http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=301348&kat_id=19

Kamis, 26 Juli 2007



Islam, Negara, dan Masa Depan Syariah 
Oleh : Azyumardi Azra 


 
Subjek tentang Islam dan negara --khususnya negara 'sekuler'-- tidak ragu lagi 
merupakan salah satu tema diskusi dan perdebatan yang hangat tidak hanya di 
antara para pemikir dan cendekiawan Muslim, tetapi juga bahkan di kalangan 
parpol dan politisi Muslim. 

Sekadar mengingatkan, pada dasarnya ada dua aliran mengenai subjek ini; mereka 
yang menolak negara Islam atau integrasi resmi Islam ke dalam negara, dan 
mereka yang menuntut amalgamasi Islam ke dalam negara dan kekuasaan politik. 
Bagi kelompok kedua, pola seperti itu memungkinkan penerapan syariah dengan 
kekuatan negara. Menurut argumen mereka, tanpa kekuatan negara, maka penerapan 
syariah tidak akan efektif. 

Bagi mereka, penerapan syariah merupakan alternatif satu-satunya bagi pemecahan 
berbagai masalah yang dihadapi negara-negara Muslim, termasuk Indonesia. Karena 
itu, kelompok ini berusaha melakukan berbagai upaya agar negara dapat secara 
resmi mengadopsi syariah.

Di tengah diskusi itu, sangat menarik membaca buku terbaru guru besar Emory 
University, Atlanta, Abdullahi Ahmed an-Naim, Islam dan Negara Sekular: 
Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 2007). Penerbitan edisi 
bahasa Indonesia simultan dengan edisi Inggris berbarengan diskusi dengan 
pengarangnya yang diselenggarakan Center for the Study of Religion and Culture 
(CSRC) UIN Jakarta.

Tujuan utama buku ini, menurut an-Naim, adalah mempromosikan masa depan syariah 
sebagai sistem normatif Islam di kalangan umat Muslimin, tetapi bukan melalui 
penerapan prinsip secara paksa oleh kekuatan negara. Hal ini karena dari sifat 
dan tujuannya, syariah hanya bisa dijalankan secara sukarela oleh para 
penganutnya. Sebaliknya, prinsip syariah kehilangan otoritas dan nilai agamanya 
apabila dipaksakan negara. Karena itu, pemisahan Islam dan negara secara 
kelembagaan sangat perlu agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan 
bagi umat Islam. Pendapat ini disebut an-Naim sebagai 'netralitas negara 
terhadap agama'.

Lebih jauh an-Naim berargumen, syariah memiliki masa depan yang cerah dalam 
kehidupan publik masyarakat Islam, karena dapat berperan dalam menyiapkan 
anak-anak untuk hidup beragama, bermasyarakat; membina lembaga dan hubungan 
sosial. Syariah akan terus memainkan peran penting dalam membentuk dan 
mengembangkan norma dan nilai etika yang direfleksikan dalam perundangan dan 
kebijakan publik melalui politik demokratis.

Tapi penting dicatat, dengan tarikan napas yang sama, an-Naim berpendapat, 
prinsip dan aturan syariah tidak dapat diberlakukan dan diterapkan secara 
formal oleh negara sebagai hukum dan kebijakan publik hanya karena alasan bahwa 
prinsip dan aturan syariah itu merupakan bagian daripada syariah. Apabila 
pemberlakuan syariah seperti itu diusahakan, hal itu merupakan kehendak politik 
negara dan bukan hukum Islam. Menurut an-Naim, adanya klaim elite penguasa yang 
kadang-kadang melegitimasi kekuasaan negara atas nama syariah tidak lantas 
berarti bahwa klaim itu benar atau mungkin dilaksanakan. 

Namun, menurut an-Naim, ini tidak berarti bahwa Islam -yang merupakan induk 
syariah-- harus dikeluarkan dari kebijakan publik umumnya. Sebaliknya, negara 
tidak perlu berusaha menerapkan syariah secara formal agar umat Islam 
benar-benar dapat menjalankan keyakinan Islamnya secara sungguh-sungguh, 
sebagai bagian daripada kewajiban beragama, bukan karena paksaan negara.

Alasan an-Naim ini berangkat dari asumsi, umat Islam di manapun --baik sebagai 
mayoritas maupun minoritas-- dituntut menjalankan syariah Islam sebagai bagian 
daripada kewajiban keagamaan. Tuntutan ini dapat diwujudkan sebaik-baiknya 
manakala negara bersikap netral terhadap semua doktrin keagamaan; dan tidak 
berusaha menerapkan prinsip-prinsip syariah sebagai kebijakan atau perundangan 
negara.

Namun, ini tidak berarti negara tidak dapat atau harus sepenuhnya bersikap 
netral, karena ia merupakan lembaga politik yang sudah tentu dipengaruhi 
kepentingan warga negara. Perundangan dan kebijakan publik memang seharusnya 
mencerminkan keyakinan dan nilai-nilai warga negara, termasuk nilai-nilai 
agama. Tapi penting digarisbawahi, tulis an-Naim, bahwa hal itu tidak dilakukan 
atas nama agama tertentu.

Sebab, jika negara melakukan hal itu, maka dapat membahayakan perdamaian, 
stabilitas, dan perkembangan yang sehat seluruh masyarakat. Karena, mereka yang 
terabaikan haknya memperoleh pelayanan dan perlindungan negara serta 
berpartisipasi aktif dalam politik dan kehidupan publik akan menarik diri; 
bahkan terdorong melakukan tindakan kekerasan karena merasa tidak ada cara-cara 
lain untuk menyelesaikan masalah.

Dalam konteks Indonesia yang pada dasarnya 'netral' terhadap semua agama, 
pemikiran an-Naim sangat relevan dan kontekstual. Karena itu, tidak ragu lagi, 
pemikiran an-Naim merupakan kontribusi penting bagi negara-bangsa Indonesia. 
Bagi kelompok-kelompok di Tanah Air yang sampai hari ini memandang syariah 
sebagai satu-satunya solusi; dan memperlakukan syariah sebagai 'obat cespleng' 
untuk menyelesaikan masalah, buku an-Naim ini patut dipertimbangkan dengan 
pikiran yang tenang dan jernih.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke