tapi kalau para pihak sepakat, ya gak ada masalah. Emang ada yg menjamin bahwa aturan hukum waris Islam dijalankan oleh pemeluknya? Saya sendiri, gak terlalu mengikatkan diri sama 'hukum Islam', karena memasukkan kakak saya yg kresten dlm daftar ahli waris. Pertimbangannya simply karena khawatir aja. Kalo ma kakak gw yg cowo sih, gak terlalu khawatir, hehehe... Bukan karena cewe dan cowonya tapi karena personality dan kondisi keuangannya aja. Dulu waktu bapak saya meninggal, gak dapet warisan juga. Mungkin karena kita masih kecil2, ibu saya meng-take over uang warisan. Kemudian dia 'mismanagement' uangnya, ya nasib deh. Sekarang sisa dikit, saya bilang, mending buat si ibu aja, yg kesehatannya emang menurun. Atau buat apaan kek, yg bikin dia hepi. Kalaupun dipake sapaaa gitu diantara kita, ya emang karena dia lagi butuh. Soal ikhlas gak ikhlas sih, itu tergantung masing2. But sometimes, things are what things are. Ikhlas itu, saya rasa 50% cuek, sisanya (sebenarnya) gak terlalu peduli dan melupakan :) Soal sukses dan kaya, dulu sempet ngobrol2 ngalur ngidul ma temen. Intinya sih, kami sepakat, kayanya orang kaya kami2 ini gak bakal jadi orang kaya... mungkin terbiasa dng gaya hidup 'bohemian', hehehe... ya gpp juga. Jurus ngelesnya sih, define 'kaya' first. Orang kan punya artian yg berbeda2 utk kata 'kaya' :) Maap ngalor ngidul, =H --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, jano ko <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Jano - ko = Lain Mia, lain jano - ko Ayahnya saya adalah pengacara angkatannya Adnan Buyung Nasution, ayah saya juga mempunyai andil dalam mendirikan LBH. Biasa,....sebagai pengacara yang idealis dan pemberani tentu saja ayah saya banyak pengagumnya ( terutama rakyat kecil ) tapi juga ada yang tidak suka. Sejak kecil saya sudah terbiasa menghadapi "psy war" alias perang saraf dari "lawan - lawan" ayah saya. Tentu saja mereka tidak berani berhadapan langsung dengan ayah saya, mereka mengalihkan sasarannya kepada adik - adik saya. Singkat cerita, adik saya yang perempuan betul-betul kena dan jadi korban persekongkolan mafia tersebut, tidak sedikit dana yang harus dikeluarkan untuk menyelamatkan adik saya, ratusan juta harus melayang untuk menyelamatkan adik saya yang perempuan tersebut, sayalah yang menjadi ujung tombak dalam penyelesaian masalah adik perempuan saya dan sayalah yang menjadi ujung tombak dalam menghadapi keroyokan para mafia tersebut. Singkat cerita lagi, saat kedua orang tua saya meninggal dunia, saya tidak mendapatkan waris, saya tidak pernah protes dan tidak pernah mempermasalahkan waris, saya tidak pernah minta ganti rugi kepada adik saya yang perempuan yang telah memakai uang keluarga ratusan juta rupiah dan saya tidak pernah protes hukum waris Islam karena saya yakin bahwa kesuksesan saya tidak ditentukan waris dari ortu tapi ditentukan oleh pertolongan dari Allah SWT. Saya nikah dengan modal sendiri ( tidak minta tolong kepada orang tua), dan saya melamar sendiri mantan anak yatim yang kemudian jadi istri saya ( padahal saat itu saya sudah dijodohkan dengan seorang wanita pilihan dari seorang Ulama yang merupakan guru dari Gus Dur/Megawati/Mbak Tutut, tapi saya memilih si mantan anak yatim tersebut ) Sekarang karyawan saya cukup banyak, bisa membeli beberapa tanah, dan saya sampai sekarang menghidupi adik saya yang perempuan. Nasehat jano-ko kepada teman-teman, kalau ingin sukses berpedomanlah kepada Al Qur'an dan Hadis dan Sunah Rasul dan jangan sekali-kali merubah hukum-hukum Allah SWT, bisa terjadi yang menderita adalah anak cucu dari insan-insan yang merubah firman-firman Allah SWT tersebut. Pertanyaan yang sangat sederhana tapi cerdas, apakah mungkin mahluk mempunyai kemampuan yang sama dengan penciptanya ? Apakah mungkin manusia bisa memahami semua keputusan dan kehendak Allah SWT dalam menentukan hukum-hukum untuk manusia ? Ingat, Al Qur'an itu tidak hanya untuk manusia saja, tapi juga untuk seluruh Alam semesta yang juga bertasbih kepada Allah SWT, setiap usaha manusia untuk merubah firman-firman Allah SWT akan membuat Alam Semesta bereaksi yang tentunya reaksi yang tidak menguntungkan bagi manusia. Selamat malam