Surat Sutera Putih:

WATAK PUISI


4


Selain itu, apakah puisi memang menawarkan suatu makna sebagai makna yang 
diharapkan kehidupan? Jika memang demikian, apakah makna yang diberikan oleh 
puisi? Pertanyaan ini barangkali juga akhirnya menyangkut tanggungjawab 
penyair, bagaimana berpuisi dan posisi puisi dalam masyarakat. Tentu saja, 
jawaban seorang penyair satu dan yang lain, akan wajar jika berbeda-beda, 
sesuai dengan konsep bersyair dan pandangan hidup pilihan masing-masing. 
Berikut ini adalah pandangan Siméon.   


Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas ini, Jean-Pierre Siméon, 
pertama-tama, melengkapi pertanyaan dengan bertanya: "Kapan puisi itu berarti 
dan tidak punya arti?" Lengkapan pertanyaan ini, ia jawab sendiri dengan 
pernyataan bahwa "puisi mengakhiri maknanya ketika ia menjadi jurubicara  
[porte parole] suatu dogma". Dogma berbeda dengan theologi atau isme  dan 
ideologi yang merosot jadi dogma. Dogma menghentikan tanya. Dasar alasan 
pernyataan Siméon ini adalah anggapannya bahwa  "puisi  berfungsi 
mempertanyakan sesuatu". "Puisi" di mata Siméon, "tanpa henti mempertanyakan 
dunia". Fungsi ini oleh tak sedikit penyair dan seniman dilambangkan sebagai 
"pengembara", "perjalanan tak punya sampai", "pinisi", "kuda jalang" yang 
"tidak ditambatkan pada siang dan malam", dan lain-lain. Di Perancis disebut 
sebagai "libre d'esprit" dan di tahun ini, lebih-lebih pada saat pertarungan 
ide di masa pemilu presidensial yang akan berlangsung bulan Mei 2007 nanti,  
aku melihat perkembangan baru, dimaknakan juga sebagai  arti kata "warganegara" 
[citoyen/nne] dan "anak manusia" itu sendiri.  Dogma menjadikan orang jadi 
budak. Seperti kuda penarik pedati atau andong.


Dalam sejarah pepuisian Indonesia, baik yang berbahasa Indonesia  mau pun yang 
berbahasa lokal, konsep Siméon ini sebenarnya bukanlah barang baru. Sehingga 
bukan merupakan sesuatu yang mewah dan asing,  apalagi jika kita mencermati 
sejarah puisi baik yang tulisan mau pun yang lisan [Ajaibnya di negeri kita, 
orang lebih suka menggunakan istilah "oral" daripada "lisan". "Keajaiban" yang 
secara tersirat mencerminkan "rasa rendah diri", tidak mampu menghargai diri 
dan bahasa sendiri.  Keadaan yang disebut oleh Mao Zedong, "lebih mengenal 
Yunani Kuno daripada Tiongkok". Mau berbicara tentang dongen pun yang diusulkan 
pertama bicara tentang Cinderlla, bukan kisah kancil, Yuyu-Kangkang, 
Sangkuriang, dan lain-lain...  Lu Sin, pengarang Tiongok, abad ke-20 menamakan 
keadaan begini sebagai keadaan "sakit jiwa". Karena itu Lu Sin membatalkan 
niatnya jadi dokter medikal, dan memilih menjadi penulis].


Selanjutnya, Siméon mengatakan puisi itu berperan "menanyakan arti". "Puisi 
merumuskan pertanyaan yang dinanti-nantikan zamannya, pertanyaan-pertanyaan 
yang terpendam di nurani warga  sebagai individu dan masyarakat". Benar, bahwa 
"ketika merumuskan pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan,  tidak jarang sang penyair 
menuangkannya secara brutal, menyengat, dan tidak memperhitungkan 
dampak-dampaknya".  Terutama bagi dirinya sendiri. Barangkali pernyataan Cak 
Durasim, pemain ludruk dari Jawa Timur yang dibunuh militerisme Jepang, bisa 
diambil sebagai salah satu contoh:

"pagupon omahe doro
melu nippon tambah sengsoro"

atau baris alm.Wiji Thukul:

"hanya ada satu kata
lawan!"


kata-kata yang membuatnya hilang tak tentu rimba, tenggelam tak tentu lautnya. 
Karena Wiji sebagai anak zaman merumuskan permasalahan zamannya tanpa 
menghitung dampak-dampak pada diri pribadinya.


Tapi tidak jarang perumusan "brutal, menyengat dan tidak mengperhitungkan 
dampak-dampak" pada diri-sendiri ini, oleh kritikus "aristokrat", "anak 
pangeran" , menggunakan istilah penyair Perancis, Paul Eluard, dinilai tidak 
sebagai puisi. Tapi menjadi puisi ketika mereka sendiri melakukannya. Dari 
keadaan begini, aku hanya bisa membacanya bahwa puisi pun sesungguhnya 
merupakan suatu arena pertarungan pikiran dan kepentingan. Dan penyair 
barangkali pada dasarnya, melalui kalimat-kalimat pertanyaan tak punya titik,  
selalu ada di koma,  pada galibnya adalah seorang pemberontak dan yang tak 
segan berenang melawan arus. Eros yang dikutuksumpahi Ahaseros, merangkaki 
dinding-dinding kota sampai akhir khyayatnya. 


Ketika merumuskan pertanyaan-pertanyaan atau permasalahan, "sang penyair yang 
berwawasan, akan senantiasa menjadi bagian dari nilai universalitas". Tanahair, 
bangsa,  etnik, Tionghoa Totok dan peranakan hanyalah bagian dan warna pelangi 
langit bumi tanahairnya bernama kemanusiaan yang dalam kata-kata Paul Ricoeur 
alm. disebut sebagai "kemanusiaan itu tunggal". Oleh manusia dahulu [bukan 
sekarang!] dijabarkan dalam kata-kata: "rengan tingang nyanak jata" [anak 
enggang, putera-puteri naga]. 


Selanjutnya Siméon mengatakan:  "Karena itu ketika kita membaca sebuah puisi 
sering kita merasakan bahwa kita disambungkan dengan dunia kemanusiaan yang 
tunggal yang  terdapat di luar batas geografis". Misalnya:" Saat kita membaca 
puisi-puisi Tiongkok abad ke 12, kita tiba-tiba merasakan bertemu dengan 
kemanusiaan yang dalam bahasa yang sangat ekonomis". Mungkinkah perasaan begini 
diungkapkan oleh seorang dogmatis, nama lain dari budak secara mentalitas? 
Mungkinkah pesan, suasana dan perasaan begini diundang oleh puisi-puisi tingkat 
curhat hampa wawasan? Puisi curhat, kukira tidak lebih dari puisi tingkat 
instingtif.


Sekali pun  puisi sering jadi pulang terkucil di tengah laut pemahaman tapi ia 
senantiasa ditunggu dan diharapkan. Ini pun dinyatakan oleh Siméon: "Saya 
sangat optimis  akan hari esok puisi dan kehidupan puisi, karena sejak beberapa 
tahun, saya saksikan sendiri publik pembacaan puisi dan pembaca puisi dari 
tahun ke tahun  bertambah tanpa jeda. Ke mana pun saya berkunjung dan tampil, 
saya selalu berhadapan dengan banyak pengunjung".  


Sekali lagi, barangkali kesimpulan Siméon ini sama dengan sikap menghadapi 
seorang anak  yang sulit   dimengerti tapi dirindukan dan diperlukan. 
Mungkinkah ia diperlukan jika ia tidak memberikan makna? 


Kalau karena penyair sering disebut "nyentrik" atau "liberal" dan lain-lain 
sebutan, tapi sebutan-sebutan ini, bagiku sendiri, tidak sama dengan bebas dan 
hampa nilai.  Dari segi republik, penyelenggara Negara, politik, "nyentrik"  
dan "liberal" menunjukkan penyair diperlukan sebagai salahs atu pengawas sosial 
dan politik. Barangkali "nyentrik" dan "liberal" bisa diartikan  "libre 
d'esprit", penolakan jadi budak dan hanya bisa mengatakan "ya". Apakah bangsa 
kita dan kemanusiaan  memang memerlukan budakisme yang terkurung di penjara 
dogma, fanatisme dan pemujaan mitik untuk menjadi warga negara dan anak manusia 
? Dalam pengertian inilah kukira tersirat makna kata-kata Chairil Anwar : "yang 
bukan penyair, minggir!"***


Paris, Maret 2007
-----------------------
JJ. Kusni


[Bersambung....]

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke