RIAU pOS

      Poligami seperti Komedi yang Pahit 
           
      23 Februari 2007 Pukul 08:54  
      Masalah poligami sepertinya terus saja menjadi perbincangan yang hangat. 
Belakangan ini kasus poligami lagi menimpa sejumlah artis ibu kota, sepertinya 
akan menjadi run news yang menyedot perhatian publik. 

        Sebenarnya poligami dibenarkan Alquran, bahkan poligami telah ada dan 
terjadi tanpa batas pada masyarakat jahiliyah sebelum Alquran turun. Justru 
Alquran turun untuk memberikan batasan, terutama yang bersifat kualitatif, 
yaitu keadilan. 

      Dalam buku Bangga Jadi Perempuan milik Faqiruddin Abdul Kodir, ada 
beberapa pertimbangan (al-munasabah) yang harus diperhatikan dalam memaknai 
ayat poligami. Untuk mengenali pertimbangan-pertimbangan pemaknaan ayat 
poligami, harus dilakukan pembacaan secara lengkap terhadap penggalan ayat 
sebelum dan sesudahnya, juga dengan ayat lain yang terkait berikut alur bahasa 
penyusunan, serta konteks di mana dan kapan ayat tersebut turun. Pada saat yang 
sama prinsip-prinsip Alquran dalam membicarakan relasi laki-laki dan perempuan 
juga harus disertakan sebagai bahan acuan pemaknaan. 

      Di Tengah Kondisi Sosial
      Yang memutuskan kapan poligami bisa dilakukan atau tidak adalah 
masyarakat, sepanjang persyaratan dan kondisi memang memungkinkan, dengan cara 
melakukan penelitian atas kondisi tersebut dan meminta pendapat mereka sejauh 
mana keadilan bisa ditegakkan atas kewewenangan poligami.

      Dalam konteks ini, poligami memang halal, tetapi harus diletakkan pada 
kondisi dan persyaratan seperti yang direkam ayat Al-Nisa. Pada saat yang sama, 
harus juga ditegaskan bahwa sesuatu yang halal dalam fiqih bisa saja dilarang 
ketika nyata-nyata mendatangkan kemudharatan kepada banyak pihak. Apa lagi jika 
melenceng dari persyaratan yang telah digariskan. 

      Artinya, ketika poligami sebagai solusi terhadap pemeliharaan anak-anak 
yatim ternyata mendatangkan persoalan sosial, maka bisa saja ia dilarang dan 
pemeliharaan anak-anak yatim itu tidak harus dilakukan dengan cara mengawini 
ibu-ibu mereka. Dalam hal ini, yang berhak menentukan apakah poligami itu tepat 
atau tidak adalah masyarakat sendiri, dengan melakukan penelitian dan jajak 
pendapat. Dan dalam hal ini berarti sama sekali tidak melanggar syari'at atau 
Alquran.

      Dalam ayat tersebut juga disebutkan, bahwa yang boleh dikawini dari 
ibu-ibu anak yatim itu adalah mereka yang mau dan rela (ma thaba lakum), bukan 
dengan cara dibohongi, atau ditipu, apalagi dipaksa sekendak hati. Ini 
menunjukkan bahwa seseorang perempuan bisa menolak dan tidak suka dipoligami, 
dan sama sekali tidak berarti menolak atau melecehkan syari'at atau Alquran.

      Ada satu ayat lagi yang juga sering dikaitkan dalam pembicaraan mengenai 
poligami. Ayat ini, sebenarnya merupakan peringatan terhadap pasangan 
suami-istri yang sedang menghadapi masalah. Biasanya sang suami dalam 
menghadapi konflik dengan sang istri akan cenderung kepada perempuan lain dan 
ingin berpoligami. 

      Ayat ini memperingatkan suami yang seperti itu untuk tidak berpoligami, 
karena ia tidak akan bisa berbuat adil terhadap perempuan-perempuan yang akan 
dipoligami. Lalu, solusi yang ditawarkan Alquran adalah perbaikan hubungan 
antara suami dan istri, kemudian saling menjaga diri. Kalau masih sulit, solusi 
yang paling pahit adalah bercerai. Maka ada rasa serba salah, bagi perempuan 
poligami adalah komedi yang pahit.

      "Kamu sekalian tidak akan bisa berbuat adil terhadap perempuan-perempuan 
(yang akan kamu poligami), sekalipun kamu sangat menginginkan.  Maka janganlah 
kamu cenderung secara penuh (kepada perempuan selain istrimu), karena akan 
mengakibatkan istrimu terkatung-katung (tanpa perhatian).  Jika kamu 
memperbaiki (hubungan dengan istrimu) dan menjaga diri, sesungguhnya Allah 
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka (pada akhirnya) 
berpisah, maka Allah akan mencukupkan setiap orang (dari mereka) dengan 
rezki-Nya. Dan sesungguhnya Allah itu Maha Pemurah lagi Maha Bijaksana.".  (QS. 
Al-Nisa, 4: 129-130).

      Antara Poligami dan Binatang
      Ternyata, faktor genetik juga ikut andil dalam terjadinya perselingkuhan 
dan poligami. Mayoritas mahluk hidup memang lahir dengan bawaan tersebut. 
Kebanyakan mahluk hidup memang tidak terbiasa hidup bermonogami. Secara 
genetik, mayoritas mahluk hidup pun tidak diprogram untuk hidup monogami alias 
hidup dengan satu partner saja. Bahkan, dari sekitar 5.500 jenis mamalia hanya 
3-5 persen yang dikenal bisa hidup monogami.

      Walau demikian, hampir tidak ada jenis mahluk hidup yang mengenal 
monogami murni. Walau beberapa mahluk hidup selalu diciptakan untuk 
berpasangan, pada kenyataannya tetap saja mereka tetap mencari kesempatan untuk 
''ke luar jalur" sesekali. 

      Dalam kehidupan mahluk hidup secara umum, terdapat tiga jenis monogami. 
Pertama monogami seksual; hanya melakukan aktivitas seksual pada satu partner 
saja selama satu musim kawin. Kedua, monogami sosial; mahluk hidup mempunyai 
satu pasangan untuk berkembang biak, tapi tetap memiliki partner lain untuk 
bersosialisasi dan juga beraktivitas seksual. Ketiga, monogami genetik; hanya 
memiliki satu partner untuk bereproduksi.

      Hampir semua jenis burung umumnya menganut gaya hidup monogami sosial. 
Masing-masing memiliki pasangan, tapi tetap melakukan aktivitas seks dengan 
partner lain. Dalam sebuah penelitian, burung betina yang dipasangkan dengan 
pejantan yang telah disteril masih bisa tetap menghasilkan telur baru.

      Burung merpati yang dianggap sebagai simbol kesetiaan saja masih bisa 
tidak setia, apalagi angsa yang kerap identik dengan simbol cinta. Spesies 
jenis ini juga kerap berselingkuh bahkan ''bercerai" dengan pasangannya.

      Burung Nasar juga termasuk mahluk hidup yang setia. Alasannya karena pola 
reproduksi mereka. Pasangan burung Nasar bergantian mengerami telur mereka. 
Masing-masing bertugas selama 24 jam. Selama delapan bulan awal kelahiran bayi 
burung Nasar, ayah dan ibunya bergantian memberi makan. Karena itu ikatan 
pasangan pada burung Nasar cukup kuat.

      Intinya, monogami akan terjadi jika mahluk hidup merasa memerlukan 
situasi yang membuat pasangan harus tetap bersama. Dipercaya, manusia sejak 
dahulu hidup bermonogami karena membutuhkan komitmen dan kerjasama yang panjang 
untuk membesarkan keturunannya serta membangun keluarga.***


      Hj Suratiny Sulesdianingrum, anggota DPRD Kota Pekanbaru dari Fraksi 
Demokrat. 
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke