Kemungkinannya :
Yg menulis cerita itu berjilbab lebar :-)
Ia ingin menyatakan bahwa berjilbab lebar adalah selalu orang yg baik.

Salam
l.meilany

  ----- Original Message ----- 
  From: Aisha 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Cc: [EMAIL PROTECTED] 
  Sent: Sunday, July 29, 2007 9:26 AM
  Subject: [wanita-muslimah] Jilbab Lebar


  Temans,
  Beberapa hari yang lalu saya ikut baca satu buku yang ada tulisan "kumpulan 
cerita Islami", buku ini dibawa sepupu yang menginap di rumah. Ada yang menarik 
dalam cerita-cerita (lebih dari satu cerita) itu, berulang kali disana 
digambarkan bahwa jilbab itu (kerudung maksudnya) harus lebar sehingga menutupi 
dada, malah ada satu cerita yang menggambarkan seorang gadis berjilbab lebar 
menutupi dada naik bis dan di sebelahnya ada gadis berjilbab mini (yang tidak 
menutupi dada, hanya menutup rambut saja), si gadis berjilbab lebar tertidur 
dan ketika bangun lagi, tasnya sudah hilang, gadis berjilbab mini di sebelahnya 
juga tidak ada, kata sopir dan kenek bis, gadis berjilbab mini itu yang mencuri 
tas gadis berjilbab lebar. Kesannya cerita itu menunjukkan bahwa jilbab lebar = 
baik dan jilbab mini = jahat.

  Di tv, sinetron yang katanya sinetron Islami juga ada yang menggambarkan 
seorang gadis buta berjilbab, ketika gadis itu bisa melihat lagi, dia menjadi 
gadis liar yang senang hura-hura dan kasar selain melepas jilbabnya. Disini 
kesannya cerita itu menunjukkan yang berjilbab = baik dan yang tidak berjilbab 
= jahat.

  Ketika membaca artikel di bawah ini yang berjudul "Fina dan Bibit Sapi Perah 
Unggul", di versi cetaknya ada 2 foto, yang satu ibu Fina ini sedang tertawa 
memakai semacam jaket. Satunya lagi ibu Fina sedang tertawa, berdiri di depan 
sapi-sapi. Kedua foto itu memperlihatkan jilbab yang dimasukkan, bukan jilbab 
lebar yang menutupi dada. Yang satu dimasukkan ke jaket, sementara yang satunya 
lagi jilbabnya dimasukkan ke dalam kaos tangan panjang yang dipadu dengan 
celana jins dan sepatu boot plastik. Sambil memandang foto-foto itu setelah 
membaca kisah perjuangan bu Fina ini selama belasan tahun untuk membantu 
peternak sapi sehingga saat ini mengurus 70 sapi miliknya dan menaungi 350 sapi 
lainnya, sehingga total 420 sapi yang diurusnya, saya sempat merenung, apakah 
orang seperti bu Fina ini masih dianggap kurang atau tidak Islami karena 
jilbabnya bukan berupa gamis longgar + kerudung yang tidak menjulur ke dadanya? 
Kenapa cerita Islami atau tayangan di tv yang pakai tam! bahan Islami itu 
selalu menitik beratkan ke jilbab yang menjulur ke dada? 

  Jika dulu di masa jahiliyah, wanita sengaja memperlihatkan belahan dadanya 
dan berbaju mini memperlihatkan pahanya, apakah perintah untuk menutup aurat 
itu memang harus diterjemahkan sebagai bentuk bahwa kerudungnya itu harus 
panjang sehingga menutup dada, sehingga beredar jilbab lebar? Apakah tidak 
cukup dada itu ditutup bra+ baju saja yang penting dada dan paha tidak terlihat 
diumbar, sehingga perempuan seperti bu Fina ini bisa bekerja mengurus dan 
mengawasi sapi-sapinya. Pernah juga saya melihat film Iran yang menceritakan 
sosok gadis kecil yang tiba-tiba harus mengurus adik bayi dan adik laki2 
kecilnya, mengurus ternaknya dan harus ikut ujian pula karena ayahnya sakit dan 
ibunya harus mengantar ayahnya berobat. Gadis itu memakai gamis longgar dan 
kerudung yang kain lebar dibentuk segi tiga yang ditalikan di lehernya tapi 
kainnya sampai ke perut (rambutnya masih terlihat), repot sekali gadis ini 
membuat adonan makanan untuk ternaknya, ujung kerudungnya masuk ke makanan te! 
rnak itu. Begitu juga saat dia mengerjakan pekerjaan lainnya, ribet banget 
dengan jilbab lebarnya. Di bawah ini cerita tentang bu Fina ini, apakah kita 
akan menghargai kegiatan bu Fina yang banyak manfaatnya untuk banyak orang, 
atau masih berkutat di sekitar anggapan bahwa muslimah baik itu adalah yang 
memakai jilbab lebar yang dianggap Islami yang menjulur menutup dada?

  salam
  Aisha
  ----------------
  http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0707/25/Sosok/3712942.htm
  Fina dan Bibit Sapi Perah Unggul 
  Hermas E Prabowo

  Fina Rosdiana (42) mungkin hanya satu dari sedikit perempuan pengusaha yang 
menekuni usaha pembibitan sapi perah. Meski jenis usaha yang satu ini 
menyisakan marjin keuntungan kecil dan tak banyak orang melirik, di tangan Fina 
usaha pembibitan tetap menjanjikan. 

  Tengok kandang sapi di Sukabumi, Jawa Barat, yang menaungi sekitar 420 bibit 
sapi perah hanya dalam waktu 15 tahun usahanya. Sebagian besar sapi-sapi itu 
berusia dara bunting dan siap dilelang dengan kisaran harga Rp 8 juta per ekor. 

  Yang menarik dari bibit-bibit sapi yang dikelola Fina dan Kelompok Tani 
Goalpara binaannya adalah semua bibit sapi itu berkualitas. Mereka dilahirkan 
dari induk sapi yang tercatat memiliki produktivitas tinggi, sebagian di 
antaranya bahkan produktivitas susunya mencapai 30 liter per hari. Rata-rata 
produktivitas sapi perah sekarang di bawah 15 liter per hari. 

  Bibit sapi itu juga dijamin memiliki masa laktasi atau masa produksi susu 
lebih panjang. Bila sapi perah umumnya hanya beranak lima kali, bibit sapi Fina 
bisa beranak sampai tujuh kali, dengan rata-rata laktasi 305 hari per tahun. 

  Hal terpenting yang tak dilupakan Fina adalah mencatat semua silsilah sapi 
miliknya. Mulai dari pejantan, induk, tanggal inseminasi buatan, hingga kapan 
sapi itu mulai berahi. Pencatatan silsilah atau garis keturunan sapi amat 
penting untuk menghindari kawin sedarah (inbreeding). 

  Di luar keunggulan bibit-bibit sapinya, dia juga menjaring anak-anak sapi 
milik peternak rakyat yang sudah tak sanggup lagi membesarkan pedet (anak 
sapi). Pedet itu dibeli dengan harga Rp 1,5 juta-Rp 2,5 juta per ekor. 

  Setelah dipelihara dengan memberi pakan cukup selama sekitar 1,5 tahun, sapi 
itu dikawinkan. Ketika sapi itu bunting dan siap laktasi baru dijual. Meski 
menjual sapi dengan cara lelang, Fina tetap memprioritaskan pemilik semula 
untuk membelinya. 

  Syaratnya, ada kontrak jual beli yang menyatakan, bila pemilik semula anak 
dari sapi yang dibeli itu tak sanggup membesarkan, sapi harus dijual kembali 
kepadanya. 

  Akan tetapi, karena minimnya sapi anakan di Sukabumi, Fina tak jarang membeli 
pedet dari peternak di sentra-sentra produksi susu atau perusahaan pembibitan 
lain. Tujuannya, bagaimana meningkatkan kualitas sapi agar produksi susunya 
tinggi. 

  Terperangkap 

  Fina boleh jadi terperangkap dalam usaha peternakan sapi perah. Lulus D-III 
Politeknik Jurusan Peternakan IPB, dia langsung bekerja pada Gabungan Koperasi 
Susu Indonesia (GKSI) Pusat di Jakarta. 

  Dua tahun kemudian, 1998, Fina dipindahkan ke Unit Penampungan Susu (UPS) 
GKSI wilayah Sukabumi. Lima tahun bekerja di tempat ini, dia merasa tergugah 
oleh kondisi budidaya peternakan sapi perah yang memilukan. 

  Saat itu, para peternak sapi perah rakyat di Sukabumi gulung tikar. Semangat 
peternak hilang. Mereka malas memelihara sapi akibat susu produksinya ditolak 
GKSI karena berkualitas buruk, yakni kadar kepadatan (total solid/TS) dalam 
susu hanya 11,1 persen dan kandungan lemak 3,1 persen. Padahal, GKSI saat itu 
mensyaratkan TS di atas 12,5 persen dan kandungan lemak 3,3 persen. 

  "Buruknya kualitas susu peternak akibat ulah mereka sendiri. Susu sapi 
produksinya dicampur air agar volumenya bertambah," tuturnya. 

  Peternak tak sepenuhnya bisa disalahkan. Kebijakan pemerintah rezim Soeharto 
yang menggenjot produksi susu nasional dengan mewajibkan industri pengolahan 
susu (IPS) mengutamakan penyerapan susu lokal menjadi bumerang karena gairah 
peningkatan produksi dan kewajiban menyerap tak didasarkan pada kualitas. 

  "Kalau susu kualitas buruk saja bisa diterima, mengapa harus menjual yang 
baik," ungkap Fina melukiskan cara berpikir peternak saat itu. 

  Penolakan dan anjloknya harga susu tersebut membuat peternak patah arang. Mau 
meningkatkan kualitas susu, mereka tak mampu karena tak punya sarana produksi, 
seperti alat pemerah, pendingin, dan mobil tangki. Banyak di antara mereka lalu 
memutuskan berhenti beternak. 

  Akibatnya, produksi susu yang diserap UPS GKSI Sukabumi turun, dari semula 
12-15 ton per hari menjadi 2-3 ton. Melihat penurunan pasokan susu, manajemen 
GKSI melakukan pendampingan agar peternak kembali menekuni usahanya. 

  "Memberi penyuluhan tanpa melakukan usaha sendiri tidak bagus karena tak tahu 
kesulitan yang dirasakan peternak. Jadilah saya mulai usaha sapi perah," cerita 
Fina tentang usaha yang dimulai tahun 1992 dengan modal enam sapi senilai Rp 24 
juta. 

  Modalnya berasal dari tabungan dia dan suami selama bekerja di GKSI dan 
pegawai negeri sipil Kabupaten Sukabumi, serta separuhnya pinjaman koperasi. 
Sapi itu dipeliharanya di rumah. 

  Makin mantap 

  Dengan pengalaman memelihara sapi perah, Fina semakin mantap memberikan 
penyuluhan kepada peternak anggota GKSI. Setelah bekerja keras bersama teman 
koperasi dan peternak, tak lama kemudian kualitas susu hasil produksi peternak 
Sukabumi meningkat, menjadi nomor dua di Jawa Barat. 

  Meski kualitas meningkat, produktivitas susu tak berubah. Dia lalu mendirikan 
usaha pembibitan. Dasar pemikirannya: usaha sapi perah berkembang bila ada 
jaminan harga susu di pasar. 

  Untuk menguasai pasar, dia harus memproduksi susu berkualitas. Untuk 
memperbaiki kualitas susu mesti dimulai dari perbaikan bibit sapi. Namun, modal 
Fina tak cukup. 

  Baru pada tahun 2003, setelah sapinya berjumlah 40 ekor, dia memutuskan 
keluar dari tempat kerjanya. Ia semakin konsentrasi dengan usahanya. Setahun 
kemudian dia merintis usaha pembibitan. 

  Sadar tak sanggup mengelola sapi dalam jumlah besar sendirian, dia bergabung 
dengan Kelompok Tani Goalpara. Bersama kelompok ini, dia menempati lahan PT 
Perkebunan Nusantara VIII Goalpara, Sukabumi, untuk pengembangan ternak sapi 
perah. 

  Bersama kelompok tani itu, Fina mengembangkan usaha pembibitan dan produksi 
susu atau "rumah susu" dalam skala yang lebih besar dan dikelola lebih modern. 
Jumlah sapi perah milik Fina kini 70 ekor. Konsep industri coba dia terapkan 
dalam lingkup kelompok. Bersama kelompok tani itu pula, Fina dipercaya 
mengelola 350 sapi bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Sukabumi. 

  Di kelompok tani yang beranggotakan puluhan peternak itu, ada orang yang 
bertanggung jawab soal kebutuhan rumput, teknis pemeliharaan, pemerahan, 
pengangkutan, hingga pemasaran susu ke sekolah-sekolah. Semua anggota punya 
peranan.

  [Non-text portions of this message have been removed]



   

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke