Rakyat Indonesia Menyukai PEMIMPIN JAHAT
Oleh : Redaksi 
16 May 2007 - 3:00 pm
 
Risalah Mujahidin Edisi 8 Th I Rabiul Akhir 1428 H / Mei 2007, hal. 11-16


SEBAGAI negara dan bangsa yang telah 62 tahun merdeka, rakyat dalam semua
lapisan , kecuali di lingkungan pejabat dan penjahat negara, terus menerus
mengeluh dengan berbagai macam penderitaan, kemiskinan, kebodohan, penyakit,
pengangguran, kriminalitas yang semakin bringas dan biadab membuat kita
harus bertanya, mengapa semua ini menimpa negeri kita?
 
Siapa biang kerok yang menangung kesalahan fatal ini? Apa sebabnya begitu
lama bangsa ini dirundung kemurungan dan kenistaan, padahal kita mengaku
sebagai bangsa religius, beradab, berhati lembut, dan berjiwa santun?
Menguap ke manakah sifat-sifat baik dari bangsa ini, sehingga kini hanya
menyisakan moralitas tercela dan rendah? Apakah pengakuan bahwa bangsa ini
religius, berhati lembut dan berjiwa santun sekadar lip service dan
propaganda palsu, ataukah fakta sejarahnya memang demikian? :foto
 
Agaknya kita harus berani mengkritik diri sendiri dan membongkar
topeng-topeng palsu bangsa kita dengan menengok sejarah masa lalu kita. Dari
situ kita memulai untuk bercermin diri, untuk mengetahui dengan yakin apakah
kita ini bangsa yang bobrok atau bangsa yang baik?
 
 
Menyukai Pemimpin Jahat
Bahwa Indonesia adalah bangsa yang bobrok, rusak moral, dan kacau fikirannya
 sudah banyak contohnya. Selama ini, belum pernah Indonesia dinilai positif
oleh dunia internasional, dan belum pernah rakyatnya merasakan kebaikan para
pemimpin negaranya.
 
Di zaman orde lama, selama 22 tahun dipimpin Soekarno, Indonesia dikenal
sebagai bangsa tempe, melarat, kemiskinan merajalela. Selama 32 tahun
dipimpin Soeharto, rezim orde baru dikenal sebagai negara pelanggar HAM
parah, sementara warisan hutang luar negeri bejibun, dan menjadi beban
rakyat Indonesia. Setelah Orla dan Orba berlalu, negeri kita belum juga naik
peringkat, malah lebih terpuruk dari sebelumnya.
 
Sejak BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, hingga Susilo Bambang
Yudhoyono yang terkenal dengan slogan “bersama kita bisa”, berturut-turut
Indonesia menduduki posisi teratas dalam hal jeleknya. Sebagai negara
terkorup se Asia, produsen ekstasi terbesar di dunia, paling akrab dengan
bencana, paling miskin rakyatnya, paling banyak hutang luar negerinya.
Selain itu, negeri kita juga dikenal sebagai negara teroris, maju dibidang
pornografi dan pornoaksi, dan yang paling parah negara pengekor asing paling
setia.
 
Kondisi Indonesia yang kian carut-marut hampir dalam segala kehidupan,
membenarkan adagium (anggapan), bahwa munculnya pemimpin jahat datang dari
masyarakat yang rusak. Dan kerusakan di masyarakat, disebabkan berkuasanya
pemimpin jahat, koruptor, perusak moral, mmengejar hawa nafsu, bohong kepada
masyarakat. Pemimpin jahat biasa memanipulasi kepentingan pribadi dan
partainya menjadi kepentingan negara dan masyarakat.
 
Firman Allah: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami
perintahkan kepada mutrafin (orang-orang yang hidup mewah di negeri itu)
supaya mentaati Allah, tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu,
maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami),
kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS al-Isra’ : 16).
 
Kepemimpinan mutrafin artinya serakah cirinya ada tiga: Hedonis; Menuntut
rakyat memenuhi kepentingannya tetapi dia tidak bisa memenuhi kebutuhan
rakyatnya; Tidak peduli dan tidak berpihak kepada rakyat miskin dengan
berbagai aturan yang dibuat. Semua kebijakannya hanya menguntungkan
kepentingan hidupnya sendiri. Adanya pengaruh-pengaruh merusak dari tiga
kelompok kekuatan di tengah masyarakat akan berdampak lahirnya
pemimpin-pemimpin yang buruk manajemennya, rusak moralnya dan berhati
serigala dalam menghadapi kelompok masyarakat yang lemah.
 
Contoh, import barang mewah, mobil mewah, mendirikan rumahsakit mewah,
industrialisasi, eksploitasi hutan dan tambang, nasionalisasi kebutuhan
pokok masyarakat yang tidak memihak kepada rakyat luas. Jalan raya yang
dibutuhkan rakyat tidak diurus, keretaapi tidak diurus, namun ketika anggota
DPR butuh laptop malah dibiayai oleh uang negara. Kasus Lumpur Lapindo
terkatung-katung, hak-hak tanah masyarakat dikalahkan oleh kepentingan
penguasa untuk airport, mall, pabrik dan sebagainya. Rakyat dihargai
hak-haknya setelah melawan, seperti yang dilakukan Aceh (GAM dan NII Daud
Beureuh).
 
Mengapa rakyat Indonesia menolak pemimpin yang baik? Karena mental rakyat
Indonesia adalah mental aji mumpung. Menderita sekian lama dapat kesenangan
sedikit sudah lupa, tidak tahu diuntung. Dalam praktik demokrasi, pemimpin
terpilih menunjukkan kualitas rakyat.
 

Menolak Pemimpin Baik
Sebagai bangsa yang baik, agak sulit bagi kita untuk menemukan faktanya.
Mencari pejabat yang jujur dan bertanggung jawab saja, betapa sulitnya.
Saat-saat menghadapi ujian nasional tahun ini, masyarakat disuguhi kenyataan
memalukan: ujian nasional diawasi aparat kepolisian, dan soal ujian sebelum
dibagikan pada hari-H disimpan untuk diamankan di lemari polisi. Kejujuran
telah menjadi barang mewah dan langka di negeri ini. Belum lagi, kasus
pencucian uang haram, yang merebak dan seakan menjadi zona aman bagi
penjahat, termasuk pedagang narkoba.
 
Dalam kasus IPDN, orang baik-baik seperti Inu Kencana misalnya, dibenci oleh
almamaternya sendiri. Sementara para pembunuh, pejabat jahat, diberi naik
pangkat. Untuk itu marilah kita lihat respon masyarakat kita terhadap
kepemimpinan yang baik sepanjang Indonesia menjadi negeri merdeka. Dengan
fakta-fakta sejarah ini, semoga negara dan bangsa ini tahu diri dan
bercermin pada masa lalunya. Fakta-fakta sejarah justru bericara kepada kita
bahwa masyarakat Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga hari ini menolak
dipimpin orang-orang yang baik.
 
Dalam sejarah Indonesia merdeka, sebenarnya tidak sepi sama sekali dari
pemimpin yang baik, memperhatikan kepentingan rakyat, dan membangun negara
yang berdaulat penuh.
 
 
1. Mr. Assaat (18 September 1904 – 16 Juni 1976) adalah tokoh pejuang
Indonesia, pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa
pemerintahan RI di Yogyakarta yang merupakan bagian dari Republik Indonesia
Serikat (RIS). Selama dua tahun kekuasaannya, Mr. Assaat membuat program
pemerintahan yang relevan saat itu, dan mencerminkan pembelaan kepada rakyat
kecil yang baru saja lepas dari penjajah Belanda. Di antara program
pemerintahannya adalah: Bisnis asing (Cina) tidak boleh masuk di Kabupaten
ke bawah, kecuali hanya boleh di tingkat propinsi saja. Hal ini berkaitan
dengan jaringan bisnis Cina yang menjadi tulang punggung PKI kala itu. Namun
kebijakan Assaat ini dijegal di Parlemen, sehingga masa pemerintahannya
tidak bisa bertahan dan kemudian dijatuhkan.
 
