Surat Sutera Putih: MEMPERKOKOH KESADARAN BERBAHASA 2. Masalah pokok yang ingin kuangkat sambil melihat Indonesia melalui "Pekan Bahasa Perancis" ini tidak lain dari bagaimana kita, menghargai dan memperlakukan bahasa nasional kita, Bahasa Indonesia. "Pekan Bahasa Perancis" hanyalah suatu contoh bagaimana memperlakukan bahasa nasional. Lebih lanjut, aku akan memusatkan "Surat Sutera Putih " kali ini pada pendapat-pendapat Michel Druon dari l'Académie française yang setelah Henri Troyat, pengarang turunan Russia, meninggal bulan 2 Maret ini, merupakan anggota tertua di l'Académie. "Seperti halnya dengan semua bahasa, bahasa Perancis pun berkembang. Lebih-lebih dewasa ini. Dan perkembangan terakhir ini justru menjurus ke perobahan [l'altération]". Demikian Maurice Droun menjelaskan keadaan bahasa Perancis dewasa ini. Selanjutnya Maurice Droun mengatakan bahwa selama beberapa dasawarsa , malangnya, di hadapan perkembangan dan perobahan tersebut, dasar-dasar bahasa Perancis kurang diajarkan dan terutama kurang jadi tuntutan. Ada kecenderungan malah "ditarik ke bawah" oleh demagogi agar nampak merakyat. Arah ini menurut Maurice Droun adalah suatu kesalahan ["C'est une erreur"]. Artinya, perkembangan dan perobahan suatu bahasa menurut Droun tidak seharusnya membuat kadar bahasa itu makin rendah, tetapi sebaliknya perobahan itu selayak menjurus ke arah peningkatan kualitas. Pendapat Druon ini disetujui oleh Alain Bentolila, seorang linguist yang pernah berkali-kali menjadi pembantu Menteri Pendidikan Perancis. Perkembangan, ujar Bentolila, tidak semestinya membuat kita jadi "passéiste" [kembali ke masa silam]. Tapi juga tidak selayaknya membuat kita jadi "simplistis", tambah Roland Goigoux, peneliti dalam bidang ilmu-ilmu pendidikan di Universitas Clermont-Ferrand [Lihat: Harian Libération, Paris, 14 Maret 2007]. Guna mengembangkan bahasa ke tingkat yang lebih sempurna, Bentolila menggarisbawahi arti pentingnya pendidikan bahasa semenjak Sekolah Dasar, terutama dalam soal tatabahasa dan kosakata serta maknanya. Mengapa kosakata dan maknanya dipandang perlu dipelajari dan diajarkan? Secara umum hal ini diberikan dasar alasan oleh Maurice Druon yang mengatakan bahwa "Menghormati seseorang dan menghormati bahasa, sepenuhnya saling berhubungan" [Lihat: Direct Soir, Paris, 13 Maret 2007]. Artinya, dalam bahasa, termasuk kosakata dan gramatika, terkandung serangkaian nilai dan sikap menghadapi orang lain. Barangkali alur pikiran begini pula yang melandasi ungkapan tetua kita: "Bahasa menunjukkan bangsa". Atas dasar pendapat ini maka Druon, memandang keliru jika seorang guru memang "kau" [tu] pada para siswanya. Dalam hal ini, Druon melihat ada kekurangan pada pendidikan bahasa di sekolah-sekolah Perancis. Karena itu ia menyarankan agar jam belajar bahasa ditambah. Bahasa dalam artian totalitas. "Bahasa merupakan kunci semua keberhasilan", demikian Maurice Druon. Druon dengan pendapat dan saran-sarannya, agaknya menginginkan orang Perancis berbahasa Perancis yang baik, paham arti berbahasa, dan mengerti kosakata yang digunakan segala segala nuansanya. Perkembangan suatu bahasa, menurut Maurice Druon, erat hubungannya dengan politik bahasa penyelenggara kekuasaan. Setelah George Pompidou, yang seorang penyair, Druon melihat, Perancis tidak lagi memiliki politik besar tentang bahasa. Karena itu pengadaan politik besar bahasa ini, merupakan sesuatu yang seniscayanya diangkat ke jenjang prioritas. Demikian Druon. Politik besar tentang bahasa ini juga menyangkut masalah sikap terhadap kosakata dari bahasa asing. Terhadap masalah ini, Druon berbeda dari politik menteri Kebudayaan Jacques Toubon yang menolak penggunaan kosakata asing dalam bahasa Perancis. Sampai-sampai ia diejek oleh pers asing sebagai "tout est bon" [semuanya baik]. Maurice Druon berpendapat bahwa semau bahasa akan saling memperkaya. Sebagai contoh, Maurice mengambil contoh yang terjadi di bidang musik. Semua istilah dalam musik berasal dari bahasa Italia. Apakah hal begini jelek? tanya Maurice yang dia jawab sendiri: "Sama sekali tidak". Apabila suatu kenyataan bisa diungkapkan dengan lebih baik dalam kosakata asing, sementara dalam bahasa kita sendiri kosakata sepadan untuk hal serupa tidak terdapat, maka seniscayanyalah kita mengadopsi kata asing itu. Bahasa Inggris pun mengadopsi istilah-istilah bahasa Perancis ke dalam bahasa mereka. Yang Maurice Druon tidak setuju jika dan dianggapnya sebagai "celaka" [funest] jika mengoper mentah-mentah bentuk sintaknya. Seperti "le best of", padahal dalam bahasa Perancis bisa menggunakan "le meilleur de". Jika menyucapkan "le best of de tel artiste", Druon menganggapnya sebagai semacam "sottise" [kebodohan]. Mengacu pada pendapat Droun ini, aku terpikir akan kadar bahasa Indonesia dewasa ini, tanpa usah memasukkan ke dalam acara pembicaraan soal bahasa percakapan, tapi terutama bahasa tulisan. Tidak adakah keadaan "celaka" dan "kebodohan" demikian kita lakukan dalam berbahasa Indonesia? Tapi barangkali, yang dianggap "celaka" dan "kebodohan" oleh Maurice Druon, bukan suatu "celaka" dan "kebodohan" di Indonesia dan terhadap bahasa Indonesia. Tapi justru "kreativitas" berbahasa, ujud dari dinamika bahasa. **** Paris, Maret 2007 ------------------------ JJ. Kusni
--------------------------------- Real people. Real questions. Real answers. Share what you know. [Non-text portions of this message have been removed]