Salam, Muhammad Sa'id al-Ásymawi memang bukan syafii, hambali, hanafi ataupun maliki. Tapi bilang tidak otoritatif juga terlalu dini. Insya Allah, sejarah yang akan menentukan bagaimana pendapat-pendapat beliau ini diterima oleh umat.
Yang pasti pemikiran-pemikiran beliau memberi perspektif baru seperti ulasan pada artikel berikut. Wassalam Ary ------------------------------ Jilbab: Tasyri' Waqtí Oleh Mahrus eL-Mawa (http://www.rahima.or.id/SR/10-03/Fikrah.htm) Menyoal jilbab nampaknya seperti mencari jalan tak berujung, karena fenomena jilbab selalu muncul dengan berbagai ekspresi dan pesan di belakangnya. Seperti juga jika kita mencoba menyimak perdebatan mengenai jilbab dalam pandangan Islam dalam majalah Ruz al-Yusuf (Kairo) pada tahun 90-an. Debat itu terjadi antara Mufti Mesir, yang juga Syekh al-Azhar, Doktor Muhammad Sayyid Thanthawi dengan Muhammad Sa'id al-Ásymawi. Tulisan Ásymawi dalam soal ini sering digandakan oleh organisasi perempuan (al-jamíyyat an-nisaíyah) Mesir. Demi terjaga keaslian bahasannya, maka dicetak dalam satu buku dengan judul Haqiqat al-Hijab wa Hujjiyyat al-Hadits (2002). Buku itu juga memuat tulisan Syekh al-Azhar yang menanggapi al-`Asymawi. Sang penulis kitab, al-'Asymawi, adalah intelektual muslim Mesir dan ahli dalam perbandingan hukum Islam. Ia pernah pula menjadi Hakim Agung sebagai karir puncaknya. Soal jilbab dikupas juga dalam kitab lainnya, Maálim al-Islam (1989). Adapun karya terbesarnya (magnum opus), al-Islam as-Siyasi (Islam Politik), sebuah kitab rujukan Islam dan Politik, khususnya di Timur Tengah. Hal yang perlu dikemukakan dalam bahasan ini, menurutnya, aturan atau perintah berjilbab bagi perempuan sesungguhnya bersifat temporal. Artinya, jilbab menjadi "perintah wajib"pada waktu Nabi Saw saja dengan alasan-alasan (illah) tertentu. Dengan alasan tersebut maka menurut al-'Asmawi, saat ini alasan itu sudah tidak relevan lagi. Masih menurut Ásymawi, hijab (penutup kepala) bukanlah kewajiban yang diwajibkan agama (prinsip syari'at). Dalam kenyataannya, hijab adalah simbol politik. Menurutnya, hakikat hijab adalah pengendalian diri dari syahwat, dan pembentengan diri dari dosa-dosa, tanpa terkait dengan pakaian atau gaun tertentu (ziyy muáyyan aw libas khash). Hijab merupakan contoh syari'at temporal (tasyri' waqti), atau syari'at yang didasarkan pada waktu tertentu (li qashd al-waqti). Ásymawi juga membedakan antara hijab (QS. As-Sajdah [32]: 53), khimar (QS. an-Nur [24]:31) dan jilbab (QS. Al-Ahzab [33]: 59). Penamaan jilbab, di beberapa tempat bermacam-macam; sebagian dengan rida' (sorban), sebagian lagi dengan khimar (kerudung, tapi lebih besar ukurannya), dan yang lain dengan qina' (penutup muka atau topeng). Dalam tradisi masyarakat Islam Indonesia, nampaknya tidaklah demikian dalam proses dan anggapannya. Hijab lebih sering digunakan hanya untuk memisahkan ruangan, khususnya antara lelaki dan perempuan agar tidak bertatap muka. Khimar sejak dulu dipahami sebagai kerudung. Dengan perkembangan mutakhir, mode, barangkali hanya jilbab saja yang lebih dikenal hingga kini. Pakaian berjilbabnyapun satu dengan yang lain berbeda-beda. Terkait dengan itu, asbab an-nuzul ayat-ayat tersebut penting disebutkan, "Saat itu, kaum perempuan pada zaman Nabi sering keluar ke padang pasir untuk buang hajat (air besar). Sehingga banyak kaum lelaki yang menyakini mereka sebagai pekerja seks (PS) atau budak perempuan, karena tidak adanya tanda-tanda khusus bagi perempuan merdeka dalam hal pakaian. Maka sebagian mereka mengadukan hal ini kepada Nabi Saw "Karena sebab demikian, ayat berjilbab itu diwahyukan. Komentar Ásymawi dari ayat tersebut, "Jika para ahli fiqh menetapkan kaidah al-hukm yadur maá íllah wujudan wa ádaman, hilanglah íllah dalam hukum memanjangkan jilbab (yudnin álaihinna min jalabibihinna) dalam ayat tersebut, sebab telah maraknya