Wawancara
    Agus Sunyoto:   Siti Jenar Dianggap Provokator Kesadaran  21/05/2007  
Makanya para pengikut Siti Jenar itu kemudian dikelompokkan sebagai golongan 
abangan. Artinya, pengikut ajaran Lemah Abang (nama lain Siti Jenar, Red). 
Ketika membuat dikotomi santri-abangan, Clifford Geertz (antropolog Amerika) 
tidak tahu hal itu. Kalau golongan abangan diidentifikasi dengan selamatan, itu 
kekeliruan yang sangat fatal. 
      


 --> 
    
   artikel baru   
   21/05/2007
Sumanto al Qurtuby
Memperkuat Islam Pacifis   
   14/05/2007
Abd Moqsith Ghazali
Syiah Ekstrem   
   14/05/2007
Moh. Shofan 
Menuju Pluralisme Global   
   14/05/2007
Agama Saya Adalah Jurnalisme   
   07/05/2007
Susah Menghadapi Orang Salah Paham 
    
   artikel sebelumnya   
   14/05/2007
Abd Moqsith Ghazali
Syiah Ekstrem   
   14/05/2007
Moh. Shofan 
Menuju Pluralisme Global   
   14/05/2007
Agama Saya Adalah Jurnalisme   
   07/05/2007
Susah Menghadapi Orang Salah Paham   
   07/05/2007
Abd Moqsith Ghazali
NU Versus Gerakan Transnasional 


    Historisitas sosok Syekh Siti Jenar yang banyak dimitoskan orang kini 
pelan-pelan terkuak. Beberapa penelitian serius telah menyingkap sosok dan 
aspek-aspek ajarannya. Benarkah ia sosok yang murtad dari sudut pandang agama? 
Selasa lalu (15/5) Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) berbincang-bincang dengan Agus 
Sunyoto, penulis tujuh jilid buku fiksi sejarah tentang tokoh kontroversial 
tersebut. 
   
  Mas Agus, bagaimana riwayat ketertarikan Anda meneliti sosok Syekh Siti Jenar?
   
  Kakek saya dari pihak ibu adalah orang Jombang. Dia mengaku orang yang 
mengamalkan ajaran Syekh Siti Jenar. Ketika saya tanya darimana memperoleh 
pengetahuan itu, dia jawab, ”Lho, saya kan santri Tebu Ireng angkatan pertama!” 
Dia meninggal tahun 1995 dalam usia 105 tahun. Satu-satunya guru yang dia ikuti 
ajarannya sampai saat itu adalah almarhum KH Hasyim Asyari. ”Berarti Mbah 
Hasyim mengajarkan soal ini, dong?” tanya saya. ”Lha, iya!” katanya. Saya 
berpikir, darimana dia dapat itu kalau bukan dari Mbah Hasyim langsung. Tapi 
saya masih ragu: masak Mbah Hasyim mengajarkan itu?! Dari beberapa sumber lain, 
saya mendapat jawaban yang sama. Jadi saya berkesimpulan bahwa benar bahwa Mbah 
Hasyim mengajarkan itu.
   
  Apakah ajaran-ajaran Siti Jenar masih berjejak dalam masyarakat Jawa saat ini?
   
  Ada. Itu terlihat dari adanya guru-guru tarekat atau kebatinanan dari 
kalangan pribumi. Sebelum Siti Jenar, masyarakat pribumi tidak boleh menjadi 
guru (tarekat). Setelah itu baru boleh. 
   
  Unsur-unsur apa dari ajaran Siti Jenar yang masih tampak dalam tarekat yang 
mengklaim tersambung dengan dirinya?
   
  Dalam hal egalitaranisme. Mereka egaliter sekali. Tarekat mereka tidak 
mengenal adanya mursyid-mursyid yang diagungkan. Kalau mereka berdiskusi 
soal-soal teologis, maka kedudukan guru tidak ada sama sekali. Semua orang 
adalah lawan bicara. Jadi tidak ada kultus mursyid. Ciri lainnya, cara mereka 
menuju Tuhan sangat individualistik. Toh, Nabi Muhammad ketemu Tuhan dengan 
cara sendirian di Gua Hira. Mereka tidak rame-rame. Kalau dilakukan rame-rame, 
itu namanya demonstrasi, bukan mencari Tuhan. Ketiga, masing-masing pengikut 
tarekat ini tidak saling kenal, dan ajaran-ajarannya disampaikan secara rahasia.
   
  Doktrin apa yang tampak paling mencolok dari tarekat mereka?
   
  Yang utama soal tauhid. Pemahaman tentang ini agak beda dengan pemahaman 
awam. Tuhan bagi mereka adalah sesuatu yang tidak terdefenisikan. Laitsa 
kamitslihi syai’un atau Dia adalah yang tidak bisa digambarkan. Siti Jenar juga 
mengatakan bahwa ke-99 sifat Tuhan di dalam asma’ul husna itu juga ada 
potensi-potensinya dalam diri semua manusia. 
   
  Manusia punya sifat sabar, karena Allah punya sifat as-Shabûr (Mahasabar). 
Manusia sombong karena memang ada sifat al-mutakabbir (Mahasombong) pada Allah. 
Ada juga sifat ad-Dhâr, Yang Maha membuat bahaya. Lah, manusia itu kan 
seringkali melakukan hal yang membahayakan orang lain maupun dirinya. Jadi, 
bagi Siti Jenar, tanpa adanya manusia, tidak ada asma’ul husna, karena dia juga 
mengejawantah di dalam diri manusia.
   
  Pandangan teologis Siti Jenar itu qadariyah, jabariyah, atau apa?
   
  Tidak itu semua. Bagi dia, orang yang mengamalkan ajarannya haruslah hidup 
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dari situ dapat dibuktikan bagaimana 
citra insan kamil (manusia sempurna) itu mengejawantahkan sifat-sifat Tuhan. 
Artinya, manusia adalah cerminan Tuhan. Karena itu, manusia harus mengamalkan 
watak as-Shabûr, al-`Âdil, al-Hakîm, dan watak-watak Tuhan lainnya. 
   
  Siti Jenar punya struktur berpikir yang sederhana. Misalnya dia bicara soal 
al-khâliq, Mahapencipta atau Sang Pencipta. Kata ini terdiri dari tiga huruf: 
kha’, lam, qaf. Dari kata khâliq itu justru ada ciptaan atau al-khalq. Jadi ada 
pencipta dan ada ciptaan. Karena itu, munculnya khalq atau ciptaan berasal dari 
kha-la-qa dan al-khâliq. Hurufnya masih sama: kha’, lam, dan qaf. Nah, 
bagaimana cara si khalq menuju khâliq? 
  Ada perantara bernama khuluq, budi pekerti. Khuluq-nya siapa? Khuluq yang 
karim (budi pekerti yang mulia). Semakin seseorang tak bisa mengejawantahkan 
khuluq itu, makin jauh dia dari Tuhan. Kalau khuluq-nya jelek, ya mesti jauh 
dari khâliq. Kalau mau dekat, ya harus mencerminkan perilakunya sang khâliq.
   
  Apa standar khuluq-nya di situ?
   
  Ya, perbutan sehari-hari. Ritual salat misalnya, (yang penting) efeknya dalam 
kehidupan sehari-hari, yaitu tanhâ `anil fahsyâ’i wal munkar (menjauhkan dari 
perbuaran keji dan munkar, Red). Khuluq itu ada dalam kehidupan sehari-hari. 
Karena itu, orang tidak boleh mengasingkan diri dari kehidupan dan masyarakat. 
Khairun nas anfa`uhum lin nas (sebaik-baiknya manusia adalah yang paling 
bermanfaat bagi orang lain, Red). Makin banyak manfaatnya akan makin bagus; 
makin mulia. Makin banyak mudaratnya, makin jelek orangnya.
   
  Lalu fungsi ritual agama seperti apa?
   
  Kalau kembali ke syariat, satu-satunya agama yang mensyaratkan uji empiris 
adalah Islam. Semuanya empiris, dan yang tidak empiris tidak diakui. Orang yang 
beriman harus jelas: diyakini di dalam hati, lalu diucapkan dengan lisan. 
Pengujinya apa? Perbutan! Kalau ucapanmu tak sesuai dengan tindakanmu, maka 
stempelmu adalah munafik. Itu empiris! Jadi, dasar pertama adalah uji empiris. 
Sampai menyangkut soal salat. Untuk menandai kamu Islam, ya salat. As-salâtu 
`imadud dîn, salat itu tiang agama. Jadi, ujinya empiris.
   
  Lantas di mana titik polemis antara Siti Jenar dengan para wali lainnya?
   
  Memang tidak ada (dalam soal itu). Tapi Siti Jenar juga mengajarkan unsur 
tarekat yang di dalamnya terkandung pengetahuan-pengetahuan spiritual. Yang 
namanya spiritualitas itu kan tidak bisa dibuktikan secara empiris. Sementara, 
bagi ulama yang berpikiran fiqih atau syariat-sentris, pengalaman spiritual itu 
bersifat sangat pribadi. Bagaimana membuktikannya?! 
   
