Catatan laluta: http://indonesiamasadepan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=60&Itemid=27 Solusi untuk Program Pencegahan Kanker Leher Rahim di Indonesia Oleh Tommy Dharmawan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Sedang menjalani penelitian di Leiden Universiteit Medische Centrum, Leiden, Netherland Bayangkan di seluruh dunia, setiap dua menit satu perempuan meninggal karena kanker leher rahim. Menurut penelitian dari Ferlay, hampir 500.000 kasus baru kanker leher rahim terdiagnosis tiap tahunnya. Delapan puluh persen kasus tersebut terutama terjadi di negara berkembang. Sedikitnya 200.000 perempuan di negara berkembang meninggal tiap tahun karena kanker ini. Fakta-fakta tersebut membuat kanker leher rahim menempati posisi kedua kanker terbanyak pada perempuan di dunia. Saat ini, kanker leher rahim menjadi kanker terbanyak pada wanita Indonesia yaitu sekitar 34% dari seluruh kanker pada perempuan dan sekarang 48 juta perempuan Indonesia dalam risiko mendapat kanker leher rahim. Dari data rumah sakit Ciptomangunkusumo di tahun 1998, kanker leher rahim menduduki posisi teratas dari sepuluh kanker primer terbanyak pada perempuan. Menurut penelitian dari Asia-Link Female Cancer Program Foundation, sebuah organisasi non pemerintah yang dibiayai oleh Pemerintah Belanda dan Europeaid cooperation office, pada Agustus 2006 jumlah prevalensi kanker leher rahim di Indonesia diperkirakan sekitar 100 pasien per 100.000 penduduk dan ini adalah masalah besar. Jika dibandingkan dengan negara lain semisal Belanda, prevalensinya hanya 9 per 100.000 penduduk. Jadi, Indonesia menghadapi era lain penyakit. Pada satu sisi, Indonesia masih menghadapi era penyakit infeksi seperti tuberkulosis dan flu burung, tetapi di sisi lain Indonesia sudah harus menghadapi era penyakit degeneratif dan keganasan seperti kanker leher rahim. Alasan utama mengapa kanker leher rahim memiliki mortalitas yang besar adalah karena pasien baru datang memeriksakan diri ke dokter pada stadium lanjut. Sekitar 65% pasien terdiagnosis pada stadium lanjut (lebih dari stadium II B). Apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi? Salah satu alasannya adalah karena 90% dari kasus kanker leher rahim pada stadium dini tidak memiliki gejala khas sehingga penderita tidak mengetahui adanya kanker di tubuhnya ditambah lagi kebiasaan sebagian masyarakat Indonesia yang hanya memeriksakan dirinya ke dokter hanya ketika sudah mengalami gejala berat seperti mengalami perdarahan spontan per vaginam. Jika itu terjadi, maka kanker leher rahim sudah berada pada stadium lanjut. Masalah lain yang menghadang dalam penanggulangan kanker leher rahim di Indonesia adalah masih rendahnya angka cakupan tes deteksi dini atau skrining kanker ini. Skrining adalah salah satu cara untuk menemukan lesi pre kanker dan kanker pada stadium dini. Faktanya, angka skrining kanker leher rahim di Indonesia hanya berkisar kurang dari 5% (idealnya sekitar 80%). Karena rendahnya angka skrining itulah, maka pantas saja 70% pasien kanker leher rahim di Indonesia terdiagnosis pada stadium lanjut. Kondisi ini membuat rendahnya angka kesintasan dan tingginya angka kematian pada pasien kanker leher rahim di Indonesia. Masalahnya berlanjut karena pemerintah tidak mempunyai program nasional resmi untuk skrining kanker leher rahim. Ini adalah sebuah ironi. Mengapa? Karena tes untuk mengetahui kanker leher rahim pada stadium dini mudah dilakukan dan hal tersebut dapat secara drastis menurunkan angka kematian akibat kanker ini. Kanker leher rahim muncul dari zone transformasi di leher rahim. Zone ini lebih mudah untuk mengalami perubahan ke arah tidak normal dan dapat tumbuh menjadi kanker jika ada infeksi Human Papilloma Virus (HPV) dan jika terdapat faktor risiko lain. Kanker leher rahim dapat berkembang sampai 10 tahun setelah infeksi HPV. Beberapa faktor risiko antara lain memiliki pasangan seksual lebih dari satu, multi paritas (melahirkan lebih dari empat anak), melakukan hubungan seksual pada usia dini, penggunaan obat imunosupresan, infeksi genital (alat kelamin), ketidakseimbangan radikal bebas dan antioksidan, merokok, dan sosial ekonomi lemah. Infeksi HIV juga dapat meningkatkan risiko terkena infeksi HPV sampai sepuluh kali karena menurunnya imunitas pada pasien HIV. Manifestasi klinis dari kanker leher rahim antara lain perdarahan pasca senggama, sekret vagina, perdarahan antara dua siklus menstruasi, perdarahan pasca menopause, perdarahan spontan per vaginam, perdarahan per vaginam saat buang air besar, dan juga nyeri ketika bersenggama. Solusi untuk pencegahan dan tatalaksana Sekarang, mari membahas tentang strategi untuk menurunkan angka kejadian kanker leher rahim. Metode pertama adalah usaha preventif primer. Hal ini mencakup edukasi untuk mengurangi perilaku seksual berisiko tinggi seperti berhubungan seksual dengan banyak pasangan, menghindari atau meminimalkan adanya faktor risiko lain seperti menikah di usia dini, melahirkan anak di usia muda, dan merokok. Vaksin HPV juga termasuk usaha pencegahan primer. Mengapa? Karena salah satu faktor risiko dari kanker leher rahim adalah infeksi HPV. Menurut penelitian dari De Boer di tahun 2006, virus HPV terdeteksi pada 95% kasus kanker leher rahim terutama adalah HPV tipe 16 dan 18. Juga menurut penelitian yang sama, HPV tipe 18 adalah tipe HPV yang lebih dominan di Indonesia. Hal ini berbeda dengan tipe HPV di negara Asia lainnya seperti India dan Korea yang lebih dominan adalah HPV tipe 16. Ini memiliki implikasi pada isi dari vaksin HPV. Vaksinasi HPV adalah salah satu solusi untuk pencegahan kanker leher rahim. Semua tipe vaksin HPV yang beredar seperti vaksin quadrivalen dan bivalen dapat digunakan untuk vaksinasi HPV tipe 16 dan 18. Tapi tentu saja biaya yang diperlukan untuk vaksinasi massal tidaklah murah. Jadi, kita memerlukan strategi lain untuk menghadapi kanker leher rahim. Salah satunya adalah dengan pencegahan sekunder. Pencegahan sekunder mencakup deteksi dini dan tatalaksana lesi prekanker yang sangat sederhana, mudah, dan efektif. Kata kuncinya adalah cakupan skrining massal untuk mendeteksi lesi pre kanker. Indonesia memerlukan tes skrining yang efektif, aman, praktis, mudah didapat dan mudah tersedia. Ada beberapa metode deteksi dini kanker leher rahim seperti Pap smear dan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA). Tes Pap smear tetap menjadi standard utama. Perempuan sebelum awitan aktivitas seksual sampai usia 65 tahun harus mendapatkan tes skrining tersebut. Tes tersebut dilakukan tiap tahun dan jika hasil 2-3 tes berurutan negatif maka tes Pap smear dilakukan dengan interval antara 3 sampai 5 tahun. Tes Pap smear digunakan secara luas sebagai tes skrining untuk kanker leher rahim tetapi memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasannya antara lain karena Indonesia tidak banyak memiliki sumber daya yang dapat menginterpretasi hasilnya. Tetapi ada metode skrining lain yaitu IVA. Walau tes skrining ini bukanlah hal baru yaitu sudah ditemukan oleh Hinselman di tahun 1925, teknik ini sangat tepat untuk diterapkan secara massal di Indonesia. IVA dapat membedakan antara leher rahim yang normal dan tidak normal dengan cara yang murah, mudah tersedia, dan cepat (PATH 2000). Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah salah satu tes untuk mengidentifikasi lesi pre kanker. Caranya adalah dengan memberikan usapan pada leher rahim dengan asam asetat 3-5% lalu hasilnya diamati dengan mata telanjang selama 20-30 detik. Pada IVA, Setelah pengusapan dengan asam asetat 3-5% menggunakan aplikator kapas lesi pre kanker di leher rahim akan terlihat secara temporer berwarna lebih putih dari sekitarnya setelah diusap dengan asam asetat. IVA tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium, hasilnya cepat didapatkan, dan tatalaksana dapat dilakukan setelah pemeriksaan. Salah satu hal yang harus dilaksanakan oleh pemerintah adalah pelatihan tentang IVA pada tenaga kesehatan terutama untuk daerah terpencil. Terakhir, adalah pencegahan tersier seperti tatalaksana untuk kanker seperti terapi bedah dan radiasi. Pemilihannya tergantung pada stadium kanker. Pendekatan strategis pencegahan kanker leher rahim di Indonesia harus dikembangkan secepatnya. Pendekatan tersebut harus memperhatikan tiga aspek antara perempuan, pelayanan kesehatan, dan teknologi. Menurut langkah pendekatan kebijakan pencegahan oleh WHO tahun 2002, langkah awal untuk pencegahan penyakit adalah mendapatkan komitmen politik, mengikat semua elemen yang terkait, melakukan analisis situasi dan kondisi yang sesuai dengan kondisi daerah, mengembangkan kebijakan yang tepat, dan memaksimalkan akses ke penyedia layanan kesehatan. Fokus dari program adalah untuk memaksimalkan cakupan skrining dan pelayanan kesehatan. Angka kematian akan menurun jika lebih banyak pasien terdiagnosis saat stadium dini. Ini adalah kesempatan untuk menemukan kanker pada stadium dini dan untuk melindungi wanita dari penyakit yang mematikan ini. Pencegahan tetap menjadi langkah yang lebih tepat dari pengobatan. Jadi, kalau kita bisa menghentikan angka pertumbuhan yang cepat dari kanker leher rahim dengan memaksimalkan cakupan tes skrining. Mengapa kita tidak melakukannya? Bukankah mencegah lebih baik dari mengobati? Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang sedang menjalani program penelitian di Leiden University. Penelitian dalam rangka usaha pencegahan dan tatalaksana kanker leher rahim di negara berkembang dengan fokus Indonesia. Program ini disponsori oleh Asia-Link Female Cancer Program Foundation yang mendapat dana dari Pemerintah Belanda dan Europeaid Cooperation office.
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/ http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ --------------------------------- Take the Internet to Go: Yahoo!Go puts the Internet in your pocket: mail, news, photos & more. [Non-text portions of this message have been removed]