Gun berkata =

Dan sebenarnya, 
 > bila pemerintah serius ingin melawan terorisme--yang tidak hanya 
 > melulu dengan kekuatan senjata--maka perlu meluaskan wacana dan contoh 
 > seperti Fauzi Isman ini.

==================

Jano - ko =

Gun, tolong dong gue dikasih tahu definisi terorisme itu apa dan tolong 
dijelaskan parameter yang you gunakan itu apa untuk melabeli seseorang / negara 
itu teroris ?
 
Ngono dulu.

Selamat siang.


---ooo0ooo---

Ari Condrowahono <[EMAIL PROTECTED]> wrote:                                  
ah, oom gun sok humanis.  menurut rekan rekan ISTAC, humanisme bukan 
 berasal dari islam, dan humanisme tidak kompatibel dengan islam.
 
 howgh kalo kata winnetou dan oom hmna.
 
 ---=GuN=-- wrote:
 >
 > Salam,Silakan dibaca penuturan Fauzi Isman, Mantan Napol dan Aktivis 
 > Kelompok Warsidi Talangsari Lampung. Perubahan ideologi dan sikap 
 > Fauzi Isman ini menunjukkan akhir ideologi kekerasan. Dan sebenarnya, 
 > bila pemerintah serius ingin melawan terorisme--yang tidak hanya 
 > melulu dengan kekuatan senjata--maka perlu meluaskan wacana dan contoh 
 > seperti Fauzi Isman ini.
 >
 > -GuN-
 >
 >
 > http://islamlib. com/id/index. php?page= article&id= 1217 
 > <http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1217>
 > Mengapa Saya Berubah? Oleh Fauzi Isman Kolom | 05/03/2007 Tapi setelah 
 > menjalani hukuman penjara selama lebih kurang 10 tahun, fakta 
 > menunjukkan kepada saya bahwa doktrin agar lebih mengutamakan jamaah, 
 > Amir atau Imam daripada orangtua dan keluarga itu sangat perlu 
 > dikoreksi. Mencurigai dan menganggap mereka sebagai potensi musuh atau 
 > dalam bahasa jamaah lainnya sebagai orang yang belum memperoleh 
 > hidayah hanya karena mereka belum bergabung ke dalam jamaah, jelas 
 > tidak benar dan menyesatkan.
 > Satu dari banyak ayat suci Alquran yang sering didengung-dengungka n 
 > sebagai doktrin jihad kelompok Negara Islam Indonesia (NII) dulu dan 
 > Jamaah Islamiah (JI) kini adalah ayat 23- 24 surah At-Tawbah yang 
 > berbunyi:
 > "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan 
 > saudara-saudaramu sebagai pemimpin-pemimpinmu , jika mereka lebih 
 > mengutamakan kekafiran atas keimanan. Dan barangsiapa di antara kamu 
 > menjadikan mereka sebagai pemimpin-pemimpinmu , maka mereka itulah 
 > orang-orang yang zalim. Katakanlah: 'Jika bapak-bapak, anak-anak, 
 > saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang 
 > engkau usahakan, perniagaan yang engkau khawatirkan merugi, dan 
 > rumah-rumah tempat tinggal yang engkau sukai, adalah lebih kamu cintai 
 > daripada Allah dan Rasul-Nya dan (lebih utama bagimu daripada) 
 > berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan 
 > keputusan-Nya' . Dan Allah tidak memberi petunjuk orang-orang fasik."
 > Ayat di atas selalu dijadikan dasar indoktrinasi agar aktivis jamaah 
 > NII/JI lebih mengutamakan jamaah, Amir atau Imamnya daripada orangtua, 
 > isteri, anak dan kerabatnya. Terlebih kalau kaum kerabatnya tersebut 
 > tidak bergabung di dalam kelompok jamaahnya, maka mereka akan dianggap 
 > sebagai laisa minna---bukan golongan kami. Jangankan meminta pendapat 
 > dan restu orangtua untuk pergi berjihad, menceritakan kegiatan jamaah 
 > kepada mereka pun dianggap sebagai dosa besar dan pengkhinatan.
 > Ringkasnya, orang tua, isteri, anak dan kerabat, juga dianggap sebagai 
 > "musuh" potensial sampai mereka bergabung ke dalam jamaah. Mereka 
 > mengambil pembenaran dari kisah pengkhianatan putera Nabi Nuh, dan 
 > isteri Nabi Luth untuk menegaskan kebebaran doktrin mereka.
 > Saat memutuskan "jihad" dengan membentuk kamp latihan militer di 
 > Talangsari Lampung untuk melatih para mujahid yang disiapkan melawan 
 > Pemerintahan "Darul Kuffar" (Negara Orang-orang Kafir) Republik 
 > Indonesia pada awal tahun 1989, saya tak pernah membicarakan hal ini, 
 > apalagi meminta restu kedua orangtua saya. Keluarga saya termasuk 
 > laisa minna dalam kategori jamaah kita waktu itu. Lebih-lebih, ayah 
