Surat Sutera Putih:
   
   
   
  MEMPERKOKOH KESADARAN BERBAHASA
   
   
  1.
   
   
  Sampai dengan tanggal 20 Maret 2007 mendatang, sejak 13 , di seluruh Perancis 
dilangsungkan kegiatan budaya yang disebut "Pekan Bahasa Perancis". Harian 
"Direct Soir", Paris [13 Maret 2007], menyebutkan bahwa "Pekan Bahasa Perancis" 
ini merupakan salah satu usaha berbentuk semacam "kampanye nasional" untuk 
meningkatkan kesadaran publik akan "arti berbahasa, akan kekayaan bahasa 
Perancis dan varian-variannya". Kukatakan sebagai "salah satu usaha", karena 
tujuan kesadaran berbahasa, memelihara dan mengembangkan bahasa Perancis 
sebagai bahasa nasional, dilakukan dengan berbagai cara, bahkan saban hari, 
tidak tidak insidental. Ia dilakukan bukan hanya melalui sekolah-sekolah, tapi 
juga ditangani melalui acara-acara semua kanal televisi, baik yang berupa kuiz, 
human-interests, soal cinta [l'amour], lebih-lebih melalui acara-acara sastra- 
seni dan pembahasan buku. Termasuk dalam usaha meningkatkan kesadaran berbahasa 
ini, adalah perhatian terhadap ketepatan menulis kata,
 tatabahasa atau masalah otograf. Di tingkat akademi, perhatian dan  penanganan 
soal bahasa nasional diurus oleh l'Académie française, yang meresmikan  apakah 
kata-kata baru yang hidup dalam masyarakat sudah bisa dimasukkan ke dalam 
kosakata bahasa nasional ataukah masih setaraf  l'argot atau jargon atau 
prokem. Berdasarkan ketetapan l'Académie française inilah isi kosakata 
kamus-kamus saban tahun diperbaiki dan dilengkapi. Bernard Pivot, penyandang 
bintang jasa Légion d'Honneur dalam bidang bahasa, pernah menyelenggarakan 
lomba dikte internasional bahasa  Perancis,  mengatakan bahwa kosakata 
diibaratkan sebatang pohon dalam hutan.  Pembabatan sebatang pohon akan merusak 
hutan dan lingkungan, maka pembabatan sebuah kata akan berdampak pada bahasa.  
"Bahasa adalah kunci semua keberhasilan" , ujar Maurice Droun, novelis dan 
anggota l'Académie française. Bahasa erat hubungannya juga dengan keselesaian, 
tingkat dan akurasi kita berpikir. Bahasa oleh Maurice Druon dipandangan
 sebagai khazanah budaya nasional. Arti penting bahasa juga digarisbawahi oleh 
Confucius [ Kong Hocu] ketika ia ditanyai, tentang apakah kualitas pertama yang 
diperlukan oleh peneyelenggara kekuasaan. Confucius menjawab: "Mengenal baik 
arti kata". 
   
   
  Selain itu, ketika melihat kembali sejarah bahasa di Indonesia, aku 
berhipotesa bahwa bahasa, terutama kosakata yang digunakan, tidak lepas dari 
kepentingan politik-ekonomi penyelenggara kekuasaan pada suatu kurun waktu 
tertentu. Misalnya orba mempopulerkan kosakata "gerakan pengacau keamanan", 
"tapol",  "tidak bersih lingkungan", "diamankan", dan lain-lain yang 
berkonotasi represif. Di samping itu kosakata "bapak", "ibu", dipopulerkan 
dengan suatu distorsi makna. Sementara kosakata-kosakata tertentu seperti  
"buruh", "revolusi" , "kelas", "bung" dan lain... dilarang dan diganti dengan 
kosakata baru. Berdasarkan keadaan ini, maka aku menduga bahwa bahasa itu 
sebagai alat komunikasi yang tak berpihak, tapi ketika ia ada di tangan pemakai 
dan lebih-lebih oleh manipulasi penyelenggara kekuasan, ia menyatakan 
pemihakannya. Sehingga akhirnya bahasa merupakan semacam pisau bermata dua. Di 
satu pihak, ketika bahasa merupakan alat penindasan oleh penyelenggara 
kekuasaan, alat
 mendistorsi simbol,  atau menciptakan makna baru melalui kosakata itu, maka  
di pihak lain, bahasa pun di tangan elite tandingan dan yang berhimpun di 
sekitar elite tandingan ini, menjelma menjadi alat perlawanan. Dengan demikian, 
bahasa mengandung pada dirinya rangkaian nilai, menyimpan sejarah makna, 
bagaimana mentradisikan suatu makna dan lambang makna untuk kepentingan 
tertentu. Aku kira, kosakata "kampungan", "udik", "ndesit", "ndeso", "debat 
kusir", dan sejenisnya mengandung latar sejarah tertentu dan makna tersendiri 
sampai terjadi pergeseran arti.  Karena bahasa kita gunakan saban saat, di 
segala ruang dan waktu, maka ia menyusupkan pengaruhnya yang kuat ke pola pikir 
dan mentalitas kita melalui lambang dan nilai yang ia bawa. Bahasa Indonesia 
dilihat dari sejarahnya dilahirkan oleh perlawanan terhadap penjajahan dan 
memihak pada kemerdekaan serta HAM.  Bahasa juga erat hubungannya dengan 
pandangan hidup. Dalam konteks ini, maka tandabaca, awalan, sisipan dan
 akhiran serta alinea,  turut berperan saat kita menggunakan bahasa tulisan 
dalam mengungkapkan diri. 
   
   
  Dibandingkan dengan bahasa Indonesia, barangkali bahasa Perancis, jauh lebih 
akurat dan kaya. Misalnya untuk menyatakan waktu dan jenis kelamin. Belum lagi 
jika dilihat untuk menamakan hal-hal dan keadaan tertentu. Untungnya bahasa 
Indonesia, merupakan suatu bahasa baru yang bersifat terbuka sehingga ia 
mungkin mengembangkan diri sebagai alat ilmu dan sastra yang tanggap zaman dan 
apresiatif. Kemampuan ini misalnya bisa dilihat dari adanya sastra berbahasa 
Indonesia. 
   
   
  "Pekan bahasa Perancis" yang sekarang sedang berlangsung, membuatku terusik 
oleh pertanyaan: Seberapa jauh kesadaran berbahasa kita? Lebih-lebih di 
kalangan sastra-seni serta jurnalistik serta akademisi.  Dengan kuatnya 
pengaruh "orientasi Amerika" di dunia pendidikan kita, aku mencemaskan 
terciptanya keadaan yang disinyalir oleh Prof. Dr. Renato Constantino  dari 
Universitas Philipina, bahwa terjadi sejenis penjajahan pikiran dan  mentalitas 
melalui bahasa. Jika benar, dan jika keadaan begini menimpa kita, maka seperti 
kata mantan Perdana Menteri Mahatir dari Malaysia: "apabila kita sudah 
ditaklukkan secara pemikiran maka si penjajah tidak memerlukan pendudukan 
fisik".  Dalam keadaan begini, kita bangga menjadi budak tanpa menyadari bahwa 
kita adalah budak belian kekinian. Tidak adakah hubungannya kedudukan budak 
kekinian ini dengan kegemaran menggunakan istilah-istilah asing, padahal bahasa 
Indonesia sudah memiliki kosakata yang sama untuk hal yang sama. Misal: "kau",
 "anda", "kamu" digantikan dengan kata "you". Aku mengkhawatirkan gejala begini 
merupakan ungkapan dari pola pikir dan mentalitalitas budakisme, rasa rendah 
diri terselubung dan disarikan dengan sikap "menjilat ke atas, menginjak ke 
bawah" serta penuh kekerasan.   
   
   
  Ketika kesadaran berbahasa ini kurang padan, yang sering terjadi bahwa walau 
pun seseorang itu tak buta aksara, tapi tidak menjamin ia bisa membaca. Bisa 
berkata tapi tak bisa berbicara. Atau bisa berbicara tapi tak bisa berbahasa. 
Lawan bicaranya mengatakan B, seseorang itu menjawabnya dengan B atau C.  
Logika bahasa mengalami kesesatan di organ berharga yang mengendalikan tindakan 
di diri orang tersebut.  Logika berbahasa ini sering diganggu oleh prasangka 
atau mungkin emosi yang tak terkendali. Bagi seseorang yang memilih profesi 
sebagai penulis, kukira kesadaran berbahasa ini, lebih-lebih lagi menjadi suatu 
keperluan mendesak.
   
   
  Agaknya soal-soal konsepsional di ataslah yang antara lain yang dijadikan isi 
"Pekan Bahasa Perancis" bertemakan "Migrasi Kata", pelayaran kata dari satu 
bahasa ke bahasa lain, sebagai salah satu ujud tukar budaya saling melengkapi 
dan memperkaya antar bangsa sesuai konsep "budaya métissage" [ budaya campuran] 
di samping soal-soal kebahasaan lainnya. 
   
   
  Masalah pokok yang ingin kuangkat sambil melihat Indonesia melalui "Pekan 
Bahasa Perancis" ini tidak lain dari bagaimana kita, menghargai dan 
memperlakukan bahasa nasional kita, Bahasa Indonesia. 
   
   
  Lebih lanjut, aku akan memusatkan "Surat Sutera Putih " kali ini pada 
pendapat-pendapat Michel Druon dari l'Académie française yang setelah Henri 
Troyat, pengarang turunan Russia, meninggal bulan 2 Maret ini, merupakan 
anggota tertua di l'Académie. 
   
   
  Paris, Maret 2007
  ------------------------
  JJ. Kusni
   
   
  [Bersambung...]

                
---------------------------------
 Yahoo! Movies - Search movie info and celeb profiles and photos.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke