Sebenarnya aku cukup konsisten koq dengan argumentasi sejarah dan bagiku Islam kalau mau bangkit harus membangun peradaban. Dan SI Merah semarang itu bisa ditolerir dalam konteks Tahun 1920-an. Tapi kalau sekarang ya Islam harus membangun epistemologi nya sendiri dan saya kira itu yang sedang dilakukan oleh saudara-saudara di INSIST.
AGUNG CINTA --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "masarcon" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > apa yg saya tangkap dari email yg di fw mas satriyo ini ? > > 1. agung pribadi alias agung cinta, anak sejarah UI ini sedang > mengirimkan sebuah artikel. > > 2. artikel yg dikirim adalah tulisan wisnu pramudya, kepala cabang > suara hidayatullah pos jakarta. secara ideologi memang dekat dgnorang > DDII. agak beda dikit dengan hidayatullah yg di Sby [induknya]. ini > memang masalah internal yg sejak lama timbul sejak satu dasawarsa > terakhir. apa mau di kata, gerbong uangnya sekarang di situ. > generasimuda. gelombang suanga tiangkang yg belakangan melampau > gelombang yang lebih duluan. > > 3. untuk yg belum kenal agung cinta ini, dia bukan orang yg fundies > semata mata. tapi bisa mikir lumayan luas. antara lain bisa dilihat > dari artikel yang berjudul : "Wajar Mereka menjadi Marxis". > > Jadi dia mampu mengapresiasi, bahwa orang Si Merah di Semarang, karena > tuntutan jaman dan latar belakang sosialnya, memang wajar jadi > pengikut marxis. apresiasi macam ini tentu sangat sulit kita dapatkan > dalam dataran pemikiran teman teman yg tergabung di INSIST misalnya. > [untuk tidak bilang mereka adalah fundies biner yg hanya bisa melihat > persoalan secara hitam putih belaka]. > > 4. supaya lebih puas, tulisan dan artikel agung pribadi ttg Si merah > dan apresiasinya thd kondisi merka yg islam namun marxis saya posting > di bawah ini. > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "satriyo" <efikoe@> wrote: > > Bagi yang ingin tahu INSISTS, berikut kiriman dari milis tetangga. > Semoga bermanfaat. > > --- In [EMAIL PROTECTED], "agung pribadi" <agungpribadi2001@> > wrote: > > www.hidayatullah.com > > Selamat datang, INSISTS! > oleh Wisnu Pramudya *) > > > > ==== > > Wajar Mereka menjadi Marxis > Oleh Agung Pribadi* > > Deliar Noer berkata, "Nasionalisme Indonesia dimulai sebenarnya dengan > nasionalisme Islam". Katanya lagi, "Sesuatu gerakan yang penting di > Indonesia mulanya adalah gerakan orang-orang Islam. Mereka yang > bergerak di bawah panji-panji yang bukan Islam kebanyakannya terdiri > dari mereka yantg telah meninggalkan tempat buaian mereka semula, > tempat mereka mula-mula sekali mengecap asam garam pergerakan". (Noer: > 1980, 9). > > Hal ini dapat kita buktikan. Beberapa tokoh pergerakan nasional > terkemuka dari berbagai aliran berasal dari gerakan Islam. Untuk > aliran nasionalisme radikal Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) > tadinya berasal dari Sarekat Islam (SI). Soekarno pernah menjadi guru > Muhammadiyah. Mayoritas tokoh-tokoh PKI zaman pergerakan nasional > berasal dari SI. Tan Malaka, yang kalau menurut Kahin adalah seorang > Komunis Nasionalis seperti Ho Chi Minh di Vietnam (Anderson: 1988, 8) > dan pendiri partai Murba- berasal dari SI Jakarta dan Semarang serta > dibesarkan dalam suasana bersemangatnya gerakan modernis Islam Kaoem > Moeda di Sumatra Barat. (Poeze: 1988). > > Ada 3 aliran utama dalam pergerakan nasional yaitu Nasionalisme, > Islam, dan Marxisme. Ada yang berusaha menyatukan misalnya Tan Malaka, > Soekarno, KHM Misbach dan Sneevliet. Ada yang menarik garis tegas > misalnya A.Hassan, Tjokroaminoto pasca 1921, M. Natsir, Abdul Muis, > dan K.H. Agus Salim. > > Dalam bab penutup buku Di Bawah Lentera Merah Soe Hok Gie bingung > mengkategorisasikan KH Misbach yang dengan fasih berargumen menurut > ayat Al Qur-an dan Al Hadits sekaligus teori-teori Marxisme. Ia > bingung menentukan apakah KH Misbach itu bicara Marxisme dengan baju > Islam atau bicara Islam dengan baju Marxisme. Tetapi KH Misbach adalah > aktivis SI Solo. Untuk SI Semarang yang menjadi cikal bakal Partai > Komunis Indonesia Soe Hok Gie berani mengambil kesimpulan, SI Semarang > adalah gerakan orang-orang abangan dan priyayi yang sedang > semangat-semangatnya melakukan pergerakan nasional akibat 4 hal. > > Pertama, kelaparan akibat tanah-tanah pertanian rakyat dirampas untuk > perkebunan tebu inti rakyat yang hasilnya tidak cukup untuk makan. > Kedua, wabah pes yang menyebabkan angka kematian penduduk Semarang > hingga 76%. Ketiga, didirikannya Volksraad yang merupakan `Demokrasi > seolah-olah' atau `komedi' dalam bahasanya Semaun ketua SI Semarang > serta didirikannya Indie Weerbaar (Pertahanan Hindia) yang dianggap > membuat orang-orang pribumi sebagai perisai hidup anti peluru bagi > orang-orang Belanda. Keempat, delik pers Sneevliet (bahasa Belandanya > persdelict Sneevliet). Pengadilan terhadap Hendricus Josephus > Fransiscus Marie (H.J.F.M.) Sneevliet yang membuat orang-orang > Semarang khususnya dan orang Jawa umumnya kagum. Karena ada orang > Belanda dengan teori-teori Marxisme-nya membela mati-matian > orang-orang pribumi dan rela melepaskan pekerjaannya yang bergaji > sangat besar. > > Adapun Islam dipakai karena dengan Islam –melalui Sarekat Islam- > massa rakyat yang sangat banyak bisa direkrut. Massa tidak mengerti > teori-teori Marxisme. Jangankan massa, para aktivis SI Semarang saja > tidak terlalu memahami teori-teori Marxisme. Tidak pernah ada > pembahasan teoritis dan mendalam tentang Marxisme dalam surat kabar > mereka Sinar Djawa/Sinar Hindia. Merekapun tidak terlalu mengerti > Islam. Islam hanya dipakai untuk menggugah emosi massa juga karena > simbol Islam=Pribumi pada masa itu. > > Penulis pikir wajar saja para aktivis SI Semarang memilih Marxisme > sebagai alat analisis sosial dan ideologi perjuangan. Karena pada masa > itu jawabannya memang itu. Wajah Islam yang ada saat itu menurut RA > Kartini membuat orang-orang tidak mengerti Islam karena Al Qur-an > tidak boleh diterjemahkan. (Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, > (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), hal. 45). Menurut Gus Dur penghambat > kemajuan dan pro status quo, menurut Deliar Noer tidak memperhatikan > masalah sosial, politik, dan ekonomi. > > Pada saat itu tidak ada tulisan-tulisan tentang Islam di Indonesia > yang bersifat teoritis dan mengadaptasi kemajuan zaman. Buku Islam dan > Sosialisme-nya Tjokroaminoto baru ditulis pada tahun 1924 dan isi buku > itu tidak terlalu dalam dan bersifat apologetik. Kalau menurut Deliar > Noer sebenarnya buku itu bukan karangan Tjokroaminoto melainkan hasil > saduran dari karangan seorang ulama Timur Tengah. Tulisan-tulisan K.H. > Agus Salim baru beredar pasca 1921. Yang paling keras menentang > Marxisme adalah Abdul Muis. Tetapi kalau kita membaca satu studi di > jurusan sejarah UI maka kita melihat bahwa Abdul Muis itu memang > `penjilat' Belanda. Novel Abdul Muis "Salah Asoehan" adalah upaya > membentuk opini publik bahwa wanita ideal adalah wanita `rumahan' > sebagai antitesis keadaan masa itu di mana para wanita > berbondong-bondong ke luar rumah untuk aktif dalam pergerakan nasional > untuk menjadi anggota SI-Wanita, Aisyiyah (Divisi Wanita > Muhammadiyah), dan lain sebagainya. Abdul Muis pro Belanda yang > kerepotan dengan wanita-wanita yang aktif dalam pergerakan nasional. > Penggambaran sangat baik suasana waktu itu, khususnya di Sumatra > Barat, ada dalam novel Hamka, Di Bawah Lindungan Ka'bah. > Perdebatan-perdebatan teoritis tentang Islam yang produktif baru ada > pasca 1930 setelah Soekarno aktif di dunia jurnalistik pergerakan > nasional. Debat terbuka terjadi antara Soekarno versus KH Agus Salim. > Polemik terjadi antara Soekarno versus A.Hasan dan Soekarno versus > M.Natsir. > > Dengan kata lain, dengan keadaan Islam yang seperti itu wajar saja > para aktivis SI Semarang memilih Marxisme sebagai ideologi perjuangan > dan alat analisis sosial, walaupun mereka membawa nama Islam yaitu > Sarekat Islam. > > Kalau ada yang berpendapat mengapa mereka tidak tetap memakai Islam > sebagai ideologi perjuangan dan alat analisis sosial seperti yang > dipakai oleh gerakan tarekat Sanusiyah di Libya, maka jawabannya > adalah pertama, Islam Indonesia sangat menekankan aspek spiritual dan > nyaris melupakan duniawi. Juga Islam Indonesia sangat sinkretis dan > tidak murni lagi seperti kata Clifford Geertz, Harry J. Benda, Snouck > Hurgronje, B.J.O. Schrieke, dan Kuntowijoyo. Kedua, pernah ada gerakan > tarekat yang mirip gerakan tarekat Sanusiyah di Libya yaitu gerakan > tarekat Qadariyah yang mengorganisir pemberontakan petani di Cilegon, > Banten. Tetapi pemberontakan itu gagal total. Gerakan tarekat > Sanusiyah di Libyapun gagal total. Jadi pada masa itu Islam di seluruh > dunia tidak bisa dijadikan alat analisis sosial dan ideologi > perjuangan, justru yang bisa adalah Marxisme-Leninisme (yang kemudian > disebut komunisme) dengan keberhasilan Revolusi Bolsyewik-nya. Namun > demikian Soe Hok Gie tidak sepakat dengan pendapat para sejarawan ahli > Indonesia yang mengatakan pergerakan nasional bergerak ke kiri karena > keberhasilan Revolusi Bolsyewik, Oktober 1917. Soe Hok Gie mempunyai > alasan kuat yaitu: "Tetapi jika kita menilik pers Indonesia, juga pada > surat kabar Sinar Djawa/Sinar Hindia (di bawah asuhan Semaun, Alimin, > dan lain-lain), revolusi Rusia tidak mendapat tempat yang besar. > Nama-nama Lenin, Trotsky, dan Stalin, hampir tak pernah disebut. > Perdamaian Brest-Litowsky hanya sekali menjadi bahan sebuah artikel > Kadarisman. Bahkan dalam mengenang tahun 1917 berlalu, revolusi > Oktober itu tidak disebut-sebut. Tetapi pengarang lainnya disebut. > Hanya melalui Sneevlieet-lah, revolusi Rusia itu pernah menarik > perhatian publik di Indonesia dan baru setelah tahun 1920, ketika kaum > Marxis Indonesia mulai mengadakan hubungan internasional, hal-hal di > seputar revolusi Rusia menarik perhatian Indonesia. > > Menurut pendapat saya, pengaruh kejadian-kejadian di luar negeri baru > mendapat perhatian di negeri ini setelah tahun-tahun 1926. Sebelumnya, > berita-berita luar negeri amat pendek-pendek dan hanya merupakan > kutipan kawat. Masalah pengaruh luar negeri sampai sekarang masih > sangat dilebih-lebihkan dan hanya penelitian lebih lanjut yang akan > memberikan jawaban sebenarnya". (Soe Hok Gie: 1990) > > > Jadi Soe Hok Gie lebih berpendapat faktor keadaan > sosial-ekonomi-politik di Semaranglah yang menyebabkan SI bergerak ke > kiri (4 faktor yang sudah disebutkan di atas), ditambah beralihnya > kepemimpinan SI Semarang dari anak-anak kaum borjuis ke anak-anak kaum > proletar (petani dan buruh). Kekaguman yang amat sangat kepada > Sneevlieet membuat banyak sekali anggota SI Semarang yang merangkap > sebagai anggota ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereniging). Di > ISDV inilah mereka mempelajari Marxisme dan kemudian > Marxisme-Leninisme. Tetapi ketika pada tingkat aksi mereka memakai > nama Sarekat Islam. > > Dalam kongres CSI (Centraal Sarekat Islam/Sarekat Islam Pusat), > kelompok Semarang ini selalu ngotot dengan pendapatnya untuk membawa > SI ke kiri. Walaupun mendapat tentangan keras dari Abdul Muis mereka > tetap ngotot. Karena dengan cara berfikir dialektikanya Hegel yang > diadaptasi Marx, para aktivis SI Semarang ini mengharap terjadinya > sintesis dari peserta kongres. Dan dengan campur tangan ketua CSI > Tjokroaminoto yang mengutamakan persatuan SI dicapailah sintesis itu. > Hasil sintesis itu yang fenomenal adalah hasil sintesis dalam kongres > III CSI. Pertentangan antara Muis dengan kelompok Semarang dapat > ditengahi oleh Tjokro yang amat dihormati kedua belah pihak yang > bersengketa itu. Salah satu yang diperjuangkan oleh SI Semarang adalah > tekad untuk memerangi kapitalisme dengan mengorganisir kaum buruh di > kota-kota. Karena dari sinilah tumbuh akar perjuangan mati-matian kaum > sosialis revolusioner dimulai sampai pada pemberontakan PKI tahun 1926. > Sarekat Islam Pusat (CSI) menjadi sangat sosialistik ketika dalam > sidang pengurus pasca kongres III CSI Abdul Muis tidak hadir. Sehingga > kelompok Semarang meraja lela dan mendominasi kongres. Sehingga > keputusan-keputusan kongres membuat Sarekat Islam menjadi sangat > sosialistik. SI Semarang (atau dikenal dengan nama SI Merah) selain > mempengaruhi SI Pusat menjadi sangat sosialistik juga kemudian > bermetamorfosis menjadi Perserikatan Komunis Hindia kemudian berubah > lagi menjadi Partai Komunis Indonesia. > > Wallahu A'lam bish Shawab. >