kamar mandi (WC) di rumah- rumah, dan tidak adanya diskriminasi perempuan karena urusan pakaian. Ini menyebabkan tidak berlakunya lagi hukum tersebut. Jilbab merupakan hukum temporal (sewaktu-waktu) yang terkait dengan kondisi tertentu (masa Nabi). Jika kondisi tersebut sudah hilang dan berubah, maka kewajiban memanjangkan jilbab ini juga sudah tidak berlaku." Hal ini, mirip dengan asbab an-nuzul dari ayat tentang hijab di atas, yang dikhususkan untuk para isteri Nabi. Saat itu, Úmar ibn Khattab usul kepada Nabi; "Ya Rasulallah, isteri-isterimu banyak didatangi orang, dari orang yang baik ataupun yang jahat (fajir) untuk berbagai keperluan. Tidakkah lebih baik sekiranya Engkau perintahkan mereka untuk memasang hijab?"Dari usul Úmar itulah ayat tersebut diturunkan. Berangkat dari sini pula, syariáh hijab dan berjilbab ditetapkan. Menurutnya Asymawi, di antara alasan yang penting dikemukakan lagi tentang jilbab sesungguhnya adalah alasan etika universal, yakni tentang kesopanan dan kehormatan. Bahwa ukuran kesopanan dan kehormatan tidak hanya dari satu sudut pandang, yaitu yang diwakili jilbab, akan tetapi kesopanan dan kehormatan lebih kepada sikap dan bukan penampakan fisik. Lebih dari yang dikatakan Ásymawi tersebut, dalam sejarah Islam sendiri juga pernah diceritakan bahwa jilbab bukan hanya dipakai oleh perempuan, tapi juga lelaki. Bahkan Rasulullah Saw pernah memakai jilbab. Hal ini seperti dikemukan Fadwa El Guindi dari temuan penelitian lapangannya tentang gerakan Islam di Mesir tahun 1970-an. Temuan menarik itu berasal dari data etnografis, historis, dan lintas kultural yang ditulis dalam Veil: Modesty, Privacy, and Resistence (Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan, 2003). Teksnya diambil dari Shahih Bukhari, sebagai kumpulan Hadits Nabi termasyhur yang menyebutkan bahwa pada suatu waktu Nabi mendatangi rumah Abu Bakr dengan menggunakan qina' (menutup muka, mutaqannián). Temuan lainnya, sejumlah lelaki Arab pra-Islam yang dikenal dengan dzu khimar. Lelaki itu adalah al-Aswad al-Ánsi dan Áuf ibn Rabi' ibn dzi al-Ramahayn. Dikenal sebagai dzu khimar, karena ia bertempur sambil mengenakan jilbab istrinya dan selalu menang. Pada suatu saat, ketika seseorang roboh dalam pertempuran, ada yang bertanya, "siapa yang menyerangmu?" jawabnya, orang berjilbab itu". Dari pemahaman tersebut, Syekh al-Azhar, Sayyid Thanthawi nampaknya kurang sependapat. Bagi Thantawi ada alasan lain yang sifatnya antisipatif dari perintah jilbab, yakni keselamatan dan godaan kaum munafik yang bermaksud buruk terhadap perempuan. Sebab, pewajiban hijab bagi perempuan yang sudah berhaid itu datang dari Allah dan Rasul-Nya, Muhammad Saw. Karena itu, bila perempuan muslimah tidak taat pada perintah tersebut, berdosa dan berlaku maksiat pada Allah SWT, sanksinya diserahkan saja pada Allah SWT. Demikian beberapa alasan yang dikemukakannya. Terlepas dari perdebatan antara intelektual dengan ulama besar yang sama-sama dari negeri Mesir tersebut, kenyataan yang tidak bisa dipungkiri dari fenomena jilbab sekarang ini nampaknya tidak hanya berasal dari pemahaman yang berangkat dari teks, tetapi juga dari ekspresi sebuah realitas. Fakta terakhir munculnya kaum perempuan yang memakai jilbab dengan alasan sebagai solidaritas dan bentuk perlawanan. Ini artinya sebagian orang tetap memahami jilbab dengan melihat konteks (siyaq) atau fenomena (waqi'íyyah) sosial kemasyarakatan yang dinamis, dan sebagian lain memahaminya secara tekstual. Dalam konteks pemahaman jilbab dalam Islam inipun, yang penting diingat adalah bahwa pilihan jilbab adalah pilihan perempuan. Terlepas apakah jilbab dimaknai dan percayai oleh perempuan tadi sebagai tasyri', sebagai identitas dirinya, sebagai solidaritas, sebagai bentuk perlawanan, ataupun atas dasar keyakinannya bahwa jilbab memang perintah al-Qur'an. ] (Wallahu a'lam)