Berikut adalah tulisan mantan Kapuspen Kodam III, yang menilik isinya 
bisa jadi tandingan buat komentar seputar issue yang sama oleh Farid 
Gaban di thread lain sebelum ini.

salam,
satriyo

===

Teroris Membeli Media Massa?
Oleh : Redaksi 26 Jun 2007 - 4:00 pm
http://swaramuslim.net/more.php?id=5622_0_15_0_M

Y Herman Ibrahim
Mantan Kepala Penerangan Kodam III/Siliwangi 

Kalau Anda tidak memiliki cukup waktu untuk membaca, tolong 
sempatkanlah untuk membaca satu alinea saja tulisan Ilham Prisgunanto 
di opini Republika, Selasa 19 Juni 2007. Alinea tersebut 
berbunyi, "Dengan demikian terjawablah pertanyaan besar, mengapa 
jaringan teroris lebih memilih Indonesia sebagai medan perang aksi 
mereka? Faktor kunci adalah dari begitu `longgar' dan penuh lubangnya 
sistem pemberitaan dan pers Indonesia. Tidak adanya ketegasan aturan 
perundang-undangan adalah 'opsi' dari mudahnya lahan publikasi dibeli 
karena masuk ke ranah yang tak bertuan dan tak terkontrol." 

Sungguh ini suatu kebohongan publik yang sangat dahsyat. Adhian 
Husaini mengatakan bahwa Barat mengontrol informasi dunia dan 
memproduk rata-rata 6 juta kata per hari, sementara Timur (Islam) 
hanya mampu 500 ribu kata per hari. Dari perbandingan produksi kata 
melalui berbagai jenis media cetak, elektronik, dan dunia maya tampak 
jelas bahwa diseminasi nilai yang terus menerus dicangkokan ke benak 
manusia adalah nilai-nilai, doktrin, ideologi serta budaya Barat.

Tengok jaringan informasi seperti CNN yang ditayangkan 24 jam terus-
menerus melalui jaringan satelit yang bisa ditonton di seluruh 
pelosok dunia melakukan cuci otak tanpa henti. Media massa nasional 
pun lebih banyak merujuk kepada informasi yang diproduksi oleh kantor 
berita seperti UPI, Reuters, dan BBC. Tidak ada ceritanya media di 
Indonesia mengambil referensi dari As Sahab, Ar Rahmah, Al Muhajirun, 
atau secara mandiri mengembangkan informasi tanding. 

Salah merujuk 

Ilham juga menyoal lubuk hati manusia yang jika ada rasa pembenaran 
terhadap aksi teroris merupakan keberhasilan taktik komunikasi 
jaringan teroris terhadap Indonesia. Ilham tidak salah dengan merujuk 
konsep agenda setting Maxwell Mc Comb 1995, tapi jika itu ditujukan 
kepada terorisme di Indonesia jelas menyesatkan. Semua orang 
menyaksikan betapa pemberitaan media ihwal kejahatan terorisme di 
Indonesia sungguh berlebihan.


Jauh sebelum proses pengadilan dijalankan, media menyebar informasi 
bahwa Abu Bakar Ba'asyir melakukan kejahatan makar, merancang 
membunuh Megawati, dan melakukan pelanggaran imigrasi. Tatkala 
pengadilan dijalankan, semua tuduhan itu tidak terbukti dan hanya 
satu pelanggaran (bukan kejahatan) yang terbukti yakni pemalsuan nama 
pada KTP tatkala kabur ke Malaysia untuk menghindari kejaran Benny 
Moerdani. Sebuah pelanggaran yang sama dengan yang dilakukan 
Casingkem, seorang TKW yang memalsu nama menjadi Novita Sari. 
Bedanya, Casingkem disambut Megawati di Istana Negara sementara Abu 
Bakar Ba'asyir dihukum 3 tahun penjara. Bukankah ini hasil 
pembentukan opini? 

Bisa jadi agenda setting Maxwell Mc Comb yang dirujuk Ilham benar 
sejauh itu digunakan justru untuk membenarkan terorisme yang 
dilakukan oleh Barat. Operasi Northwood yang kendati dibatalkan oleh 
Kennedy dirancang untuk memojokkan Kuba. Demikian juga operasi 
intelijen Teluk Babi di-setting seakan-akan dilakukan oleh teroris 
komunis. 

Belakangan masyarakat dunia terhenyak dengan sinyalemen Ahmadinejad 
bahwa Holocaust sebuah kekejaman teror yang luar biasa dahsyat adalah 
suatu kebohongan Yahudi untuk mempengaruhi opini dunia. Dusta tentang 
pembunuhan 6 juta Yahudi oleh Jerman diperlukan untuk pembenaran 
exodus Yahudi ke Tanah Palestina dan mendirikan negara di sana. 


Dr Frederisk Toben, asli Jerman dan menjadi warga negara Australia 
mengatakan bahwa Holocaust adalah kebohongan yang dilindungi secara 
legal. Tanpa Holocaust tidak ada alasan bagi Yahudi untuk membantai 
rakyat Palestina. Di negara-negara Eropa, Anda boleh mengritik atau 
menghina Yesus, Bunda Maria, dan sebagainya, tetapi anda dilarang 
mengkritik Yahudi dan Holocaustnya. 

Terorisme memang memerlukan kebohongan untuk pembenaran aksinya, 
tetapi tidak untuk Islam. Islam tidak mengenal konsep teror, yang ada 
adalah jihad. Di dalam Islam harus ada kekuatan untuk membuat musuh 
gentar tetapi bukan seperti terorisme yang dilakukan oleh Barat. 
Bahwa ada sebagian orang Islam di Indonesia yang marah kepada Barat 
karena kejahatan yang dilakukan Barat di Palestina, Irak, 
Afghanistan, Somalia, dan Chechnya lantas melakukan aksi perlawanan 
berupa pengeboman terhadap kepentingan Barat di negeri ini, memang 
itu kenyataan. 


Meski demikian David O Shea, orang Australia mengatakan bahwa aksi 
bom di Indonesia merupakan jalinan dari tiga kepentingan. Tiga 
kepentingan itu adalah pertama, Barat memerlukan aksi bom di 
Indonesia untuk membenarkan perang melawan terorisme. Kedua, ghiroh 
yang tinggi di kalangan anak-anak muda Islam khususnya alumni 
Afghanistan, dan ketiga budaya korupsi di kalangan aparat keamanan. 

Jadi, untuk konteks terorisme di Indonesia sesungguhnya bukanlah 
hasil persahabatan kental antara terorisme dan media massa seperti 
yang dirujuk oleh Ilham dari pendapat ahli masalah teroris Walter 
Laqueur. Tidak ada fakta yang menunjukkan bahwa teroris di Indonesia 
memiliki kemampuan finansial untuk menyewa media massa. Yang ada 
adalah justru sebaliknya yaitu pembentukan opini massal seakan-akan 
Nurdin M Top dan kawan-kawan adalah ancaman serius bagi rakyat 
Indonesia yang mayoritas Muslim.

Tentang Kepolisian RI perlu ada penjelasan bahwa kegelisahan dan 
kegerahan aparat di lapangan terhadap awak jurnalis seperti yang 
dicontohkan Robert L Rabe wakil kepala Kepolisian Washington dalam 
pembajakan sebuah gedung oleh Hanafi Muslim pada Maret 1977, tidak 
pernah terjadi di Indonesia. Pihak Kepolisian RI tidak terkesan takut 
kepada wartawan dan tidak merasa tertekan untuk mengisahkan 
penyergapan dan penangkapan teroris berikut opini yang dibangun 
seakan-akan para teroris seperti Abu Dujana benar-benar durjana. 
Seorang Sidney Jones warga AS yang diduga agen CIA bahkan dengan 
nyaman bicara bebas di berbagai media televisi tanpa rasa sungkan 
sedikitpun. 

Agen asing

Mantan KSAD, Jend Ryamizard Ryacudu, mengatakan bahwa ada lebih dari 
60 ribu intel asing berkeliaran bebas di Indonesia. Jika kedaulatan 
kita merasa terganggu sehingga perlu interpelasi parlemen ihwal 
kebijakan luar negeri mendukung resolusi PBB terhadap Iran, mengapa 
tidak pernah ada interpelasi tentang kehadiran agen-agen asing 
tersebut. Sungguh aneh penangkapan Abu Dujana yang peristiwanya 
bahkan telah diketahui dan diumumkan lebih dulu oleh pihak Australia. 
Apapun sanggahan kepala Polri tentang ini sulit diterima karena 
penangkapan dan pembunuhan Azhari sungguh sangat terbuka dan tidak 
ditunda-tunda pengumumannya. 

Yang terakhir, aparat hendaknya melakukan introspeksi bahwa jika ada 
empati sebagian masyarakat Muslim kepada 'teroris', hendaknya jangan 
dianggap sebagai sebuah pembenaran dari masyarakat Muslim itu 
terhadap aksi terorisme atau menuduh mereka memiliki kemampuan 
membayar media massa. Aparat kepolisian memiliki citra yang buruk, 
tidak saja dalam soal penangkapan 'teroris' melainkan juga nyaris 
dalam semua cara penanganan terhadap berbagai tindak keamanan dan 
ketertiban di masyarakat. (RioL)

Ikhtisar 
- Tidak ada bukti sama sekali yang menjelaskan bahwa media massa di 
Indonesia terbeli oleh para pelaku aksi terorisme. 
- Yang terjadi justru sebaliknya, dunia Barat dengan segala 
kekuatannya memanfaatkan media untuk melegitimasi aksi brutalnya 
terhadap Islam. 
- Anggapan bahwa aparat terganggu oleh kehadiran media massa dalam 
menangani aksi terorisme juga faktanya tidak benar.

Kirim email ke