Beras Berklorin, Berpotensi Mencederai Kesehatan
Oleh: Posman Sibuea Lektor Kepala di Jurusan Teknologi Pangan Unika St Thomas Sumatera Utara, Medan Hari-hari belakangan ini ditemukan beras berklorin di sejumlah pasar tradisional di Tangerang, Banten. Namun, sampai saat ini pemerintah belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai lembaga mana yang bertanggung jawab menarik beras yang berpotensi mencederai kesehatan konsumen itu. Selama ini konsumen pangan selalu dirugikan karena tidak mengetahui apa yang terkandung di dalam makanan yang dibeli. Sebutlah, misalnya, tahu dan mi basah berformalin atau minuman isotonik berpengawet tetapi tidak disebut dalam label. Jika tidak ada tindakan tegas terhadap produsennya, kejadian serupa akan terus terjadi dan konsumen akan selalu menjadi korban. Padahal, makanan berpengawet dan beras yang diputihkan dengan pemutih tekstil adalah bentuk teror pangan berkelanjutan. Kasus beras berklorin menjadi momen penting untuk menyorot keamanan pangan yang acap menjadi masalah keseharian kita. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. "Food terrorism" Bahan pangan yang terkontaminasi zat berbahayaditambahkan secara sengaja atau tidak sengajadapat dikategorikan sebagai ancaman terorisme baru dalam pengertian food terrorism. Ini adalah suatu bentuk ancaman ketakutan yang ditebar lewat pangan berpengawet yang kerap diproduksi oleh segelintir orang yang hendak meraup untung di atas derita orang lain. Di negeri George W Bush, Amerika Serikat, food terrorrism bukan lagi istilah baru. LeeAnne Jacson (2002), penasihat kebijakan kesehatan FDA mengatakan, he question is not if, but when food terror will occur", seiring dengan tragedi kemanusiaan 11 September 2001 yang menewaskan ribuan orang. Tragedi ini menetaskan ketatnya standar prosedur impor pangan yang dikeluarkan oleh FDA ke Amerika Serikat. Pihak Departemen Pertahanan dan Keamanan AS menganggap komoditas pangan amat rentan digunakan sebagai media teror. Pemerintah AS telah mengeluarkan The Bioterorrism Act atau Undang-Undang Anti Terorisme Biologi tahun 2002 guna mengantisipasi ancaman food terrorism. Jika Pentagon yang dianggap "steril" dari kontaminan teroris bisa dijebol, penggunaan senjata pemusnah massal melalui makanan tidak lagi berbicara seandainya", tetapi "kapan" akan terjadi. Dengan menggunakan kuman penyakit seperti salmonella pada telur dan mad cow pada sapi, para teroris bisa leluasa mengacau keamanan dunia. Bertolak dari hipotesis ini, pemerintah harus terpanggil melakukan pengawasan keamanan pangan secara ketat, baik produk dalam negeri maupun impor, guna mencegah berbagai hal yang tak diinginkan. Bahan pangan yang beredar di pasaran harus mendapat jaminan keamanannya agar tidak berisiko membawa penyakit pada hewan dan manusia. Diskriminatif Di Indonesia masih kerap terjadi keamanan pangan diskriminatif. Di satu sisi guna mencapai nilai ekspor yang sebesar-besarnya, Indonesia berupaya untuk mematuhi segala persyaratan baku mutu keamanan pangan negara pengimpor. Sebaliknya untuk konsumen dalam negeri, baku keamanan pangan belum sepenuhnya dipatuhi. Realita ini menjadi aspek diskriminasi keamanan pangan terhadap konsumen pangan domestik. Masalah impor daging dan tepung tulang dari negara yang belum bebas sapi gila dapat menjadi contoh kian runyamnya masalah diskriminasi ini. Trauma formalin pada awal tahun 2006 belum pulih karena hingga kini pemerintah belum mampu menetapkan jenis pengawet baru untuk menggantikan formalin. Persoalan baru keamanan pangan sudah muncul, yakni sejumlah pedagang beras dengan enteng tanpa beban menggunakan pemutih tekstil untuk memutihkan beras sisa impor yang berwarna kusam. Kebutuhan pangan untuk penduduk, yang jumlahnya terus meningkat, mendorong pelaku industri pangan kerap melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan daya awet produknya. Penggunaan zat pengawet yang tidak termasuk food grade terus digunakan karena pasar mendukung. Makanan diposisikan semata komoditas ekonomi untuk meraup untung sehingga penggunaan bahan tambahan pangan melebihi takaran bahkan menambahkan bahan yang tidak semestinya tetap marak. Setiap hari kita berhadapan dengan teror yang bersumber dari makanan. Berulangnya berbagai kasus makanan berpengawet dan penyeludupan daging ilegal merupakan bentuk teror mental yang membunuh. Ancaman kematian pun terus mengintai dari balik makanan yang dikonsumsi, baik di rumah, kantin sekolah, kantor maupun di berbagai pesta. Pemerintah telah gagal melindungi warga dari serbuan makanan berpengawet dan beras yang diputihkan dengan pemutih tekstil untuk kemudian mati secara perlahan. Peredaran berbagai makanan berpengawet yang tak aman bagi kesehatan bisa melahirkan monster yang memiliki daya destruktif yang mengerikan. Solusi atas perilaku horor ini tak bisa secara parsial dengan hanya memberikan aturan main lewat perundang-undangan, tetapi akar masalah adalah tipisnya moralitas dan soal teladan yang kurang. Ketika moral sudah terdegradasi oleh berhala uang, aturan seberat apa pun sanksinya tetap bisa diakali sebab dengan mudah menghalalkan segala cara. Kini dibutuhkan habitus baru yang mau menanggalkan manusia lama kita guna mengasah penajaman kearifan dan hati nurani untuk mengalahkan keserakahan yang mencari untung di atas derita orang lain. Langkah ini patut dimulai dari para pemimpin yang menakhodai bangsa ini dengan bekerja melayani rakyat secara jujur dan jauh dari kontaminasi virus korupsi yang membusukkan hati nurani mereka. http://kompas.com/ [Non-text portions of this message have been removed]