Dear akhi Sir yang berbahagia..... ===> Wrote : Istilah "memelintir" sepertinya kurang pas dalam kasus ini. Juga makna"ketaatan". Karena pada prinsipnya, secara umum bisa difahami bahwa kita semua 'taat'; hanya 'cara' menaatinya berbeda. Misalnya begini :Perintah dasarnya adalah memberikan derma (shodaqoh) ada yang memberikan derma setengah dari penghasilan bulanannya, ada yang seprapat ada yang sepuluh persen dan lain2. Lebih jauh lagi, ada yg suka berderma kepada fakir miskin di jalanan, pada pelajar yatim piatu/miskin, ada yg suka membangun mesjid bahkan dilapisi emas :=))
Her : Tidak mungkin ada cara lain untuk menunjukkan ketaatan terhadap suatu hukum, hanya ada satu cara yaitu sesuai dengan textnya. Terlebih dalam hal hukum waris yang sangat jelas text qur'annya dan tidak bisa ditafsirkan lain bahwa 2:1 ya 2:1. Jadi satu2nya cara mentaati hukum waris ya membagi waris menjadi 2:1. Dalam hal perintah shodaqoh memang dalam text qur'an tidak disebutkan besarnya shodaqoh yang harus diberikan kepada yang berhak, jadi ketika akhi Sir mengeluarkan shodaqoh 1%, 10%, 30% atau 50% dari harta milik akhi Sir sendiri itu tidak bisa disebut sebagai " cara lain " dalam mentaati perintah. Akhi Sir punya kekuasaan penuh terhadap harta milik anda sendiri termasuk berapa besar anda mau keluarkan shodaqohnya, ini berbeda dengan harta waris dimana ahli waris tidak/belum punya hak penguasaan terhadap harta waris kecuali setelah harta tersebut dibagikan. Tindakan pembagian harta waris mendahului hak penguasaan ahli waris terhadap harta tersebut, jadi sebelum ada pembagian harta waris maka para ahli waris tidak berhak mengatur / menguasai harta tersebut karena pada hakekatnya harta tersebut bukan milik mereka. ===> Wrote : Yang membagi warisan secara 2:1 (pa/pi) secara ketat dengan yg setelah membagi dan berembug lagi untuk berhibah; dua-dua-nya TAAT. Saya selalu mengingatkan pada diri sendiri, kehidupan ini TIDAK SELURUHNYA bisa diakomodir oleh fiqih, apalagi fiqih tahun jebot. Tidak ada aturan yg bisa mengantisipasi 'masa depan' karena 'masa depan' termasuk keghaiban dimana manusia hanya sedikit mengetahuinya. Her : Apakah menurut akhi Sir masalah waris termasuk masalah ghoib??????...tentu saja tidak bukan? masalah waris ini sangat jelas dan sederhana. Dan terkait dengan tindakan para ahli waris yang saling menghibahkan, menurut saya itu bagus dengan catatan bahwa yang melatar belakangi tindakan itu adalah semata mata karena melihat kondisi ekonomi anggota ahli waris lainnya yang kurang baik dibandingkan dengan anggota lainnya dan bukan karena adanya anggapan bahwa pembagiannya tidak adil. ===> Wrote : kembali ke masalah TAAT; ketaatan kepada aturan lalu lintas juga beda, misal aturannya kecepatan maksimal 80 km per jam; tidak semua orang memacu mobilnya 79 km per jam, tentu ada yg 50, 55, 60, 65 dst. Semuanya taat dan tidak ada tujuan memelintir aturan. Her : Bagaimana jika peraturan kecepatanannya tertulis 80Km/jam? kata"max" dihilangkan...bisakah suatu kendaraan melaju dengan kecepatan dibawah atau diatas 80Km/jam disebut taat?. Akhi Sir jangan menyandingkan antara ketetapan waris 2:1 dengan kecepatan max 80Km/jam, keduanya bisa disandingkan jika didepan angka 2 ditambahi kata "max" sehingga menjadi " max 2:1 ". Maka ketika harta waris dibagi menjadi misalnya 1:1, 1/4:1, 3/4:1 atau 1 3/4:1 maka pembagian tersebut bisa disebut taat. Cuma masalahnya text qur'an tidak menyebutkan kata "max" didepan angka 2. Salam Her SIR BATS <[EMAIL PROTECTED]> wrote: On 2/21/07, sriwening herpribadi <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Dear akhi Sir Bats.... > > ===> Akhi Sir wrote : dari diskusi marathon dengan aktor/aktris pak her, > chae, mia, rani, wikan, arcon, hmna dan rekan lain. Saya menangkap pak her > tetap merasa tentram menjalankan semua ketentuan teks terlebih dahulu. Misal > dalam soal warisan 2:1 pak her tidak ingin menggugatnya, meski setelah teks > terlaksana para penerima waris berembug lagi dan menghibahkan warisan masing2 > sesuai rasa keadilan yg dianut. > === > Bagi saya ini bukan masalah merasa tentram atau tidak.....tetapi ini masalah > bagaimana seharusnya saya bersikap terhadap pilihan dan konsekuensi yang > timbul dari pilihan tsb ketika saya memilih islam sebagai agama > saya....tepatnya ini masalah ketaatan terhadap hukum agama dan sikap ini juga > akan berimbas pada ketaatan terhadap hukum lainnya ( baca : hukum positip ) > yang berlaku....kalau terhadap hukum agama saja kita sudah berani memelintir > sana sini maka bisa dipastikan kita juga tidak segan2 memelintir hukum > positip yang berlaku... Dear Pak Her, Istilah "memelintir" sepertinya kurang pas dalam kasus ini. Juga makna "ketaatan". Karena pada prinsipnya, secara umum bisa difahami bahwa kita semua 'taat'; hanya 'cara' menaatinya berbeda. Misalnya begini : Perintah dasarnya adalah memberikan derma (shodaqoh) ada yang memberikan derma setengah dari penghasilan bulanannya, ada yang seprapat ada yang sepuluh persen dan lain2. Lebih jauh lagi, ada yg suka berderma kepada fakir miskin di jalanan, pada pelajar yatim piatu/miskin, ada yg suka membangun mesjid bahkan dilapisi emas :=)) Yang membagi warisan secara 2:1 (pa/pi) secara ketat dengan yg setelah membagi dan berembug lagi untuk berhibah; dua-dua-nya TAAT. Saya selalu mengingatkan pada diri sendiri, kehidupan ini TIDAK SELURUHNYA bisa diakomodir oleh fiqih, apalagi fiqih tahun jebot. Tidak ada aturan yg bisa mengantisipasi 'masa depan' karena 'masa depan' termasuk keghaiban dimana manusia hanya sedikit mengetahuinya. kembali ke masalah TAAT; ketaatan kepada aturan lalu lintas juga beda, misal aturannya kecepatan maksimal 80 km per jam; tidak semua orang memacu mobilnya 79 km per jam, tentu ada yg 50, 55, 60, 65 dst. Semuanya taat dan tidak ada tujuan memelintir aturan. salam -- ST SABRI ------------------------ No Anti Microsoft, No against Apple, Just a linux lover. --------------------------------- Don't get soaked. Take a quick peak at the forecast with theYahoo! Search weather shortcut. [Non-text portions of this message have been removed]