 > saya adalah pensiunan TNI.
 > Karena setia pada jamaah, waktu tertangkap lalu dipenjara, saya 
 > menolak tawaran pembebasan yang diajukan dr. Tarmizi Taher, Sekjen 
 > Departemen Agama waktu itu, yang secara implisit mengutarakannya di 
 > Markas Badan Intelijen Strategis. Saya lebih memilih penjara. Saya 
 > sama sekali mengabaikan perasaan dan pendapat orangtua dan isteri 
 > saya. Penolakan itu hanya disebabkan saya mencurigai motif di balik 
 > tawaran itu serta khawatir dituduh mengkhianati perjuangan jamaah.
 > Tapi setelah menjalani hukuman penjara selama lebih kurang 10 tahun, 
 > fakta menunjukkan kepada saya bahwa doktrin agar lebih mengutamakan 
 > jamaah, Amir atau Imam daripada orangtua dan keluarga itu sangat perlu 
 > dikoreksi. Mencurigai dan menganggap mereka sebagai potensi musuh atau 
 > dalam bahasa jamaah lainnya sebagai orang yang belum memperoleh 
 > hidayah hanya karena mereka belum bergabung ke dalam jamaah, jelas 
 > tidak benar dan menyesatkan.
 > Jeruji penjara membuktikan kepada saya bahwa isteri, anak dan 
 > orangtualah orang-orang yang paling menderita akibat perbuatan jihad 
 > saya. Mereka jugalah orang-orang yang paling setia dan istiqamah 
 > mengunjungi dan menunggui saya dalam menjalani kehidupan membosankan 
 > di balik tembok penjara. Sementara teman satu jamaah, pergi entah 
 > kemana, meninggalkan saya sunyi sendiri, hanya ditemani lembabnya sel 
 > penjara.
 > Bukan hanya terhadap doktrin jihad di atas penjara mengajak saya untuk 
 > berpikir-ulang. Penjara juga memberikan ruang dan waktu bagi saya 
 > untuk merenungi dan memikirkan kembali, serta mengoreksi pandangan, 
 > pemahaman, dan indoktrinasi atas nama Islam yang selama ini saya 
 > yakini kebenarannya.
 > Penjara juga memberi kesempatan yang luas kepada saya untuk bergaul 
 > dengan napol dari beragam keyakinan ideologis seperti Rewang, Sukatno, 
 > H. Ismail Pranoto, Soebandrio, DR Thomas Wainggai, Xanana Gusmao, 
 > Tengku Ahmad Nasirudin, AM Fatwa, Ir Sanusi, Nuku Sulaiman, dan 
 > Budiman Sudjatmiko. Juga pergaulan dengan napi white and blue collar 
 > crime seperti Pak De, Slamet Gundul, Dicky Iskandar Dinata, Eddy 
 > Tanzil, Arswendo Atmowiloto, Hartono (germo Prapanca) dan sebagainya.
 > Dari mereka saya justru belajar banyak tentang keragaman dan bagaimana 
 > cara beradaptasi dalam keragaman. Di samping hal tersebut, zaman pun 
 > kini telah berubah dan ikut mengoreksi cara pandang saya. Rezim 
 > Soeharto yang represif dan militeristik telah tumbang. Reformasi telah 
 > menciptakan iklim politik yang lebih kondusif sehingga masyarakat 
 > dapat mengekspresikan ideologi dan aspirasi politiknya yang 
 > berbeda-beda tanpa rasa takut diintimidasi apalagi dipenjara.
 > Memang perubahan tersebut masih jauh dari yang diharapkan. Tapi 
 > menurut saya, dalam kondisi politik seperti saat ini, tidak ada lagi 
 > alasan pembenar bagi siapa pun untuk melakukan cara-cara kekerasan 
 > apalagi teror untuk memperjuangkan ideologi dan aspirasi politik 
 > Islam. Bukankah wacana tentang negara Islam kini bebas dibicarakan dan 
 > diperjuangkan melalui cara-cara yang demokratis?! Itu hal yang amat 
 > mustahil dilakukan di zaman Orde Baru.
 > Seandainya Asmar Latin Sani meminta restu orangtuanya lebih dulu 
 > sebelum melakukan aksi bom bunuh diri di Kuningan, Jakarta, saya yakin 
 > peristiwa Bom Kuningan yang merenggut nyawa banyak orang tak berdosa 
 > tersebut tidak akan pernah terjadi. Bukankah surga terletak di bawah 
 > telapak kaki ibu? Bukankah rida Allah bergantung juga pada rida 
 > orangtua---bukan tergantung rida Panglima Komandemen Wilayah atau Amir 
 > Majelis Mujahidin?!
 > ** Mantan Napol dan Aktivis Kelompok Warsidi Talangsari Lampung
 >
 >
 > Mohamad Guntur Romli
 > Jl. Utan Kayu No. 68H Jakarta
 > Telp: (021) 8573388 Fax: (021) 851 6868
 >
 
 [Non-text portions of this message have been removed]
 
 
     
                       

 Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to