 
2. Mohammad Natsir (Minangkabau, Sumatera Barat, 17 Juli 1908 – Jakarta, 6
Februari 1993) adalah pemimpin Masyumi dan salah seorang tokoh politik dan
tokoh Islam di Indonesia. Pada 5 September 1950 hingga 26 April 1951 Natsir
dipilih menjadi Perdana Menteri RI. Hanya dalam waktu tidak lebih 8 bulan
saja bertugas memimpin negara, Natsir berhasil menyatukan Indonesia yang
saat itu terbagi dalam negara-negara bagian, sehingga dia ditunjuk menjadi
Perdana Menteri, kemudian mengambil langkah penyelesaian damai dengan para
pejuang Aceh di bawah kepemimpinan Daud Beureueh. Tetapi langkah ini
ditorpedo oleh Soekarno (PNI dan PKI) dan menimbulkan konflik berkepanjangan
di Aceh yang membuat rakyat Aceh terlambat menikmati masa-masa kemerdekaan.
 
 
3. Kabinet Burhanuddin Harahap, bertugas pada periode 12 Agustus 1955 – 24
Maret 1956. Kabinet ini demosioner paad 1 Maret 1956 seiring dengan
diumumkannya hasil pemilihan umum pertama Indonesia. Tidak sampai dua tahun
menjadi PM atas rekomendasi wakil presiden Moh. Hatta, dia berhasil
menciptakan reputasi spektakuler dalam menyelesaikan problem bangsa. Program
pemerintahannya: satu, menurunkan harga kebutuhan pokok; dua, melunasi
hutang luar negeri; dan tiga, mengadakan pemilu pertama yang demokratis.
Sayangnya setelah pemilu yang paling jurdil terselenggara justru Sekarno
(PNI dan PKI) memprovokasi rakyat untuk menggembosi partai Masyumi, sehingga
PNI dan PKI memperoleh suara lebih banyak dari Masyumi dan NU. Akhirnya
mandat Burhanuddin sebagai PM tidak dapat dipertahankan. Ia digantikan,
justru dari PKI, yang terkenal dengan Perdana Menteri Asu (Ali Surahman).
Indonesia kian terpuruk, secara ekonomi dan politik. Konflik daerah kian
berkecamuk.
 
 
4. Kabinet Djuanda, disebut juga Kabinet Karya, memerintah pada periode 9
April 1957 – 10 Juli 1959. PM Djuanda yang dalam programnya menanggulangi
pemberontakan daerah dan membenahi penyalahgunaan birokrasi oleh PNI dan PKI
 tetapi gagal karena dihadang oleh PNI dan PKI dengan dukungan Soekarno.
 
 
5. Di masa reformasi, sebenarnya kita optimis akan dipimpin orang baik.
Baharuddin Jusuf Habibie adalah Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Ia
menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada
tanggal 21 Mei 1998. Namun jabatannya tidak bertahan lama, digantikan oleh
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih pada 20 Oktober 1999 oleh suara
MPR dari hasil Pemilu 1999. Dengan 373 suara MPR, Gus Dur mengalahkan calon
presiden Megawati Soekarnoputri yang memperoleh 313 suara.
 
Di antara keberhasilan Habibie yang menjabat presiden hanya setahun lebih
tiga bulan, berhasil membuka kran hak rakyat dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan kekuasaan politik, membebaskan tahanan-tahanan politik,
mengendalikan moneter sehingga rupiah menguat dan menciptakan jaring
pengaman sosial (JPS) serta menyelenggarakan pemilu ke-2 yang paling
demokratis. Tetapi Habibie dijegal oleh PDIP dan kaum oportunis politik yang
merasa mampu memimpin negara, tetapi realitanya hanya menciptakan kemiskinan
dan kekacauan di tengah rakyat, akhirnya Habibie harus turun tahta walaupun
dengan hati yang berat.
 
 
Di negeri ini terbukti kepemimpinan orang baik tidak pernah bertahan lama.
Sekalipun nama-nama pemimpin yang kita sebutkan di atas bukanlah pemimpin
ideal yang dikehendaki Islam, namun mereka muncul di tengah kegalauan
politik yang menyengsarakan rakyat. Mereka orang-orang terbaik di antara
yang paling jelek.
 
Sementara itu, orang-orang jahat, koruptor, bertahan hingga puluhan tahun.
Soekarno berkuasa lebih dari 22 tahun, dan Soeharto yang korup berkuasa
selama 32 tahun. Kenyataan demikian bisa disaksikan dalam pemilihan Pilkada
yang sekarang berlangsung di berbagai daerah dan provinsi. Mulai dari
Cawagub-cawagub, bupati dan calon bupati hingga terpilih, yang muncul hampir
semuanya tidak terbebas dari pekat. Ada yang kedapatan mengisap sabu-sabu,
berjudi, bahkan sedang berbuat mesum.
 
Dalam praktik demokrasi, pemimpin terpilih menunjukkan kondisi dan kualitas
rakyat pemilih. Maka, benarlah sabda Rasululah SAW dalam sebuah hadits
riwayat Al-Baihaqi dari Ibnu Shihab: “Sebagaimana keberadaan kamu, maka
begitulah munculnya pemimpin-pemimpin di tengah-tengah kamu.”
 
 
Kepemimpinan Syar’i
Proses memperbaiki masyarakat, sekaligus dalam memperbaiki kepemimpinan
dalam masyarakat diajarkan dalam Al-Qur’an. Mengangkat para Rasul atau nabi
untuk menjadi pemimpin di tengah masyarakat, sebagaimana Allah sebutkan
dalam QS As-Sajdah ayat 24 yang artinya: “Dan Kami angkat di antara mereka
pemimpin-pemimpin yang memberikan petunjuk dengan Syari’at Kami ketika
mereka menerimanya dengan kesabaran dan mereka beriman kepada ayat-ayat Kami
”
 
Petunjuk Al-Qur’an di atas menjelaskan proses munculnya pemimpin yang baik
di tengah masyarakat. Yaitu, bilamana masyarakat beriman kepada ayat-ayat
Allah, kemudian bersabar serta konsisten menjalankan syari’at-Nya sebagai
pedoman hidup, walaupun menghadapi tantangan hidup yang berat. Sebaliknya,
bila masyarakat condong pada perbuatan maksiat, melecehkan agama Allah,
mengumbar kebringasan hawa nafsu, dan menjadikan kaum perempuan sebagai
komoditas seni, budaya, dan politik untuk memperdayakan masyarakat, maka
tentulah memberi peluang besar munculnya para pemimpin yang bermoral rusak,
berpikrian materialistis, bermental hedonis, dan berprilaku feodalis
kolonialis.
 
Berkuasanya pemimpin demikian, pasti mengundang bencana bagi masyarakat di
belahan bumi mana pun mereka berada. “Ketika para pemimpin kamu adalah
orang-orang baik di antara kamu, dan orang kaya kamu adalah orang-orang
dermawan di antara kamu dan urusan kamu diselesaikan secara musyawarah, maka
berada di muka bumi lebih baik bagi kamu daripada di liang kubur. Tetapi
bila pemimpin-pemimpin kamu orang yang jahat di antara kamu dan orang-orang
kaya kamu adalah orang-orang yang bersifat kikir di kalangan kamu dan
persoalan kamu tergantung penyelesaiannya kepada kaum perempuan kamu. Maka
liang kubur lebih baik bagi kamu daripada tinggal di permukaan bumi.” (HR
Turmudzi).
 
Hadits di atas menggambarkan, bahwa munculnya pemimpin jahat akibat adanya
kerusakan di tengah masyarakat, terutama disebabkan kerusakan yang terjadi
sebelumnya. Fakta semacam ini ratusan kali terjadi di belahan dunia sejak
ribuan tahun yang lalu sebagaimana dapat kita baca dalam sejarah.
 
Dalam urusan pemimpin, Islam tidak main-main. Seorang dapat dipilih sebagai
pemimpin negara, setidaknya memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
 
1. Orang yang paling mengerti Al-Qur’an dan Sunnah.
 
2. Paling baik akhlaknya di antara umat.
 
3. Mengerti kepentingan umat dan mampu menyelesaikannya.
 
4. Sabar menghadapi segala macam problema umat dan paling bijaksana untuk
menetapkan kebijakan.
 
5. Mengerti karakter musuh-musuh umat sehingga dapat mempertahankan keutuhan
umat.
 
6. Sederhana di dalam kehidupannya, sehingga tidak membebani rakyat dengan
berbagai belanja negara yang bersifat pemborosan dan mewah.
 
http://swaramuslim.com/more.php?id=5584_0_15_0_M

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke