mau nanya juga soal hukum "mark-up" dalam islam ... apakah
diperbolehkan atau tidak?
soalnya saya pernah baca, bahwa layanan murabahah yang merupakan
produk bank syariah pada hakikatnya adalah "mark-up" juga.
kalau misalnya ada orang pengin punya mobil, maka pihak bank akan
membelikan dia mobil itu dan "menjual"-nya kembali ke orang tersebut
dengan "harga lebih tinggi" (mark-up) daripada harga aslinya, dan kini
si orang itu membayar "harga yang lebih tinggi" itu secara mencicil.

lalu apa bedanya dengan kredit biasa?
dan saat ini juga banyak bank non syariah yang menawarkan pembiayaan
pembelian barang dengan 0% bunga tapi dengan skema yang sama dengan
murabahah, artinya harganya dinaikkan, nasabah suruh bayar sesuai
harga yang dimark-up tersebut.

Mohon kalau ada yang bisa jawab. Makasih.

wassalam,
--
wikan
http://wikan.multiply.com

On 6/25/07, Flora Pamungkas <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Pak Kinantaka, tak usah bingung, tidak ada jatah komisi untuk "orang dalam".
>  Orang dalam itu kan sudah digaji oleh PT. XYZ yg akan membeli produk anda
>  itu. Seharusnya dia loyal membantu perusahaan tempat dia bekerja, dengan
>  mengusahakan perolehan harga yang seekonomis mungkin dan kwalitas yg bagus.
>  Jika ada bagian/ jatah untuk orang dalam, berarti PT. XYZ perusahaan itu
>  dirugikan oleh pegawainya sendiri.
>  Seharusnya PT. XYZ  bisa mendapat lebih murah, berhemat, tapi jadi lebih
>  mahal karena ada yang nyangkut ke pegawainya sendiri yg orang dalam itu.
>  Ini namanya korupsi oleh orang dalam.  Jadi anda jangan bekerja sama
>  memuluskan korupsi ini.
>  Tidak halal itu.  Dalam skala nasional, terbukti negara kita diterjang
>  krisis ekonomi karena perilaku biaya tinggi yang hampir merata di semua
>  sektor.  Orang2 dalam pada sibuk mempertebal kantong sendiri, akibatnya
>  perusahaan / instansi terkait jadi boros dan biaya tinggi.

Kirim email ke