Pergumulan Budaya 

Sepeninggal periode Khulafa Rasyidin, budaya lokal menyeruak keatas 
permukaan menghiasi aspirasi konflik elit politik. Baru dalam 
bilangan 20 tahun sepeninggal Rasul, wilayah kekuasaan Islam sudah 
sangat luas, menaklukkan imperium Persia dan membebaskan wilayah 
Syams dan Afrika dari penjajahan Rumawi, dimana pada kedua wilayah 
itu masing-masing telah memiliki peradaban yang sudah mapan serta 
potensi ekonomi yang sangat besar. Umar bin Khattab melarang keras 
tokoh-tokoh elit hijrah ke negri baru, tetapi khalifah Usman agak 
mengendorkan larangan itu, sehingga banyak pedagang Quraisy hijrah ke 
wilayah yang baru ditaklukkan.

Dengan ketiadaan sosok Rasul, para tokoh elit Arab Jahiliyah yang 
sudah masuk Islam tidak dapat lagi dibendung peran sosial ekonominya, 
karena mereka sejak sebelum memeluk Islam memang sudah memiliki 
kelebihan pengalaman dalam bidang ekonomi dan kepemimpinan. Jika pada 
masa Rasul dan Khulafa Rasyidin nilai agama dan solidaritas lebih 
menonjol, maka pada periode pasca Khulafa Rasyidin nilai ekonomi dan 
nilai kuasa justeru yang lebih menonjol. Akibatnya konflik politik 
dan persaingan bisnis menjadi subur, dan ujungnya adalah lahirnya 
sistem kekuasaan absolut berupa dinasti Umayyah (berpusat di Damaskus 
dengan basis budaya Romawi) dan disambung dinasti Abbasiah (berpusat 
di Baghdad dengan basis budaya Persia). Adapun kelompok yang tetap 
berorientasi kepada Qur'an & Sunnah, mereka tidak mau melibatkan diri 
dalam konflik, tetapi mengkhususkan diri menekuni pemikiran agama, 
kemudian secara sosiologis menjadi kelompok ulama yang bisa 
dipertentangkan dengan kelompok umaro (penguasa).

Pada saat itu berbagai aspirasi (Qur`ani, Hadits, Israiliyyat, 
filsafat dan tradisi lama) dan berbagai kelompok kepentingan terlibat 
dalam pergumulan budaya, dan kesemuanya mengatas namakan Islam.

1. Dari aspek politik lahirlah penguasa dinasti yang lebih 
mementingkan mempertahankan nilai kuasa dibanding nilai agama dan 
solidaritas, disamping kelompok oposisi.

2. Dari aspek pemikiran hukum, lahirlah mazhab-mazhab fiqh, yang 
terbesar adalah mazhab Maliki, Syafi`I, Hanafi dan Hambali.

3. Dari aspek teologi lahir alian-aliran ilmu Kalam (filsafat 
ketuhanan), seperti Mu`tazilah, Qadariyah, Jabbariyyah, Maturidiyyah 
dan Ahlu sunnah wa al jama`ah.

4. Dari aspek spiritualisme, lahirlah sufisme yang bercorak lmmanen 
dan bercorak transenden, yang panteistis dan yang tetap tauhid 
rational.

Di Aceh, Islam bergumul dengan budaya Melayu, melahirkan sastra 
Melayu Islam, dan pengaruhnya meluas di Sumatera, melahirkan format 
seperti adat bersendi syara`, dan syara` bersendi Kitabullah. 
Sedangkan di Jawa nilai-nilai Islam berhadapan dengan lingkungan 
budawa kejawen, yaitu lingkungan budaya istana (Majapahit) yang telah 
menyerap Hinduisme dan budaya wong cilik yang animistis. 

Hasilnya, yang lebih dekat ke Islam menjadi Pesantren, sedangkan yang 
lebih dekat ke budaya lokal menjadi Kejawen dan kebatinan. Di Jawa 
muncul konsep manunggaling kawula lan Gusti, konsep eling, konsep 
kalifatullah sayyidin Panatagama, konsep ngerti sadurunging winarah, 
konsep layang kalima sada dan sebagainya. Tipologi orang Jawa pasca 
pergumulan budaya Islam vs budaya lokal terbagi menjadi tiga (menurut 
Geertz) yakni santri, abangan dan priyayi. Priyayi kebanyakan juga 
abangan. Pergumulan itu berlangsung terus hingga sekarang, melahirkan 
typologi Amrozi, Habib Riziq, Harun Nasution, Takdir Ali Syahbana, 
Sukarno,  Nur Iskandar, AA Gym, Rendra, Hidayat Nurwahid, Mustafa 
Bisri, Emha Ainun Najib, Inul dan kita-kita ini. Wallohu a`lamu 
bissawab.

Wassalam,
agussyafii

==============================================
Sekiranya berkenan mohon kirimkan komentar anda melalui
http://mubarok-institute.blogspot.com, [EMAIL PROTECTED]
==============================================







Kirim email ke