Ya, sekarang memang lagi mode 'home schooling'
Kak Seto yg pertama mempopulerkannya. Mungkin ia promosi :-)
Tapi sekarang zaman yg apa2 dibisniskan maka home schooling juga di bisniskan.
Maka kalo dihitung biaya, sekolah rumahan dan sekolah umum juga sama saja 
keluar duitnya.
Hanya saja sekolah rumahan tidak setiap hari.

Sekarang banyak orang tua yg berpendidikan baik. Menurut saya, daripada di 
sekolah umum,
lebih baik diajari sendiri.  Hemat! Nanti setelahnya ikut ujian Kejar Paket A, 
B, C.
Ini diakui bisa masuk universitas.
Kelemahan home schooling cuma nantinya anak jadi a sosial, tidak punya teman 
bergaul.
Tak ada keinginan untuk bersaing u belajar giat, karena semuanya dilakukan 
dengan santai,  yg ajari kan juga 
orang tua sendiri dalam suasana bermain. Pokoknya sekedar bisa baca tulis dan 
memenuhi kurikulum yg diujikan.
Jadi ada juga anak yg umur 12 tahun sudah sama dengan anak yg setingkat akhir 
SMP [ 15 tahun]

Ada juga anak2  sekolah rumahan ini yg 'dimasyarakatkan' - dengan ikut 
'sekolah', semacam ikut pengajian2 untuk lebih 
punya teman, juga kursus2 ketrampilan, musik, menari, olahraga.
Ihsan Idol, Nia Ramadhani yg artis sinetron akhirnya juga ikut home schooling, 
karena jadwal mereka yg padat 
daripada sering bolos sekolah.
Di tempat saya ada anak China, yg sejak kecil diajari sendiri oleh ortunya, 
tidak sekolah.
Sekarang usianya mungkin 12-an sudah bisa jadi kasir dengan mesin penghitung di 
resto ortunya jika tidak sedang 
kursus musik dan melukis.

Salam 
l.meilany
----- Original Message ----- 
  From: Q. Ismiyanto 
  To: [EMAIL PROTECTED] 
  Sent: Wednesday, June 27, 2007 8:46 AM
  Subject: [keluarga-sejahtera] Sekolah Jadi Penjara bagi Anak


  Kak Seto: Sekolah Jadi Penjara bagi Anak

  Jepara, 26 Juni 2007 14:30
  Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi menilai, beratnya beban
  kurikulum dan sedikitnya ruang bagi tumbuhnya kreativitas, menyebabkan
  sekolah menjadi penjara bagi peserta didik.

  "Sistem pendidikan kita memperlakukan anak seperti robot. Anak ke
  sekolah harus membawa koper berisi begitu banyak buku, sampai di rumah
  masih harus mengerjakan PR. Habis itu terus teler," katanya di depan
  peserta Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional (Pirnas) di Jepara, Selasa
  (26/6).

  Seto Mulyadi yang biasa disapa Kak Seto itu menggugat, dengan beban
  sekolah yang demikian padat, lantas kapan anak-anak memiliki waktu
  untuk bermain.

  Padahal, katanya, bermain merupakan salah satu unsur penting dalam
  tumbuh kembang fisik, intelektual, dan mental anak.

  Sistem pendidikan yang kaku dan mengekang seperti itu, katanya,
  menganggap otak anak-anak tersebut kosong sehingga harus dijejali
  dengan berbagai hafalan materi pelajaran.

  Karena sekolah sudah seperti penjara bagi peserta didik, kata Kak
  Seto, maka ketika guru mengumumkan siswa bisa pulang lebih awal karena
  guru akan rapat, reaksi spontan siswa adalah kegirangan.

  "Mereka bergembira karena bisa lepas sejenak dari penjara," katanya.

  Menurut dia, karena beban di sekolah berat, tidak mengherankan bila
  sebagian anak pada sat ini ada yang mengidap fobia sekolah (school
  phobia), yang manifestasinya bisa bermacam, misalnya merasa sakit,
  tidak enak badan, dan lainnya.

  Kak Seto mengatakan, beban berat tersebut tidak hanya dialami siswa di
  Indonesia, tetapi dihadapi siswa bangsa-bangsa lain yang ingin
  mengejar kemajuan, terutama bangsa-bangsa di Asia, seperti Jepang,
  Korea Selatan, Singapura, Taiwan, dan lainnya.

  "Mereka stres menghadapi situasi sekolah dan lingkungan yang begitu
  menekan sehingga ada yang nekat bunuh diri. Padahal semua anak ingin
  bersekolah dalam situasi gembira," katanya.

  Ia mengingatkan, kurikulum pendidikan dasar di Indonesia terlalu padat
  sehingga kurang memberi ruang ekpresi dan kreativitas bagi peserta
  didik. Padahal, pendidikan nasional bertujuan mengembangkan segenap
  potensi peserta didik, bukan ingin menciptakan robot atau bebek-bebek
  (penurut, red).

  Menurut dia, kreativitas dengan kedisiplinan seseorang bisa berjalan
  beriring karena itu keliru bila kebebasan dan kreativitas identik
  dengan ketidakdispilinan.

  "Kecerdasan intelektual (IQ) bukan segala-galanya. Masih ada banyak
  kecerdasan yang bisa dikembangkan untuk tumbuh kembang anak," katanya.

  Ia memberi ilustrasi lima tokoh nasional yang memiliki prestasi
  istimewa di bidangnya masing-masing. B.J. Habibie yang ahli pesawat
  terbang, Rudy Hartono (juara tujuh kali berturut-turut All England),
  Rudy Salam (aktor), Rudi Hadisuwarno (tata rias), dan Rudy Choirudin
  (kuliner).

  "Jadi, spektrum kecerdasan itu sangat luas. Rudi Hadisuwarno ketika
  kecil hobi menggunting-gunting kertas, lantas belakangan mahir gunting
  rambut," katanya.

  Pendidikan terbaik

  Di tempat sama, Kepala Biro Kerja Sama dan Pemasyarakatn Iptek Lembaga
  Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr. Neni Sintawardani mengatakan,
  Finlandia merupakan negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia.

  Padahal, katanya, di negara itu siswa hanya menempuh belajar di
  sekolah 30 jam per minggu, sedangkan di Korsel 50 jam dan siswa
  Indonesia menghabiskan waktu di sekolah jauh lebih banyak dibanding
  murid Finlandia.

  "Finlandia bisa sukses karena guru-gurunya berkualitas. Yang menjadi
  guru adalah lulusan terbaik SMA. Gaji mereka tidak fantastis tapi
  profesi mereka sangat dihargai," kata Neni.

  Kunci sukses lain Finlandia, katanya, guru di negeri itu tidak pernah
  mengritik siswa yang gagal, tetapi terus mendorong siswa bisa bekerja
  independen.

  "Kegagalan siswa juga menjadikan guru introspeksi. Apa yang salah
  dengan sistem pembelajaran," katanya.

  Pirnas yang diikuti 135 siswa SLTP an SLTA dari 17 provinsi di
  Indonesia dan diikuti 42 guru pendamping itu akan berlangsung hingga 1
  Juli 2007.

  Pirnas VI yang terselenggara atas kerja sam LIPI, Undip Semarang, dan
  Pemkab Jepara ini meliputi bidang IPA, teknik, dan sosial.
  [TMA, Ant]

  http://www.gatra.com/artikel.php?id=105645



   

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke