Ketika masih menjabat Juru Bicara Deplu, penampilan Duta Besar Luar
Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Kerajaan Inggris Raya merangkap
Irlandia Utara Marty Natalegawa, jauh dari citra seorang birokrat.
Tampan, cerdas, energik dan trendy. Dan saya termasuk yang agak
"terkejut" ketika membaca boks yang melengkapi wawancara Marty dengan
Kompas 11 Desember 2005. Ternyata alumnus London School of Economic
and Political Science, menghabiskan sebagian besar waktunya di
mancanegara---bahkan SMA nya pun di London---dan beristerikan
perempuan Thailand Sranya Bamrungphong, mengawali nama anak
laki-lakinya dengan "Raden Mohammad".

Mengawali nama anak laki-laki dengan Muhammad, adalah salah satu
bentuk yang sangat umum bagi seorang muslim menunjukkan cinta mereka
kepada Junjungannya. Termasuk saya. Salah satu bentuk lain ialah
dengan menyayangi kucing. Adalah Harold Crouch, ahli Indonesia kondang
asal Australia yang juga seorang penganut Islam, seperti dikutip
Majalah TEMPO, pernah "mengeluhkan" kesukaan ummat Islam terhadap
kucing. Dan Pak Crouch, tentu saja tidak salah ketika mengatakan bahwa
hal ini berhubungan dengan kecintaan mereka terhadap  Sang Nabi, yang
memang dikenal sebagai penyayang dan pelindung binatang,  terutama kucing.

Sebagaimana dikemukakan Prof Schimmel dalam bukunya "And Muhammad Is
His Messenger" (1985), Nabi yang mulia itu pernah menggunting lengan
bajunya karena tidak tega membangunkan seekor kucing yang ketika Nabi
tidur, ikut tidur di lengan baju beliau.

Tetapi saya percaya bahwa Pak Crouch tidak berkata begitu, jika dia
mempunyai kucing seperti si Aboe.

Si Aboe adalah  seekor kucing kampung jantan berumur setengah tahunan
yang sangat tampan dengan bulu bersih berkilat bewarna hitam ke
abu-abuan, yang pada suatu hari datang begitu saja ke  rumah  kami.
Sesuai dengan warna bulunya, oleh anak-anak saya kucing itu diberi
nama si Aboe.  Kehadirannya di rumah kami saya ketahui ketika pulang
bertugas dari luar kota. Saya yang sejak kecil penyayang kucing,
langsung jatuh cinta pada pandangan pertama kepada si Aboe.

Tetapi seperti biasa, masalah timbul karena Kur sang ratu rumah tangga
saya tidak suka, bahkan "alergi" terhadap kucing. Tetapi seperti yang
terjadi sebelumnya, doi akhirnya tidak bisa apa-apa. Selain Iben anak
tertua, empat dari lima anak dan keempat cucu kami, mewarisi sifat
penyayang berat saya kepada kucing. Akhirnya disepakati si Aboe boleh
menjadi anggota keluarga kami dengan tiga syarat: pertama tidak suka
nyolong ikan, kedua tidak beol di dalam rumah dan ketiga tidak
mencakar jok sofa atau memecah pot kembang milik Kur. Kalau salah satu
ketiga syarat tersebut dilanggar, maka si Aboe akan bernasib seperti
kucing-kucing kami terdahulu: "diekstradisi"!

Saya tahu Kur tidak main-main dengan ancamannya itu, misalnya seperti
yang terjadi pada salah satu kucing yang dulu pernah kami pelihara.
Suatu ketika kucing tersebut sakit mencret. Meila, anak keempat kami
yang   ketika itu masih bersekolah di SMP yang sekarang sudah menjadi
gadis dewasa dan telah bekerja, merawat kucing itu dengan telaten,
termasuk membuang dan membersihkan bekas beolnya sampai kucing itu
sehat kembali. Walaupun terlihat agak mangkel, Kur masih bisa
"mentolerir" hal itu. Kur "naik pitam" ketika pada suatu malam Meila
berhujan-hujan sendirian  keluar rumah cukup jauh mencari kucing itu
yang sejak siang tidak pulang-pulang, dan setelah berhasil
menemukannya membawanya kucing itu pulang. Besoknya Kur tanpa dapat
ditawar-tawar lagi Kur menyuruh Iben membawa kucing itu ke Pasar
Kemiri, Depok, dan melepaskannya di sana.

Si Aboe  memang kucing manis, tidak "beol" di rumah, dan tidak
mencakar jok sofa, kecuali sekali-sekali, dan kalau ketahuan serta
dihardik Kur, ia buru-buru lari ngumpet ke kolong meja atau kolong
lemari. Aboe juga  tidak suka mencuri ikan. Bahkan Aboe makannya rada
susah, terutama bila ikan cue' yang dibeli Kur khusus buat si Aboe
bila ia berbelanja ke pasar Agung sudah habis. Biasanya saya dan
anak-anak merelakan sebagian rendang daging, kalio ayam, dendeng atau
tongkol  belado, atau belado-belado lainnya dari piring kami untuk
Aboe. Caranya, pertama rendang, ayam atau dendeng tersebut digelimangi
dulu ke nasi agar bumbu pedasnya bersih. Setelah itu daging atau ayam
tersebut harus disuir-suir. Kalau tidak Aboe ogah menyentuhnya.
Melihat ini Kur biasanya hanya geleng-geleng kepala.

Si Aboe  memang kucing manis. Seperti kucing-kucing rumah lainnya, si
Aboe sering lari ke sana ke sini, jingrak-jingkrakkan, terkam sana,
terkam sini, guling-gulingan sendirian  dan kalau sudah capek, lalu
merebahkan badan dan menegakkan kepalanya dengan gagahnya sembari
mengibas-ngibasnya ekornya yang pendek itu bak seekor macan Benggala.
Kalau kita mencoba mengelus punggung atau perutnya, maka tangan kita
akan "dicakar" atau "digigitnya", tentu saja dicakar dan digigit
bohong-bohongan.

Tetapi tangan saya juga pernah digigit benaran oleh si Aboe sehingga
berdarah, yaitu ketika saya mencoba mengusap-usap punggungnya pada
saat Aboe yang mulai puber sedang berpacaran. "Syukurin," ujar Kur
sembari mengoleskan obat antiseptik betadin ke atas luka saya iatu. 

Caranya tidur manja sekali. Kaki depan dan kaki belakangnya
dijulurkannya sedmikian rupa sehingga membentuk garis lurus dengan
badannya.

Ira, bungsu kami yang merasa pemilik sah si Aboe, ingin kucing itu
tidur dengannya. Tetapi karena sering diunyal-unyal dan diciumi, si
Aboe kabur pada kesempatan pertama, dan biasanya tidur di samping
Sonny anak ketiga kami yang ketika itu belum menikah dan lebih sering
tidur di tikar di depan TV ketimbang di kamarnya sendiri. Biasanya
sebelum tidur, Sonny melipat handuknya dan menggelar di sebelahnya.
Seperti sudah tahu bahwa handuk itu disediakan untuknya, si Aboe
hampir selalu tidur di samping Sony di atas handuk tersebut sampai pagi. 

Si Aboe takut kepada Kur. Mendengar Kur bersuara, bahkan tertawa agak
keras saja kadang-kadang sudah membuat Aboe lari terbirit-birit.
Tetapi dasar kucing, kalau sedang lari-larian, sesekali secara tidak
sengaja dia suka menabrak kaki Kur yang sedang berdiri atau sedang
berjalan. "Nah, ini mama yang nggak suka sama si Aboe…....Kalau mama
jatuh gimana", ujar Kur yang memang tidak tahan kalau dikaget-kagetin,
seakan-akan mau "jatuh". "Kamu jangan macam-macam boe", jawab saya
sekenanya dan belagak marah sama si Aboe. Sementara yang saya "omelin"
sudah menyuruk entah di mana.

Namun bukan itu yang membikin situasi gawat. Si Aboe memang tidak suka
mencuri ikan, tidak berak sembarangan, tidak mecahin perbaotan atau
mencakar-cakar jok sofa, kecuali sekali-sekali.  Tetapi, alaamaakk, si
Aboe ternyata suka kencing di rumah. Saya melihat sendiri si Aboe
masuk ke keranjang plastik berisi pakaian yang baru saja selesai
disetrika, lalu mengangkat kakinya, byurrrr. Menyaksikan hal itu saya
lalu melakukan "politik burung onta": memalingkan pandangan saya dari
apa yang saya lihat itu. Kemudian saya mendengar dari Meila bahwa Si
Aboe juga pernah mengencingin korden di ruang tamu, yang untuk
mencucinya tentu saja harus di kirim ke laundry.

Akhirnya vonis pun jatuh: Si Aboe tidak boleh lagi tidur di rumah di
malam hari. Jadi sebelum tidur si Aboe harus dikeluarkan dan baru
boleh masuk lagi menjelang subuh. Pernah Ira mencoba menyembunyikan si
Aboe di bawah selimutnya, tetapi ketahuan oleh Kur karena si Aboe
tidak bisa diam karena merasa sumpek. Seperti tahu diri, si Aboe nurut
saja ditaruh di luar, dan menjelang subuh baru mengeong-ngeong di
depan pintu dengan suaranya yang khas. Biasanya Kur sendiri yang
membukakan pintu agar si Aboe bisa masuk kembali ke rumah. 

Keadaan itu berlangsung beberapa lama, sampai pada suatu Sabtu pagi,
ketika saya sedang membuat catatan pengeluaran saya untuk dilaporkan
ke kantor setelah kembali dari sebuah perjalan dinas ke Sulawesi
Selatan, saya kaget dan hampir tidak percaya ketika mendengar Ira yang
begitu melihat si Aboe terbujur kaku di depan rumah sembari menangis
mengatakan bahwa Si Aboe mati. Saya tidak berani keluar untuk melihat
binatang kesayangan saya tersebut terkapar tidak bernyawa. Seorang
tetangga mengatakan kayaknya si Aboe memakan dengan  tidak sengaja
umpan beracun untuk membunuh tikus, karena ada busa di mulutnya.
Mungkin saja ketika merasa pusing, si Aboe berusaha untuk pulang,
tetapi sebelum sampai di pintu dan mengeong-ngeong seperti biasa untuk
minta dibukakan pintu, sudah ambruk duluan di halaman. Kur yang juga
terlihat ikut sedih berkata lirih: "Mama heran, kok si Aboe tadi pagi
tidak mengeong-ngeong minta dibukakan pintu seperti biasa"

Sonny, yang merasa sangat kehilangan memberikan penghormatan terakhir
dengan  mengubur si Aboe di garasi di depan rumah kami. 

Kurang lebih dua bulan setelah itu, saya dan Kur berangkat ke Tanah
Suci untuk menunaikan Ibadah Haji. Dalam tidur saya di malam hari
sekembalinya ke pemondokan kami di Makkah sepulang melaksanakan
pelemparan jamarat di Mina, saya mengalami tiga mimpi yang sangat
menyenangkan. Salah satu di antaranya, yang terakhir, saya melihat si
Aboe, yang tampak lebih besar dan agak transparan berjalan mendekati
saya sambil mengibas-ngibaskan ekornya.

"Ngapain kamu Boe..?" ujar saya sambil tertawa.   

Ketika terjaga dan menyadari bahwa apa yang saya alami itu hanya
sebuah mimpi belaka, saya lalu mendesis lirih:

"Duh Aboe….."


Wassalam, Darwin

[*] sebuah catatan Maulid Nabi. bagian pertama dari tiga tulisan.

Kirim email ke