  Kalau sudah fana ketemu Tuhan, apa tandanya? Karena itu, susah memahami 
ungkapan sosok seperti al-Hallaj, wamâ fî jubbatî illalLâh, tidak ada lain 
dalam jubahku kecuali Allah. Atau ungkapan anal haq! (akulah Sang Kebenaran) 
dan ungkapan lainnya. Semua itu tidak bisa dibuktikan secara empiris. Makanya, 
itu dianggap salah. Karena standar ujinya empirisisme. 
   
  Apa beda teori penciptaan Siti Jenar dengan teori pancaran atau emanasi 
(nazariyyatul faidl) dari Ibu Sina?
   
  Dalam pandangan Siti Jenar, munculnya segala makhluk berasal dari itu tadi: 
khâliq menjadi khalq. Kemudian ada juga istilah ma`bûd (sembahan) dengan `âbid 
(penyembah). Hurufnya sama. Bagi Siti Jenar, ada tuan dan ada hamba. Di antara 
keduanya ada yang bernama `ibâd (kawulo). Dari sini juga muncul kata ibadah. 
Jadi, hubungannya lurus; harus lurus. Kalau hubungan `ibâd dengan ma`bûd makin 
tidak lurus, itulah yang dinamakan bid’ah. 
  Jadi, bid’ah tak dimaknai sebagai sesuatu yang ditambahi-tambahi dalam agama. 
Standarnya tidak fikih. Kalau sesuatu menyimpang dari tauhid, itu baru bid’ah. 
Kalau orang melakukan ibadah, misalnya sedekah, untuk pamer-pamer, bukan untuk 
ma`bûd-nya, itu bid’ah, pamer! Ayo tivi, shooting saya yang nyantuni anak 
yatim! Itu bid’ah namanya. Itulah pemaknaan Siti Jenar.
   
  Untuk memperantarai hubungan khâliq dengan khalq, ada konsep nur muhammad. 
Anda memaknainya sebagai ”cahaya yang terpuji”, bukan cahaya Nabi Muhammad. 
Mengapa? 
   
  Itu pemaknaan Siti Jenar. Nama muhammad itu kan terhitung baru. Sebelum 
Islam, tak ada orang Arab bernama Muhammad. Dan yang menyampaikan konsep nur 
muhammad juga bukan Nabi Muhammad. Ini konsep perantara untuk penciptaan awal. 
Nur muhammad inilah yang oleh Siti Jenar dianggap sebagai cara pemunculan 
hakikat muhammadiyah. 
   
  Ceritanya begini. Taruhlah nur muhammad itu biji nangka yang sudah ada konsep 
buah, daun, batang, dan lainnya. Itu sudah ada. Tapi dia dibungkus dalam biji 
nangka. Nah, hakeket muhammadiyah baru ada kalau buah itu ditanam, tumbuh, dan 
betul-betul menunjukkan ada konsep daun, batang, akar, dan lain sebagainya. 
Jadi, konsep nur muhammad itu tidak bermakna eksklusif bahwa penciptaan harus 
lewat jalur Nabi Muhammad. Menurut Siti Jenar, seluruh makhluk, apapun agama 
dan jenisnya, berasal dari konsep nur muhammad itu. 
   
  Bagaimana sikap Siti Jenar terhadap keragaman budaya lokal di Jawa?
   
  Dia justru mengakomodasi itu semua. Karena itu, terhadap agama Kapitayan, 
agama tauhid pra-Hindu, dia langsung ambil-alih. Bagi dia, untuk menyebarkan 
Islam, ini sama saja. Tapi dia juga memodifikasi. Kalau untuk menyembah Tuhan, 
bagi dia tak usah pakai istilah salat. Sebab, agama Kapitayan sudah pakai 
istilah sembah Hyang. Kata itu lalu dipakai. Hyang itu dalam bahasa Kawi 
artinya dewa. 
   
  Bagaimana memodifikasi Hyang sebagai dewa jadi Hyang sebagai Allah?
   
  Begini! Ajaran Kapitayan itu memuja dewa utama bernama Sang Hyang Toyo. Dalam 
bahasa Jawi, Toyo itu berarti kosong, hampa, suwung. Dia tan kena kinaya; tak 
bisa diapa-apakan. Dinalar nggak bisa, dilihat nggak bisa, didefenisikan juga 
nggak bisa. Itu sama dengan ungkapan laitsa kamitslihi syai’un. Nah, kalau 
begitu, bagaimana orang bisa tahu Sang Hyang Toyo kalau Dia tidak bisa 
didefenisikan? 
   
  Dalam Kapitayan disebutkan, Dia muncul dalam bentuk pribadi yang disebut tu 
atau to. Artinya kekuatan yang punya daya sakti. Daya sakti dari kekuatan Hyang 
Toyo inilah yang sudah dikenal sifatnya. Ada dua sifat, yaitu baik dan buruk. 
Sifat baik disebut tu, lalu menjadi Tuhan; sementara yang jelek disebut hantu. 
Karena itu, dalam asumsinya orang-orang, hantu mesti jelek, dan Tuhan mesti 
baik. Itu dari Kapitayan dan bahasa Kawi. 
   
  Tapi orang juga mikir, di mana tempatnya Sang Hyang, yaitu hantu dan tuhan 
ini? Wong dia juga masih abstrak dan hanya ada sifatnya! Lalu diyakini, tu bisa 
muncul pada sesuatu. Sesuatu yang disebut tu: watu, tugu, tuban (air terjun), 
tuk (mata air), tunggul, tunggak, tumbak, tulang. Semua ada di situ dalam 
bentuk kekuatannya.
   
  Bagaimana membedakannya dengan paham animisme, misalnya?
   
  Beda. Ini sesuatu yang dianggap ada rohnya. Kalau animisme dan dinamisme, 
semuanya benda saja. Ini tidak begitu; dia hanya berwujud kekuatan gaib. Ini 
juga ada ujungnya, yaitu Tuhan yang tidak bisa didefenisikan itu. Toyo tadi.
   
  Kaum animis pun menganggap barang-barang sembahan itu hanya medium 
penyembahan saja?!
   
  Tapi dalam animisme dan dinamisme, tidak ada konsep satu Tuhan yang abstrak. 
Sang Pencipta macam-macam, itu tidak ada. Dari situlah orang melakukan sesaji 
dengan tumpeng, tukung, tumbu, dan seterusnya. Bahkan untuk upacara tertentu 
yang bersifat rahasia untuk mewujudkan keinginan yang besar, biasanya ada 
sesembahan khusus yang bernama tumbal. 
   
  Bagaimana Siti Jenar menyikapi sesaji itu?
   
  Dia melihat ujungnya adalah tauhid. Nah, masyarakat di luar Keraton waktu itu 
adalah pengikut ajaran ini, bukan ajaran Hindu. Agama Hindu itu hanya dianut 
orang-orang Keraton. Jadi mereka masih ke arah ini (tauhid). Dan masyarakat 
juga masih dibiarkan membikin tumpeng, sesaji, dan semacamnya. 
   
  Jadi dia tidak lakukan konfrontatif. Karena itu, tempat ibadahnya orang-orang 
Kapitayan yang namanya sanggar, bentuknya diambil-alih kemudian. Tapi namanya 
bukan lagi sanggar, tapi langgar. Karena itu langgar di Jawa itu berbeda dengan 
langgar di tempat lain. Yang namanya mihrab itu adalah ruang kosong yang 
menjorok ke dalam. Itu dulu punya orang Kapitayan. Tempatnya seperti gentong 
yang masuk ke dalam. Itulah namanya kosong, suwung. Bentuknya sama persis 
dengan mihrab sekarang. 
   
  Kemudian ada juga ibadah Kapitayan yang mirip seperti orang-orang Islam, 
yaitu tidak makan sehari. Tapi namanya bukan shaum, melainkan pawasa atau 
puasa. Itu artinya juga tidak makan sehari, dari bahasa Kawi. Kemudian juga 
cerita soal surga-neraka. Bagi Siti Jenar, tidak usah pakai istilah jannatul 
firdaus, jannatu adn, dan sebagainya. Masyarakat tidak mengerti. Maka 
dipakailah kata suwarga dan neraka yang orang-orang sudah mengerti. Kosa kata 
itu sudah digunakan sejak lama. Termasuk ketika menyebut penghuni surga. Tidak 
usah pakai hûrin `în segala. Orang tidak akan tahu. Pakai saja istilah 
bidadari. 
   
  Ajaran apa dari Siti Jenar yang dianggap mengkhawatirkan kekuasaan?
   
  Ketika dia mengubah konsep kawulo menjadi masyarakat. Terutama ajaran tentang 
manunggaling kawulo gusti. Artinya, kesetaraan antara rakyat dengan penguasa. 
Masyarakat itu berarti orang yang punya hak sama, dari kata musyârakah (Arab: 
berpartisipasi dan bekerjasama). Pengikut-pengikutnya tak dibolehkan memakai 
kata kulo atau kawulo, tapi pakai kata ingsun. Makanya, orang Cirebon sampai 
sekarang menyebut aku, ya ingsun. Itu membuat marah raja. Dalam tatanan 
sosial-budaya saat itu, kata ingsun hanya berhak digunakan raja. Kok banyak 
orang desa menyebut dirinya ingsun?! Ini dianggap merusak tatanan. 
   
  Juga ajarannya bahwa pemimpin harus dipilih. Karena itu, demokrasi pertama 
itu ada pada ajaran Syekh Siti Jenar. Dia yang memelopori kepemimpinan ki 
ageng. Kota Cirebon saat itu disebut garade (negara gede). Sebab, saat itu yang 
berkuasa orang-orang gede. Negaranya para orang gede. Maksudnya bukan negara 
yang besar. Tapi negaranya orang-orang besar. 
   
  Sekarang kita menerima kata masyarakat secara taken for granted. Kita tak 
tahu konsepsi apa di balik kata itu. Makanya para pengikut Siti Jenar itu 
kemudian dikelompokkan sebagai golongan abangan. Artinya, pengikut ajaran Lemah 
Abang (nama lain Siti Jenar, Red). Ketika membuat dikotomi santri-abangan, 
Clifford Geertz (antropolog Amerika) tidak tahu hal itu. Kalau golongan abangan 
diidentifikasi dengan selamatan, itu kekeliruan yang sangat fatal. 
   
  Apakah ajaran Siti Jenar atau tarekatnya sekarang mungkin berkembang?
   
  Mungkin saja. Tapi ajarannya itu sebenarnya tertutup. Ada beberapa pejabat 
aneh yang saya curigai menganut ajaran ini. Setelah saya dekati dan ajak 
ngobrol, ternyata benar. Masak pejabat tidak mau terima suap, tidak korupsi, 
dan sebagainya?! Ini kan aneh. Mengidentifikasi mereka itu gampang. 
   
  Mereka biasanya aneh dan tak mau ikut orang kebanyakan. Ada pejabat yang 
dalam kondisi sekarang kok jujur, tidak korupsi, tidak dekat-dekat wartawan. 
Pokoknya tak mau ikut kebiasaan para pejabat umumnya. Setelah saya dekati, 
biasanya dia mengaku pengikut Siti Jenar. Ada seorang pejabat yang tiap kali 
gajian justru membeli sembako untuk para tetangganya yang miskin. Padahal, 
hidupnya biasa-biasa saja. Ternyata, orang itu mengamalkan ajaran Syekh Siti 
Jenar. Pokoknya, orangnya aneh-aneh. 
   
  Jadi jauh dari kesan negatif yang dicitrakan selama ini, dong?!
   
  Ya. Soalnya, babad-babad yang ditulis tentang Siti Jenar itu adalah tulisan 
orang Keraton semua. Mereka merasa sebagai pihak yang dirugikan oleh Siti 
Jenar. Karena itu, sikap orang Keraton Mataram sangat ambigu terhadap Siti 
Jenar. Di satu sisi mereka memitoskan hal-hal yang baik dari Siti Jenar, di 
sisi lain merasa dia membahayakan kedudukan raja. Dalam ajaran Siti Jenar tidak 
boleh ada kedinastian.
   
  Aspek lain yang dianggap mengancam adalah soal pemimpin yang harus dipilih. 
Dulu tidak begitu. Pemimpin seperti jabatan dari Tuhan. Selain itu juga ajaran 
untuk menahan pajak sebagai penentangan terhadap pemimpin. Bagi Siti Jenar, 
kalau anda tak suka kekuasaan, ya apa yang mendukung kekuasaan itu dipotong 
saja. Jadi, perlawanannya taktis. Kalau diperintah sesuatu, bilang ”ya” saja, 
tapi jangan dilakoni. Makanya, para penguasa jengkel. Bagi pemerintah saat itu, 
apa yang dikatakan itu serius sekali. Siti Jenar dianggap provokator yang 
membangkitkan kesadaran orang atas hak-haknya. [] 
   
  

  ^ Kembali ke atas 
  Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1255



e-mail: [EMAIL PROTECTED]
  blog: http://mediacare.blogspot.com

       
---------------------------------
Boardwalk for $500? In 2007? Ha! 
Play Monopoly Here and Now (it's updated for today's economy) at Yahoo! Games.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke